Rumah Besar Umat yang Lengang

1433
Sumber foto: FB Tomi Lebang

SORE di jalan Diponegoro, beberapa hari yang lalu. Melintas di depan dua kantor besar partai lawas — dua dari tiga partai Orde Baru — yang terlihat adalah kesenjangan yang jauh. Gedungnya sama-sama mentereng, berdiri di jalan protokol kelas satu Jakarta, hanya berbatas tembok, tapi berjarak teramat jauh.

Penghuni gedung sebelah, PDI Perjuangan, jadi pemenang Pemilu untuk ketiga kalinya, dan tuan rumah gedung hijau ini, PPP, terlempar keluar dari lintasan partai pemilik kursi di DPR Senayan.

Ya malam ini, dalam hitungan akhir KPU, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mendapatkan 5.878.777 suara atau hanya 3,87 persen. Artinya: PPP gagal melewati ambang batas 4 persen suara untuk menempatkan wakilnya di DPR RI.

Memandang pelataran gedung hijau yang jadi kantor pusat PPP di Jalan Diponegoro sore itu, saya menerawang jauh ke belakang, mengingat masa-masa kejayaan partai ini.

Partai yang berdiri tahun 1973, hasil gabungan empat partai keagamaan yaitu Partai Nahdlatul Ulama, Partai Serikat Islam Indonesia, Perti dan Parmusi. Karena itulah, PPP dengan bangga menyebut dirinya “rumah bersama umat Islam”.

Partai ini sungguh telah bertahan dalam hempasan zaman dan tekanan penguasa Orde Baru bersama Golkar yang berkuasa. Di masa-masa puncak kekuasaan

Presiden Soeharto, PPP hampir tak pernah kalah di kota paling majemuk di Indonesia, DKI Jakarta. Ia baru bisa disalip Golkar di penghujung kekuasaan Orde Baru, di tahun 1997.

Saya masih ingat singa-singa podium partai ini: Rhoma Irama, Zainuddin M.Z., Jailani Naro, Ismail Hassan Metareum, dan lain-lain.

Di setiap musim kampanye, jika Rhoma bergoyang, ribuan massa berkaus hijau di mana pun di negeri ini akan terbakar serempak meneriakkan kesetiaan kepada PPP. Juga Zainuddin M.Z., sang kiai sejuta umat yang lama menjaga marwah PPP.

PPP pula yang pertama kali berani melawan kehendak Soeharto untuk senantiasa “musyawarah untuk mufakat” ketika pada Sidang Umum MPR Maret 1988 mencalonkan Ketua Umumnya,

Jaelani “John” Naro sebagai calon wakil presiden pesaing Sudharmono. Kegaduhan politik di parlemen yang jarang terjadi di zaman itu memaksa Presiden Soeharto turun tangan.

Naro, seorang bekas jaksa yang jadi politisi, mundur di detik-detik terakhir pemilihan. Sebagai protes atas tekanan ke Naro yang tak demokratis itu, Sarwo Edhie Wibowo, seorang jenderal bekas sekutu Soeharto mengundurkan diri dari MPR dan DPR.

Yang sudah melek politik di zaman Orde Baru juga tentu masih ingat pidato keras Ketua Fraksi PPP di DPR, Khofifah Indar Parawansa di atas podium sidang paripurna saat menyampaikan pandangan umum fraksi di tahun 1997.

Khofifah yang kini Gubernur Jawa Timur, dengan tegas menyorot kekuasaan Presiden Soeharto yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme. Sejak pidato menggelegar Khofifah itu, khalayak Indonesia akrab dengan istilah KKN.

Semua nostalgia tentang PPP yang berjaya itu tinggal kenangan manis belaka. Partai berlambang Kakbah ini kini jadi partai gurem. Perolehan suara partai ini merosot dari pemilu ke pemilu. Puncaknya di era TikTok ini, ketika PPP tak lagi punya wakil di Senayan terganjal ambang batas suara parlemen.

Begitulah. Partai “rumah besar umat Islam” berlambang Kakbah itu ditinggalkan umatnya yang terserak.

Saya kembali mengingat sore hari ketika melintasi gedung mentereng di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat itu. Saya meminggirkan kendaraan, dan mengambil gambar ini. Ada beberapa mobil terparkir, dua ambulans partai teronggok di sudut halaman, dan tak terlihat lalu-lalang orang. Sepi. Seperti rumah besar yang kehilangan penghuni.

TOMI LEBANG

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini