
TRANSTIPO.com, Sulteng – Usaha tambang Galian C di sekitar Teluk Palu Tengah semakin menggeliat. Kebutuhan material yang dihasilkan tambang itu semakin menjadi laron-laron oleh banyak pihak, termasuk dari luar daerah yang kemudian tambang Galian C semakin primadona, seksi.
Grafitasi segala kebutuhan penunjang pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur misalnya, semakin menjadi daya pikat para pihak untuk menjadikan tambang Galian C di sekitar Teluk Palu Tengah adalah sumber penyuplai bahan yang tak sedikit.
Bisnis material tambang dari Sulawesi Tengah ke Kalimantan Timur penampakannya seolah tampak legal. Sebut misalnya kebutuhan material berupa bebatuan dan pasir, tambang yang ada di Sulawesi Tengah itu adalah ‘pasar’ yang sungguh kemilau, tarik untung tak sedikit.
Sejumlah pihak ‘yang bermain’ di tambang Galian C ini mengusap dada: untung selangit. Tak ada aturan main yang jelas.
Para pelaku usaha tambang Galian C di pesisir Teluk Palu itu seolah kebal hukum, ia mainkan regulasi bak main kucing-kucingan.
Sudah rahasia umum, dugaan para pihak tahu bahwa di antara perusahaan tambang Galian C di pesisir Teluk Palu belum memiliki perizinan lengkap, baik berupa Izin Usaha Pertambangan (IUP), atau ada yang IUP-nya telah mati, menambang di luar area IUP, tak memiliki Kepala Tehnik Tambang (KTT) hingga Tersus (Terminal Khusus) yang belum izinnya belum rampung.
Runutan pelanggaran tersebut di atas juga ternyata ditengarai menjadi ladang rezeki sejumlah pihak yang diduga adalah Aparat Penegak Hukum (APH).
Para oknum berseragam itu mendapatkan uang atau upeti dari aksi main kutip uang setoran keamanan. Ini yang marak di lapangan, di seputaran usaha tambang tersebut.
Dalam investigasi ditemukan, ada setoran wajib oleh pengelola pasir sungai kepada oknum APH sebesar Rp10.000/retasi. Sama hal dengan pemilik usaha galian C yang belum merampungkan izin, dimungkinkan melakukan negosiasi dengan ketentuan menyetor sejumlah uang kepada seseorang atas nama lembaga tertentu.
“Setorannya puluhan hingga ratusan juta, kalau pengusaha pasir dihitung dari peretasi. Kami tidak berdaya karena kami juga punya kekurangan dari segi dokumen,” ungkap sumber di lapangan yang identitasnya tak bersedia dipublis.
Hal yang sama diungkapkan seorang sopir pengangkut pasir sungai, Ojan (43). Diriinya mengaku harus rela menyetor Rp10.000/retasi agar material yang dimuatnya dari Kabupaten Sigi bisa terkirim.
“Kami harus menyisihkan Rp10.000/retasi jika ada pemuatan, alasannya untuk uang keamanan, karena menurut oknum aparat itu pasir kami illegal karena tidak memiliki izin tambang,” ujarnya lirih.
Ojan mengaku, dari usaha pengangkutan pasir sungai tersebut, dirinya bisa berbagi rejeki dengan rekannya baik itu tukang sekop pasir (buruh sero/red) hingga tukang sedot pasir di daerah pesisir sungai Palu.
“Kami hanya berbagi rezeki sedikit dengan resiko yang lumayan, jarak kami memuat juga jauh ditambah langkanya solar. Untung kami cuma cukup buat pulang modal dan pakai makan sehari-hari, belum lagi kalau mobil kami rusak,” ungkap sumber ini.
Di sisi lain, pengusaha tambang Galian C — sebut saja Rhoma — bercerita jika dirinya pernah menanggung kerugian ratusan juta akibat kapal Tongkang yang disewanya harus parkir hingga sebulan dikarenakan dokumen tak lengkap.
“Saya harus membayar demorage akibat tunda berangkat kapal tongkang yang memuat materialku. Kami diperiksa berulang-ulang dan ujung-ujungnya dimintai uang keamanan agar kapal kami bisa berlayar,“ cerita sumber ini.
Dalam penelusuran, oknum APH yang diduga sering melakukan pungutan diduga berasal dari institusi penegak hukum yang mempunyai kewenangan melakukan penanganan perkara tindak pidana khusus.
Santer disebut dengan inisial KMG, KN dan AR. Bahkan nama pejabat teras dari Institusi hukum diduga sering meminta upeti dengan alasan sedang menyelidiki status perusahaan dan Tersus alias Jetty.
“Mereka terkesan mencari cari kesalahan kami, menekan kami dengan segala intimidasi, dan terakhir melakukan negosiasi agar kami bisa beroperasi,” sumber ini menambahkan.
Bukan hanya persoalan keabsahan dokumen IUP dan legalitas Jetty, setoran keamanan juga berlaku buat para pemain BBM yang melakukan bisnis di sepanjang Teluk Palu.
Sayangnya, aksi “periksa memeriksa” tersebut terkesan tebang pilih. Sejumlah perusahaan tambang Galian C yang jelas-jelas tidak memiliki IUP dan Jetty bebas melakukan eksploitasi dan mengirim material keluar pulau dikarenakan milik pejabat partai politik ataupun petinggi TNI/Polri.
“Ada beberapa perusahaan yang diduga milik petinggi partai, pejabat daerah dan kolega pejabat utama TNI/Polri, malah tidak disentuh dan dibiarkan beroperasi, tidak diganggu apalagi dimintai setoran. Ini jelas membuat kami kecewa dan mencurigai ada permainan,” keluh sumber di lapangan.
Kegiatan pungutan setoran uang keamanan di tambang Galian C sepanjang Teluk Palu, diduga kuat dikoordinir dengan rapi dan sistematis. Pihak yang menjalankan aksi “kutip setoran” terkesan dilindungi oleh institusi dikarenakan dalam menjalankan aksinya selalu mengatas namakan korpsnya.
Hingga berita ini diturunkan, upaya konfirmasi kepada pihak yang diduga melakukan kutipan uang keamanan di perusahaan Galian C tersebut, enggan ditemui dan tidak membalas pesan yang dikirim via Aplikasi WhastApp.
Pemerhati masalah hukum, Razak, SH ketika dimintai tanggapannya terkait aksi main setor uang keamanan tersebut menegaskan, dugaan perbuatan main setor uang keamanan tersebut adalah hal yang melanggar etik dari institusi penegak hukum.
Untuk itu, dirinya menyarankan jika para pihak yang merasa diperas dengan dalih uang keamanan tersebut melaporkan kepada atasan yang bersangkutan agar dapat ditindak sesuai peraturan yang berlaku.
“Lapor kepada atasannya, jangan takut jika Anda betul punya bukti dan saksi akan aksi palak terselubung tersebut,” tegas Razak, SH.
HERU – SARMAN