TRANSTIPO.com, Mambi – Tanah lapang itu menyerupai makna dan peruntukan tanah bengkok—aset warga kampung yang dimanfaatkan secara bersama-sama, dan bukan milik perseorangan atau kelompok.
Sejak zaman dahulu kala terdapat sebuah tanah lapang di tengah-tengah kampung Loka’, Kecamatan Mambi. Nyaris tanah lapang itu dulunya dijadikan tempat berkumpul, bermusyawarah bagi para tetua kampung, termasuk jika ada tamu yang datang dari segala penjuru kampung yang ada di Pitu Ulunna Salu (PUS).
Seiring waktu, enth mulai kapan, tanah datar yang luas itu di tengahnya dipetak jadi lapangan bola voli. Jadilah lapangan ini sebagai maskot kampung Loka’. Di luar area lapangan masih tersisa ruang yang sungguh lapang. Di sisi kiri-kanan cukup untuk menampung penonton dalam jumlah banyak manakala sedang berlangsung pertandingan bola voli antar-kampung.
Pada dua ujung lapangan itu masih bisa buat kegiatan lain, bikin panggung untuk kegiatan keagamaan atau sejenisnya, misalnya.
Lapangan luas bagi kampung Loka’ adalah ciri khasnya tersendiri. Kini, Desa Sondong Layuk tak memilikinya lagi. Sebuah ironi zaman.
Ketika pemerintahan terus berubah, datanglah pemekaran desa. Kampung Loka’ kemudian menjadi sebuah desa di Kecamatan Mambi, dengan menahbiskan nama Hadatnya: Sondong Layuk.
Dari desa inilah, Japar tumbuh menjadi anak lelaki dan menjadikannya sebagai pemuda penjaga kampung—untuk sebenar-benarnya menjagai setapak demi setapak.
“Saya tak bisa tinggalkan kampung terlalu lama. Saya sudah tak bisa pisah dengan kampung Loka’. Saya hidup sederhana dengan bertani di sawah dan kebun, tapi itu membuat saya bahagia bersama keluarga,” Japar memulai kisahnya.
Lahir di Loka’ pada 1969. Di Pemerintahan Desa Sondong Layuk, ia dipercaya sebagai kepala dusun (Kadus). Sebelum menikah, ia mengelana ke beberapa tempat. Kabupaten Mamuju dan Kabupaten Majene di Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar), Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan (Sulsel), dan Kota Tarakan, Kalimantan Timur (Kaltim).
Muadzin Gondes
Sejak tungkainya menyentuh ujung pintu hingga selama langkahnya dalam ruang tengah pada sebuah Masjid di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), sorot mata pak Imam tertuju padanya. Waktu sholat tiba.
Dengan tampangnya dipadu rambutnya yang panjang alias gondes (gondrong desa), seolah wajar mata sang Imam mewaspadainya—mencurigainya. Syak-wasangka itu, Japar sendiri memaklumkan.
“Jangan-jangan anak muda itu habis minum (miras) lalu masuk Masjid untuk menenangkan diri. Atau sekadar membasuh muka,” begitu Japar menerka apa yang terbersit dalam benak pak Imam dari caranya memandang curiga padanya.
Mister Japar punya jurus jitu.
Melihat cara lirikan pak Imam yang penuh arti—menurutnya—maka pada waktu ibadah sholat berikutnya, ia sengaja lebih dulu datang ke Masjid. Jelang waktu sholat tiba, ia maju ke depan lalu mengambil mikrofon untuk mengumandangkan adzan.
Tahu apa yang Japar perbuat itu, dengan suaranya yang tak bisa dibilang pas-pasan, sang Imam kemudian tak lagi menaruh curiga padanya.
Sesusai sholat berjamaah, tetua yang mengimami sholat fardu itu menyapanya dengan penuh bersahabat.
Japar kemudian beri petuah. “Adinda perlu tau, ganjaran sholat itu tak perlu sampai menunggu di akhirat nanti. Di dunia pun kita sudah bisa dapat ganjarannya,” begitu Japar berceramah.
Kalau kita sedang dalam perjalanan, lalu tiba waktu ibadah sholat, misalnya, kita singgah di rumah seseorang yang bahkan orang itu kita tak kenal sama sekali. Si pemilik rumah itu dengan senangnya menyediakan air wydhu, menyilahkan ke ruang bahkan kamar keluarga, serta sajadah dan sarung wewangian diberikan. Itulah hikmah nyata yang diperoleh di dunia bagi yang mengerjakan sholat.
“Jadi itu hikmahnya adinda. Ibadah Sholat itu langsung didapat di dunia,” Japar berpetuah.
Kepala Dusun
Japar kini bukan orang biasa di kampungnya di Desa Sondong Layuk. Sejak kepala desa yang lama, ia sudah dipercaya menjabat sebagai kepala dusun (Kadus). Saat ini pun ia tetap dipercaya sebagai kepala dusun.
Cerita Japar, di Desa Sondong Layuk itu terdapat 12 dusun. “Di pecah-pecah biar semua dapat rezeki.” Rezeki yang dimaksud oleh Japar tak lain insentif kadus yang dibayarkan setiap tiga bulan sekali. “Saya tinggal terima Rp 4,5 juta. Itu satu tahun. Dibagi-bagi untuk 12 kepala dusun,” ujarnya.
Suara Japar di Masjid Loka’ kerap terdengar di balik menara saban waktu sholat tiba. Bisa dibilang, pendekar nagabonar ini salah satu muadzin di desanya.
Mengelana di kampung orang, Japar tak perlu ditanya. Ia juga kerap mengecap pengalaman hidup di rantau. Menyasar jazirah pantai di Kabupaten Majene dan Kabupaten Mamuju misalnya, sudah bukan hal baru baginya.
Di pulau seberang, Kota Tarakan, Kalimantan Timur (Kaltim)—kini Kalimantan Utara (Kaltara)—misalnya, dalam biduk kehidupan Japar pernah tersimpan memori yang indah meski tak lama di pulau Borneo.
“Saya pernah ikut merantau ke Tarakan, padahal saya sudah menikah. Saya tinggalkan keluarga di kampung lalu saya mengadu nasib ke Kalimantan,” kisah Japar.
Sekali waktu di Tarakan itu, “Saya harus menyusuri laut dan sungai yang lebar. Dari Tarakan kami naik speadboat (perahu motor cepat) ke Tanjung Selor, terus masuk ke Lontungo—kampung kecil di daerah pelosok Kalimantan Timur. Saat itu hujan keras.”
Mengingat itu, sembari menyeduh kopi dan mengepulkan asap rokok, “Bayangkan itu.” Meski Japar tak menyebut saat itu muncul rasa takut, tapi dari mimiknya menyiratkan ada kegetiran dan was-was melewati perairan yang sunyi dan rimba raya (hutan lebat).
Ia pulang dengan tampangnya yang masih gondes. Namun, beberapa tahun lalu rambut panjangnya ia gunting, dan jadilah penampakannya seperti begini saat ini—seperti yang Anda lihat pada foto.
Cerita pendek ini ia tuturkan di Desa Sendana, Kecamatan Mambi. Beberapa waktu lalu pada November 2019, Japar melintas di Sendana. “Motor saya rusak,” sebutnya sembari ia jelaskan jalan kaki sebab motor sudah dititip di sebuah bengkel di Sendana.
“Hanya papa Sam yang bisa perbaiki. Mau dilas. Besi di bawahnya patah. Ada teman di bengkel yang potong besinya. Besi itu penyangga mesin. Harus dilas ulang,” katanya.
Terik mentari belum begitu menyengat di siang itu ketika Japar sudah harus meneruskan penjalanan ke Mambi kota untuk kembali ke kampung Loka’, Sondong Layuk.
“Kalau saya sudah capek jalan, saya tahan saja motor teman lalu diboceng ke kampung.” Japar memang begitu muda bergaul. Ia dikenal supel dan bersahaja.
SARMAN SHD