Muh. Akbar Anas (kiri), Sarjana Fakultas Kedokteran Untad, Palu, Sulteng, dan Masdar, Sarjana Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. (Foto: Sarman SHD)

Mahasiswa Sulbar, bergurulah pada dua sosok ini.

Keduanya kuliah di perguruan tinggi negeri mentereng dan terbaik di Indonesia.

Selama kuliah, keduanya mengandalkan kucuran beasiswa dan tetesan keringat dalam banting tulang bekerja serabutan untuk sekadar biaya hidup di kota besar.

Kini, keduanya telah sarjana lengkap. Dari rautnya, terpancar masa depan yang cerah—dengan kepala tetap tertunduk ke bawah.

Sungguh, Tuhan Maha Adil.

TRANSTIPO.com, Mamuju – Sekali waktu, sekitar ujung pekan kedua pasca Idul Fitri lalu, kru laman ini sengaja anjang sana di kota Mamuju, Sulbar.

Pada sebuah rumah di bilangan BTN Bintang Gunung, Mamuju, kisah pendek ini kemudian lahir. Di rumah di Blok A itu, hidup rukun sebuah keluarga kecil. Sepasang suami istri dan dua orang anak lelaki.

Di rumah yang betul-betul sangat sederhana ini, tak terdapat hal yang istimewa, kecuali sebuah cita-cita mulia yakni kelak dua anak lelaki itu tumbuh dalam Iman yang baik dengan pedidikan yang tinggi.

Cita-cita itulah yang sudah beraroma emas bagi sang tuan rumah di tengah Mamuju kota itu.

“Bahkan untuk memperbaiki instalasi listrik rumah ini pun saya terkadag tak risau. Tapi jika menyangkut uang sekolah kedua anak saya, terlambat sedikit pun saya pasti gelisah,” kata lelaki 53 tahun itu kepada laman ini, akhir pekan kedua Juli ini.

Baru berbilang menit kru transtipo duduk di sebuah sofa tua yang telah mengempes di kedalaman, tanda bahwa kursi tua berukir ini sudah begitu lama butuh perbaikan, dan seketika itulah tamu baru menyelinap masuk ke ruang tengah.

Sosok muda berkulit langsat kemerah-merahan ini ditemani oleh anak sulung sang tuan rumah. Rupanya, keduanya baru saja berziarah dari rumah ke rumah milik rekan-rekannya kala sekolah lanjutan atas dulu di Mamuju.

Sejurus dengan perkenalan seadanya kepada tamu baru yang masih muda ini, jelaslah bahwa namanya Masdar, teman sekolah Muh. Akbar Anas Makkarumpa –anak sulung sang tuan rumah dimaksud di atas.

Singkat cerita, inilah sekelumit kisah hasil ‘menguliti’ anak remaja ini.

“Nama saya Masdar pak. Saya satu sekolah di SMA Negeri I Mamuju dengan Akbar Anas. Alhamdulillah, saya bisa lulus dan kuliah di Universitas Gadjah Mada dan Akbar Anas kuliah di Universitas Tadulako,” kata Masdar menjawab pertanyaan pembuka laman ini.

Dari kemurahan senyum Masdar, tak tampak benar jika anak ini berasal dari keluarga ‘tak mampu’. Ia begitu enjoy, dan seolah tak tampak beban hidup dari roman remaja 22 tahun ini.

“Saya lahir Desa Bambu, Mamuju. Saya masuk SD di Dusun Baubatu tapi tamat di SD Inpres Salulayang (2006). Saya lalu lanjut sekolah di SMP 3 Bambu (2009). Dan, alhamdulillah bisa lanjut dan lulus di SMA Negeri I Mamuju (2012),” kisah Masdar, polos.

Di SMA Negeri I Mamuju itulah Masdar mulai kenal Akbar Anas.

Niat dan cita-cita Masdar tak mungkin pupus di tengah jalan. Meski ia sadar benar bahwa Ibu-Bapaknya tak akan sanggup membiayai sekolahnya—terlebih jika kelak harus kuliah di perguruan tinggi.

Tapi Masdar tak pendek akal. Selama di SMA I Mamuju, ia rela menjadi tukang adzan di Musholla sekolah, dan bahkan tinggal di Musholla itu.

Tahulah tentunya, dengan cara begini terkadang ada saja rezeki menitis di tangan Masdar—entah dari mana pun datangnya. Dengan begitu maka sedikit terbantulah Ibu-Bapaknya untuk urusan biaya sekolah.

“Saya 5 orang bersaudara. Saya anak ketiga pak,” kata Masdar. “Ayah saya bernama Jasman dan Ibu saya, Darmawati,” katanya lagi.

Sudah beberapa tahun Ayahnya bekerja sebagai buruh atau tukang sapu tama di Rumah Sakit Regional Sulbar. “Tapi sudah tiga bulan ini istirahat karena beliau sakit-sakitan pak. Kalau Ibu juga kerja di rumah sakit itu. Sudah lebih setahun Ibu kerja di bagian laundry rumah sakit regional itu,” kisah Masdar, pilu.

Masdar sadar betul, sebagai anak seorang buruh, jangan ditanya cara dan kerja kerasnya dalam belajar. “Saya tekun belajar, niat saya agar bisa dapat bea siswa. Ya, untuk mengurangi beban Orang Tua,” katanya sembari tersenyum.

Tak ayal, dengan ketekunannya—tentu dipadu dengan otak yang encer—Masdar bisa tembus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada 2012. Ia kuliah diiringi dengan bea siswa dari Pemkab Mamuju.

Masdar tahu persis bahwa kuliah di Yogya, itu berarti bahwa harus jauh dari Ibu-Bapak, dan saudara-saudaranya di kampung Bambu.

Makanya, selama lima tahun kuliah di UGM, ia hanya pulang dua kali. “Saya tiga kali lebaran Idul Fitri di Yogyakarta. Hanya dua kali saya lebaran bersama keluarga di Mamuju pak,” aku Masdar.

Kini, atau di Juli 2017 ini, Masdar sudah bukan lagi anak remaja sembarang. Kini, dengan kepulangannya berlebaran bersama sanak famili, ia telah resmi bergelar sarjana lengkap, jebolan Fakultas Peternakan UGM—perguruan tinggi terbaik kedua di Indonesia saat ini.

Dari Palu, Sulawesi Tengah, tak beda seru dengan Yogyakarta. Anak remaja kelahiran Parepare, 9 April 1994 ini, melengkapi kisah singkat untuk dua sosok cemerlang ini.

Akbar Anas lebih dulu sarjana sebab pada Kamis, 29 September 2016, ia telah berhasil merengkuh gelar sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako (Untad).

Ketika itu, Anas Makkarumpa—Ayah Akbar—duduk di deretan terdepan VIP dalam auditorium kampus Bumi Tadulako Tondo Palu. Ia hadir di acara wisuda anak pertamanya ini dengan kertas undangan ‘istimewa’ lantaran Akbar lulusan terbaik ke-9 dari ratusan mahasiswa kedokteran seangkatannya.

Mantan pedagang kaki lima yang kini jadi wartawan ini, seolah ‘lupa’ ketika awal 2012 lalu harus mondar-mandir dari Parepare, Sulsel, untuk memastikan jika tanah sepetak miliknya itu telah laku terjual.

Kala itu, jalan itu ditempuh Anas Makkaruma sebab anak sulungnya ini diterima di Fakultas Kedokteran Untad, Palu. Dengan biaya kuliah yang selangit tetunya, melego tanah sepetak adalah cara terbaik. Tapi anas legowo sebab Hj. Hapisah, Ibunda Akbar Anas, mendukung langkah suaminya ini.

Terentang banyak prestasi yang ditoreh Muh. Akbar Anas sejak sekolah hingga kuliah—yang tak sempat diurai detail di halaman pendek ini.

Satu hal yang mencengangkan, setibanya di Palu tempo itu atau di penghujung 2012 lalu, Akbar Anas telah menerbitkan sebuah buku karya pribadi aslinya. Judulnya, Buy A Miracle (Membeli Keajaiban). Laku terjual, paling tidak untuk rekan-rekannya di SMA dulu.

Kini, Akbar Anas belum sepi dari kesibukan bejibun sebab ia masih harus menuntaskan satu tahapan penting sebagai dokter muda: Koas di Rumah Sakit Palu.

Selamat untuk kedua Ananda ini. Dunia nyata menantimu, dan semoga Tuhan menuntunmu.

SARMAN SHD

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini