In Memoriam Pak Syafruddin Kambo

694
TOMI LEBANG (kiri) DAN PAK SYAFRUDDIN KAMBO

PERGINYA PECINTA UMAT

PADA dentang waktu maghrib kemarin, Pak Syaf menggenapi perjalanan hidupnya di dunia yang fana ini. Sesaat kemudian, kabar kepergiannya menyebar melalui telepon, pesan berantai, beranda media sosial, lalu kanal-kanal berita. Lengkap dengan lokasi rumah duka.

Saya, yang bagai dihentak palu mendengar kabar itu, bergegas keluar rumah memesan ojek sepeda motor dan meluncur selekasnya ke Jl. Cibulan di Kebayoran Baru.

Pelayat sudah berdatangan. Sejumlah polisi berdiri di ujung-ujung jalan. Hanya sekitar sejam semenjak kabar kepergiannya menyebar, orang-orang sudah menyemut di rumah duka. Ribuan orang.

Saat keranda jenazah Pak Syaf diangkat dari kendaraan dan perlahan dibawa ke ruang tengah rumah itu, saya tak bisa lagi mengenal wajah orang-orang yang berdesakan. Seratusan tangan mengacungkan telepon genggam, berusaha merekam momen ketibaan sang mayit di rumah duka.

Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.

Kepergian Pak Syaf sungguh menyentak banyak orang. Saya melihat sejumlah wajah yang dikenal luas datang melayat di menit-menit kedatangan jenazah pukul delapan malam. Kiai, menteri, anggota parlemen, jenderal polisi dan tentara, pengusaha, wartawan, dan entah dari mana lagi.

Saya melihat wajah taipan Tommy Winata yang sedih, Jenderal Badrodin Haiti, Menteri Dudy Purwagandhi, Jenderal Fadhil Imran, Akbar Faizal, Husain Abdullah, dan banyak lagi.

Lalu salat jenazah digelar dengan jamaah berimpitan. Bergantian. Doa-doa didaraskan. Di luar rumah, jalan raya sesak oleh kendaraan pelayat, mobil terbuka yang membawa karangan bunga, dan kerumunan yang sayup-sayup berbicara tentang Pak Syaf semasa hidupnya.

Saya mendengar begitu banyak testimoni tentang kebaikan almarhum yang membekas dan tak lekang oleh waktu. Saat meninggalkan rumah duka menjelang pergantian hari, di perjalanan ke rumah, segenap kenangan bersama almarhum melintas bagai diorama.

Saya mengenal Pak Syaf sejak 20 tahun lalu. Tepatnya semasa ia menjadi Ajudan Wakil Presiden yang berpangkat Komisaris Besar dan saya sedang menulis sebuah buku reportase atas pidato-pidato Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengharuskan saya datang ke istana wakil presiden. Saya kerap bertemu, bertanya, hingga meminta bantuan bahan tulisan melalui Pak Syaf.

Lalu seiring waktu, karir Pak Syaf moncer di kepolisian. Ia menanjak jadi Kapolda, Kadiv Propam, Kalemdiklat, hingga Wakil Kapolri berpangkat Komisaris Jenderal.

Di tahun 2018, Pak Syaf benar-benar bersinar di berbagai ladang pengabdian. Ia didaulat memimpin kontingan olahraga Indonesia di Asian Games 2018 sebagai Chef de Mission. Beberapa saat selepas Asian Games yang sukses, Pak Syaf diangkat menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Di posisi puncak Pak Syaf itu, saya menemaninya, tepatnya: bekerja untuknya. Sembari tetap menjalankan pekerjaan saya sebagai staf di Kantor Presiden, saya berkantor di mana Pak Syaf berada. Juga ketika Pak Syaf pensiun dari urusan negara.

Sejak dekat dengan Pak Syaf itu, hidup saya – juga banyak orang yang saya kenal – sungguh berubah dan lebih berwarna. Tak sedikit impian saya, juga hal-hal yang takkan berani saya mimpikan, diwujudkan dengan santai oleh Pak Syaf. Terutama perjalanan ke berbagai pelosok bumi dengan pengalaman-pengalaman yang unik dan tak dirasakan semua orang.

Tak banyak tokoh yang pada masa purnabaktinya, justru lebih sibuk ketimbang saat-saat memegang jabatan seperti Pak Syaf.

Semenjak pensiun di tahun 2019, hari-hari Pak Syaf malah kian berisi. Ia tak tertarik masuk partai politik. Ia memilih jalan sepi tapi luas: mengurus pendidikan dan menebar kebaikan terutama untuk umat.

Ia mendirikan Yayasan Indonesia Mengaji untuk mengentaskan buta huruf Al-Quran di kalangan umat Islam. Ia menginisiasi Yayasan ASFA yang menyalurkan beasiswa kepada ribuan mahasiswa Indonesia yang belajar di berbagai perguruan tinggi di Mesir, Arab Saudi, Maroko, hingga Yordania.

Ia membangun masjid di mana-mana, dari Pulau Seribu, Makassar, sampai Jakarta. Pak Syaf merestui berdirinya tawaf TV, sebuah kanal berita dunia Islam di mana saya ikut sebagai pengelola.

Mungkin karena itu, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung sampai memberikan gelar Doktor Kehormatan. Bukan sebagai jenderal polisi, bukan pula sebagai menteri, tapi sebagai tokoh Islam moderat.

Beberapa kali, Pak Syaf tampil di podium terhormat Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir untuk menyampaikan pidato di hadapan para civitas akademika.

Pak Syaf adalah seorang tokoh yang bisa melangkah keluar dari gelanggang kekuasaan dengan begitu legawa dan kepala tegak. Ia undur diri dari kekuasaan yang centang-perenang, dan menikmati hari-harinya mengurus khalayak. Membaur dengan umat yang terserak.

Pak Syaf rajin bertandang ke pondok-pondok pesantren di Jawa hingga Sulawesi. Ia datang ke Pesantren Tebuireng, Gontor, Tremas sampai Al-Hikmah Benda. Kunjungan-kunjungannya amat berbeda dengan para politisi yang datang setiap menjelang Pemilu. Pak Syaf datang bertamu, sekadar berbagi kabar, bantuan, atau memenuhi undangan.

Pak Syaf juga mengajak puluhan kiai dari Jawa, Sumatra, Sulawesi, sampai Madura berkunjung ke Kairo, Mesir, bertemu dengan pimpinan Al-Azhar, dan bersilaturahmi dengan mahasiswa-mahasiswa Indonesia di sana. Misinya ke Mesir adalah menemukan jalan keluar bagi penyetaraan kurikulum pendidikan pondok-pondok pesantren di Indonesia.

Pak Syaf adalah pria pecinta masjid. Saya menyaksikan setiap datang ke satu kota, di mana pun di muka bumi yang dikunjunginya, ia takkan pernah luput menyinggahi masjid.

Dari kota-kota di pelosok Indonesia sampai sudut-sudut negeri nan jauh di Afrika, Amerika, dan Eropa. Saat bertandang ke Roma, selain menjadi turis di Vatikan, saya menemani Pak Syaf ke “Moschea di Roma”, masjid raya ibukota Italia itu.

Di Paris, kami ke kawasan arondisemen Ve tempat Grande Mosquée de Paris berada. Di Jerman, kami mendatangi Zentralmoschee Köln, masjid sentral Koln yang sangat indah dengan arsitektur yang memukau.

Saya pun pernah menemaninya berkunjung ke masjid raya di kota Baku, Azerbaijan, sampai masjid tua di sebuah kawasan kuno di perbukitan kota Tbilisi, ibukota Georgia.

Di setiap tempat itu, Pak Syaf juga akan menemui pengelola masjid — dari imam sampai marbot — sekadar bersilaturahmi dan saling mengenal, bahkan sampai menjalin jaringan.

Saya selalu mengingat gaya Pak setiap kali mampir di masjid. Ia akan mengenakan kopiah hitam sedikit melesak ke dahi dan miring ke kanan — gaya berpeci imam-imam tua di tanah Mandar. Diam-diam kami menjulukinya Imam Lapeo, seorang imam yang jadi legenda dari Sulawesi Barat, kampung halamannya. Seorang kawan bahkan menyimpan nomor telepon genggamnya dengan nama itu.

Saya mengenang sebuah penawaran yang mengagetkan dari Pak Syaf, suatu hari di tahun 2019.

“Tom, bagaimana kalau kita main ke Mambi, kampungmu.”

Saya tentu senang sekali. Seorang menteri mau datang jauh-jauh ke pegunungan di Sulawesi. Mambi itu jauh, kata saya.

“Kita naik helikopter. Dua helikopter. Nanti satu heli pinjam dari Sulbar,” katanya.

Tak berapa lama, saya menolak rencana beliau. “Jangan, Pak. Saya tidak sanggup menanggung beban sebagai orang yang sangat sukses apabila nanti turun di tengah desa Mambi dengan helikopter. Padahal, itu karena menumpang saja.” Pak Syaf sampai tertawa tergelak-gelak mendengar alasan saya.

Begitulah. Bagi Pak Syaf, masa purnabakti bukanlah perbatasan antara bekerja dan tidak bekerja, atau menjadi pejabat dan bukan pejabat. Bukan pula batas antara kebesaran yang nyata dan bayang-bayang. Masa pensiun adalah sebuah kesempatan untuk membentuk hidup yang paripurna. Hidup yang bermanfaat untuk umat. Untuk orang banyak.

Sekian tahun bersama Pak Syaf, saya mewujudkan begitu banyak mimpi untuk menjangkau berbagai tempat di muka bumi, dari Cape Town di Afrika Selatan, hingga Tel Aviv, Jaffa, dan Dead Sea di Israel. Dari Masjid Haram, Masjid Nabawi, sampai Masjid Al Aqsa di Yerusalem.

Pak Syaf begitu rajin mendatangi setiap pojok bumi, mencari celah untuk menebar kebaikan. Beberapa hari lalu, ia kembali dari perjalanan ke Oman, Yordania, dan Arab Saudi. Pak Syaf menemui para petinggi negeri sahabat itu sekiranya dapat membantu para pelajar Indonesia.

Hanya sehari tiba di Tanah Air, Allah SWT memanggilnya. Kamis 20 Februari 2025, saat azan maghrib berkumandang di seantero kota, Pak Syaf menutup mata dan menghadap sang Khalik. Meninggalkan segala centang-perenang urusan dan kusut-masai kehidupan dunia.

Hari ini (kemarin), seusai salat Jumat, Pak Syaf akan dikebumikan di persamayaman terakhirnya di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Salat jenazah di masjid dan pembacaan doa di pemakaman akan dipimpin Rektor Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, Syaikh Prof. Dr. Salamah Daud. Sementara pemakamannya digelar dalam upacara yang dipimpin Kepala Kepolisian RI.

Selamat jalan Pak Syaf.

TOMI LEBANG

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini