Komisioner tenang yang teguh. Ia berasal dari bukit Kerang Tude, sebuah kampung tua dalam pelukan sejarah besar Kadolang
TRANSTIPO.com, Mamuju – Ia pendengar yang baik saat dalam keasyikan berdiskusi. Memincingkan mata sebelah sembari menoleh menyamping pada lawan bìcara, ia bukannya sedang mengantuk. Ia larut dan menyimak isi pembicaraan. Jawaban teranyar telah disiapkan, dan analisanya pun kadang teramat menghungjam.
Pemuda ini bertampang mungil tak terlampau pendek benar. Sehari-harinya setelah jadi gelandangan intelektual di Mamuju dulu, tidak siang tidak malam ia kerap merondai kota Mamuju. Saban hari menggelandang diri di kota.
Di badannya paling sering memakai kemeja tak berlengan dengan bawaan jins agak ketat. Jika sudah begitu ia berjalan gontai. Kedua tangan diayun bergantian sembari badan digoyang sedikit. Sesekali—terutama saat berhadapan dengan lawan bicara, sesama pemuda tentunya—kedua tangannya diselipkan ke kantong depan celana jinsnya itu.
Ia lelaki bebas. Sarjana baru yang suka-sukanya mengelanakan diri. Ia bergerak bak aktifis tak tentu nasib: peruntungan karirnya ia pasrahkan pada Sang Pencipta. Terkadang ia merenungi masa depannya. Keluhannya kadang diucapkan begitu berat, terbata-bata.
Potret gelandangan hidupnya saya rekam benar, sekitar dua tiga tahun lamanya (2010-2013). Pemuda ini pengeluh yang ramah dan ia ikhlas mengerjakan apa saja sepanjang menurutnya baik dan jalan perekat perkawanan.
Pesona Bukit Sejarah Kalubibing
Sapaan akrabnya Baim. Titah nama dari leluhurnya adalah Sumarlin. Lahir di kampung Kalubibing, Mamuju, 28 Agustus 1984. Baim terlahir dari pasangan, Ayahnya petani dan Ibunya sehari-hari mengurus rumah, suami dan anak-anaknya.
Sejak markas Kepolisian Daerah Sulawesi Barat (Mapolda Sulbar) berdiri mentereng di bukit Kalubibing beberapa tahun lalu, nama salah satu kampung tua di Mamuju ini kian pesohor. Cita pesona sejarah kampung ini menukik dan berkelok indah.
“DI Kalubibing itulah saya lahir, kanda,” kata Baim di Mamasa pada pekan kedua Oktober 2024.
Kata Kalubibing sendiri diambil dari nama salah satu unsur Kerang Tude, yang dalam bahasa Mamuju disebut Atti.
Dulu, cerita Baim, di lingkungan Kalubibing hingga kawasan Mapolda Sulbar sekarang, banyak Kerang Tude. “Makanya disebut Kalubibing Atti’,” kata Baim.
Kalubibing tak sendiri memunggungi pegunungan dan kawasan hutan yang luas di belakangnya yang menjungtai hingga Kabupaten Mamasa. Di belakang Mapolda Sulbar atau kampung Kalubibing terdapat sebuah komunitas sejarah menahun, yakni Kadolang.
Hemat Baim, dalam dokumen literasi kesejarahan Kerajaan Mamuju, Kadolang disebut sebagai bagian dari penyangga kerajaan, dan itu diperkuat pula di masa penjajah kolonial Belanda, bahwa Kadolang ikut angkat senjata.
Kadolang pula mengingatkan garis moyang Baim, bahwa di zaman dahulu ketika kakek-nenek dari Pitu Ulunna Salu (PUS) muhibah ke jazirah pantai Mamuju, di Kadolang inilah salah satu pilihan tempat bermukimnya.
“Dari kisah inilah mengapa garis keturunan saya adalah turunan dari PUS,,” kisah Baim.
Jika menarik garis perwilayahan sekarang, Kadolang ini meluas, dari perbukitan Kalubibing hingga ke Kalapa Tujuh, Sangkurio, Tammasapi, dan Talibu’. Kawasan luas ini dulu dipimpin oleh seorang punggawa kappung yang dinamai Kepala Kadolang.
Siapa yang dipercaya menjadi Kepala Kadolang ketika itu, termasyurlah nama dan otoritasnya. Bayangkan, ia mengepalai dan memerintah Rakyat bahkan keseluruhan kawasan pegunungan Mamuju.
Liku Peluh Titian Sekolah Baim
Dari fisiknya yang mungil dan pembawaan tak temperamen, Baim sadar posisinya sebagai anak bungsu dari empat bersaudara. Seiring waktu, dua kakaknya lebih dulu pergi. Sejak belia ayahnya telah mengenalkannya cara bercocok tanam.
Baim masih kecil ketika mulai membiasakan diri ikut ke gunung untuk bercocok tanam. Ketika masuk sekolah dasar di SD Inpres Binanga II Kalubibing, ayahnya kian membiasakan si bocah Baim merayap ke gunung. Akibat dari itu, pada 1994, Baim tinggal di kelas III saat anak sepantarannya naik kelas IV.
Dengan kejadian ini, kisah Baim, kakeknya yang jauh memboyong si kecil ke Pakkatto, Gowa, Sulawesi Selatan dan disekolahkan di sana.
Tinggal jauh di Gowa Baim sering menangis lantaran rindu pada ibunya di Kalubibing, Mamuju. Sungguh tak kepalang, meninggalkan Mamuju di usia beliau sejauh 418 kilometer tentulah mengiris hati Baim.
Tak jarang ia menangis sesegukan di tempat tidur kala malam tiba. “Saya rindu Mama-Bapak, juga teman-teman kecilku di kampung Kalubibing,” Baim bercerita.
Rasa rindu Baim terobati di tahun 1996 ketika ayahnya menginjakkan kaki di teras rumah kakeknya di Gowa itu. Walau Ibunya tak disertakan ke Pakkatto, Gowa, separuh rindunya terbalaskan. Saat kembali ke Mamuju Baim ikut pulang mengisi liburan sekalian ingin melihat ibunya.
Libur panjang sekolah saat itu dimanfaatkan Baim untuk kembali membantu ayahnya menanam barakbak (padi gogoh) di gunung Tapukkodo, Kalubibing. Ia selingi mengambil rumput untuk makanan ternak sapi peliharaan ayahnya.
“Sapi itu bukan milik keluarga dekat. Bapak pelihara dan bagi hasil setelah membiak. Kalau sudah ada anak sapi 2 ekor, ya 1 ekor pemilik dan 1 ekor jatah bapak,” ujar Baim.
Waktu tak terasa untuknya menikmati masa liburan, setelah tiga minggu di kampung ayahnya mengajak kembali ke Pakatto, Gowa, untuk mengikuti pelajaran baru pasca-libur sekolah.
Di suatu hari di tahun 1996, Baim beserta ayah dan ibunya berangkat dari rumahnya di Kalubibing menuju terminal Angkutan Darat Penumpang di Simbung, Mamuju.
Di atas bus yang akan mengantarnya ke Makassar, Sulsel, Baim memilih tempat duduk dekat jendela kaca. Meski ditemani ayahnya, Baim tak kuasa menahan tangis memandangi ibunya yang berdiri di pojok terminal sembari melambaikan tangan kepada anak bungsunya ini. Lama-lama Baim turun dari bus lalu berlari memeluk ibunya.
Ia tak kuat meneruskan perjalanan. Rindu ibu sungguh teramat berat. Jadilah ayahnya meneruskan perjalanan darat semata wayang ke Makassar. Baim dan ibunya berjalan perlahan meninggalkan terminal seiring angkutan bus yang membawa ayahnya hilang dari pandangan melaju di pendakian Patti’di, Simboro, Mamuju.
“Tidak kuat ka’ kak tinggalkan mama. Lebih baik tidak jadi ka’ ke Makassar,” kata Baim.
Dari terminal Simbuang ke Kalubibing sejauh 8 kilometer, Baim berjalan sembari menggamit ujung lengan ibunya. Dulu itu, cerita Baim, masih sangat terbatas kendaraan di kota Mamuju. Ibunya tak banyak bicara selama keduanya jalan kaki ke Kalubibing.
Di Pakatto, sang ayah mengemas pakaian dan surat-surat sekolah anaknya lalu kembali ke Mamuju. Baim kemudian melanjutkan sekolah dasar di SD Inpres Binanga II Kalubibing hingga tamat (1998).
Di Madrasah Tsanawiah (MTs) 2 Mamuju, menjelang penaikan kelas dua Baim berhenti sekolah lantaran tak kuat jalan kaki dari Kalubibing ke sekolah (MTs) itu yang jaraknya tak kurang 6 kilometer.
“Capek ka’ jalan kaki terus ke sekolah kak, jauh sekali,” keluh Baim mengingatnya.
Pengisi waktu ia bekerja sebagai buruh bangunan. Seorang kerabatnya yang berprofesi kontraktor bangunan bernama Hartono (Kades Bambu saat ini) mempekerjakan nya sebagai buruh.
Ia mengingat waktu itu Hartono sedang mengerjakan drainase jalan di Kelapa Tujuh, Mamuju, dan dari situlah ia bisa mengail rezeki selama beberapa pekan.
Peruntungan berikut datang dari salah seorang kerabatnya. “Kebetulan tante, sepupu sekalinya bapak ke Mamuju, saya diajak ke Makassar untuk lanjutkan sekolah,” kata Baim.
Di Makassar Baim kemudian masuk SLTP Makassar Raya. Sekolah ini berada di kompleks Asrama HUBDAM VII Wirabuana. Setelah tamat SMP ia kembali ke Mamuju berlibur.
Ia lupa waktu hingga tak sempat kembali ke Makassar melanjutkan pendidikan lanjutan atas. Ia memilih masuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Tanratupattanabali, sekolah di bawah Yayasan Tomakaka Mamuju, tamat tahun 2004.
Baim tak bergeming. Ia kukuh hendak melanjutkan pendidikan tinggi di Makassar, tapi ayahnya keberatan lantaran tak akan mampu membiayainya. Ayahnya luluh setelah ia yakinkan akan mampu menimbah ilmu di Makassar dengan upaya cari biaya kuliah sendiri dan jaminan hidup selama merantau di Makassar.
Maksud hati masuk Universitas Hasanuddin (Unhas) tak kesampaian karena tak lulus dalam ujian seleksi (SMPTN). Dengan begitu Baim memilih masuk Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin, Makassar.
Meski tak bisa masuk jurusan pemerintahan yang diidamkannya, dan ia bersyukur karena saat itu ada jurusan baru di IAIN yakni jurusan Teknik Arsitektur dan Teknik Informatika. Jurusan ini dibuka menandai bakal perubahan dan kenaikan status IAIN menjadi universitas: Universitas Islam Negeri (UIN).
Di Mamuju, kedua orang tuanya bangga mengetahui anaknya adalah mahasiswa Teknik Arsitektur Indonesia, di jalur formil sekolah agama pula. Baim tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Di IAIN inilah Baim mulai mengenal organisasi ekstra kampus: Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), tergabung dalam HMI Cabang Gowa Raya Komisariat Adab.
Setahun menjalani perkuliahan, lagi-lagi dihadapkan pada persoalan klasik, biaya. Ini menjadi masalah, beban bagi perguruan tinggi tempatnya mengecap ilmu. Jalan terakhir keluar dari kampus dan pindah ke kampus swasta: Universitas Muhammadyah (Unismuh), tetangga kampus IAIN.
Ia memulai perkuliahan di Unismuh tahun 2005. Di kampus ini Baim menemukan hasratnya karena bisa mengambil jurusan Ilmu Pemerintahan dan selesai tahun 2012.
Sejak itu ia seolah menghirup romans hidup baru. Baim juga sarjana.
Organisatoris yang Serius
Meski Baim menjalani kuliah di dua kampus dengan karakter dan mazhab yang beda, Baim tetap menjadi insan cendekia terpaan HMI. Di HMI itulah ia menemukan makna, aktualisasi dan nilai-nilai dasar Tri Darma Perguruan Tinggi.
Kebanggaannya pada HMI ia buktikan dengan PIN yang ia kenakan di baju, kecuali saat dicuci saja ia lepas pin itu. Selainnya, dengan organisasi ekstra hijau hitam itu pula ia bisa mondok gratis di sekretariat organisasi. Ia mendapatkan dua keuntungan sekaligus, tak pernah alpa kala kajian tiba dan jadi petugas pembuat kopi kepada segenap senior di lembaga itu.
Cakrawala baru di Unismuh (2005) ketika melibatkan diri di mazhab yang lain: bergabung di komisariat Ahmad Dahlan—sebuah nama beken, pendiri ormas Muhammadyah di Indonesia. Bersamaan dengan itu Baim pindah dan masuk Asrama II Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Mamuju (Hipermaju) di Alauddin III.
Hipermaju ini adalah organisasi daerah asal Mamuju di Makassar, didirikan para leluhur intelektual Mamuju dan punya bangunan asrama di Makassar, baik untuk asrama putri dan asrama putra. Dibangun atas inisiasi tokoh-tokoh dalam lembaga dan dibantu Pemkab Mamuju – siapa pun kepala daerahnya (bupati). Di asrama Hipermaju itu, ia pernah tergabung di komisariat Tamalanrea dan yang di Alauddin III.
Di kampus Unismuh, Baim berkarya. Pada 2006 bersama 6 rekannya mendirikan Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan (HIMJIP) Unismuh. Lembaga intra kampus ini masih eksis hingga kini. Namanya juga ada di Lembaga eksternal yang lain, seperti LPSED BIYAS. Banyak rekan se-HMI-nya di situ, bahkan eks ketua-ketua BEM kota Makassar.
Ia ingat, pernah bergerak mendampingi pedagang kaki lima (PK5) dan kaum buruh di Makassar. Turun demonstrasi tak sekali. Baim juga mantan demonstran, di Makassar dulu.
Membaca Mamasa dari Dekat
Seorang sarjana dan kembali ke kampung kelahiran, Kalubibing, Mamuju, Baim rajin menggelandang. Ikut sana main sini. Yang penting aktualisasi jalan. Kerja-kerja profesional tentunya. Ia tak sepi dalam pergaulan. Modalnya lumayan: seorang aktifis.
Hanya berbilang tahun mengelanakan diri di Mamuju. Lalu datanglah hari baru untuknya. Perantaraan nasibnya tersebutlah seorang nama, Fikal (34 tahun). Fikal ini sahabat Baim. Fikal adalah kades di Desa Panetean, Aralle. Dijalaninya periode kedua memimpin desanya kini. Bisa dibilang Fikal-lah penerang bidup baru Baim di Mamasa sejak awal 2009.
Berbilang tahun silam, kedatangannya di Mamasa tak membawa nama dan pesonanya yang tampak. Ia anak rumahan: dari urusan mencuci piring di dapur hingga bersih-bersih mobil di teras rumah putih yang besar nan luas: rumah elit daerah yang tersampir di kaki bukit Tatoa, Mamasa.
Fikal itu sesosok pemuda cerewet dalam bergaul. Keluwesannya berteman menjadikan Baim adalah korbannya.
Pemuda Fikal, di masa remaja hingga menginjak dewasa ia bertaruh hidup di Makassar dan Mamuju, sebelum benar-benar pulang ke kampungnya dan jadi kades.
Sewaktu kuliah di Makassar dulu, ia kerap menemani Munandar Wijaya (36 tahun). Nandar—sapaannya—adalah anak seorang elit di Mamasa. Ayahnya bernama Haji Ramlan Badawi. Pernah berganti kepala OPD, Wakil Bupati Mamasa dan terakhir Bupati Mamasa (2012-2023).
Bersama Fikal itulah Baim jalan seiring dengan Munandar. Kian lama kian akrab. Tiga sejoli ini menatap hidupmnya masing-masing dalam jangkauan seorang tokoh besar dan pejabat berkuasa di Kabupaten Mamasa.
Di 2009 itu Munandar Wijaya—yang rela meninggalkan PNS—bertarung di pileg dan lolos ke parlemen Sulawesi Barat (2009-2014). Periode berikutnya lolos lagi, yang seharusnya ke 2019, tapi di tengah jalan terhenti tak normal: dugaan kasus hukum pidana.
Karir baik Baim kini tak lepas dari peran dua karibnya itu: Fikal dan terutama Munandar Wijaya. Baim berproses di Mamasa dipayungi peruntungan karena titah dari atas, namun tentu pula faktor kesahajaan sikap dan perilaku Baim sendiri. Ia bisa dipercaya untuk hal apa pun. Baim pemegang amanah yang baik. Dan karena itu pula—seperti pengakuannya sendiri pada media ini—nasibnya berubah 180 derajat.
Di awal Oktober lalu, saat ide awal tulisan ini, saya bercerita dengan Baim semalam suntuk. Mobil Innova hitam yang mengantarnya pulang urusan dinas kepemiluan dari Makassar ke Mamasa, ia meminta sopirnya pulang duluan istirahat setelah memarkir si hitam di depan salah sebuah toko berjejaring (waralaba) di Mamasa.
Berbilang menit selingan cerita di depan toko modern itu, Baim menyetir mobilnya untuk bergeser ke sebuah pondokan sederhana—tempat para kuli tinta di Mamasa kerap bercengkerama. Di tempat itulah alur cerita dituntaskan, bahkan hingga detail anggaran kepemiluan di Kabupaten Mamasa yang pernah jadi polemik berarti di publik.
Menjadi Staf Ahli (TA) Wakil Ketua DPRD Sulawesi Barat (2009-2014), Munandar Wijaya Ramlan, adalah momentum paling berarti bagi Baim. Banyak pelajaran dan pengalaman yang ia dapatkan.
Kepindahannya ke Mamasa tempo itu, yang sesungguhnya kembali ke kampung leluhurnya, menemukan nilai-nilai kultur yang bagi Baim selama di Mamuju sangat berbeda. Dan inilah yang menjadi salah satu daya tariknya selama tinggal di Mamasa.
“Entahlah, apakah hijrahnya saya ke Mamasa dulu adalah bagian dari restu manurung nenek atau apa, Yang pasti ketika saya ikut seleksi KPU Mamasa di periode pertama sudah metabe’ dalam bathin akan izin Tuhan dan leluhur, hingga akhirnya saya dinyatakan lulus,’ ujar Baim, jujur.
Soal PUS dan Mamasa, Baim punya bacaan yang keren:
Sampai saat ini saya selalu meyakini sesiapa yang masuk PUS atau Mamasa dengan niat yang tak lurus maka akan menemui banyak kendala dan—mungkin—tak bisa bertahan di PUS maupun di Mamasa.
Mamasa dalam historis kulturalnya sesungguhnya salah satu kabupaten yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, nilai-nilai kasih sayang. Sehingga saya selalu bilang ketika Mamasa ini dalam interaksi sosial mengedepankan nilai-nilai kultural kasitayukan, kasirandean dan kasih sayang. Maka bukan tidak mungkin Mamasa akan menjadi suatu daerah akan maju.
Tukang Hitung Lotre di Tanah Leluhur
Baim tak hanya berkerja sebagai komisioner KPU Mamasa, ia juga belajar tentang Mamasa dan, yang terpenting, harus banyak menyesuaikan diri.
Dari kampuslah ia belajar demokrasi. Semasa masih mahasiswa ia pernah terlibat pemantauan pemilu di Kalumpang, Mamuju. modal pernah belajar dalam sebuah Workshop kepemilian yang diselenggarakan oleh KPU Sulawesi Selatan sungguh pelajaran berarti baginya kini saat ia telah duduk di KPU Mamasa.
Pada 2013, Baim sudah ingin mendaftar sebagai anggota komisioner di Mamasa namun terhalang belum syarat umur. Tahun 2018 ia berhasil masuk KPU Mamasa, dan 2023 ketika dekkengnya kian kuat, ia bahkan jadi Ketua KPU Kabupaten Mamasa.
Sumarlin alias Baim menyergah seketika tatkala mendengar pertanyaan—mungkin pula ia tangkap diksi pernyataan—bahwa komisioner lebih banyak duduk di belakang meja.
“Oh, tidak!” tegas Baim.
Ia mengaku banyak turun ke bawah.
Dan kembali ke cerita singkat polemik anggaran pilkada itu.
Pada 2023 lalu, komisioner Baim mati-matian mempertahankan paket anggaran Pilkada Mamasa 2024 sebesar Rp35 miliar. Banyak pihak kemudian menginterupsinya, bahkan hendak membatalkan nilainya lantaran dinilai terlalu besar dan membebani APBD Kabupaten Mamasa.
Baim kukuh pada proses dan hasil kesepakatan bersama para pihak, terutama Pemkab Mamasa sendiri yang telah menandatangani dan menyerahkan dana hibah Pillkada Mamasa 2024 tersebut dengan segitu besarannya.
Bagi Baim, yang ia ceritakan pada awal Oktober lalu itu, soal nilai tak masalah. Mau diturunkan berapa pun, atau bahkan disisakan Rp5 miliar sekalipun untuk membiayai gelaran sekaliber pilkada, ia setuju saja, asal semua pihak kembali mau membubuhkan tanda tangan, dan ikut secara bersama-sama berhadapan dengan KPU pusat, Komisi II DPR RI, dan terutama sekali Kemendagri.
Tak sampai buyar. Semua takut. Baim menang. KPU Mamasa tak bergeming. Pilkada terlaksana—dalam proses sesuai tahapan saat ini tentunya. Anggaran tak goyah: Rp35 miliar.
Soal sikapnya yang kuat itu, Baim bicara datar. “Ini bukan jabatan ketua semata kanda. Tapi ini soal penyelenggaraan Pemilu, Pilkada. Ini agenda nasional. serentak di Indonesia. Jadi tak mungkin mundur selangkah pun jika itu menyangkut mempertaruhkan kredibilitas KPU dan Pilkada itu sendiri.”
Mamasa di suatu pagi buta itu, saya telah kembali dari telusur kota mencari kuliner beraroma nan berasap: panas. Di depan pendapa di Tatoa itu Baim bergegas memutar mobilnya. Ia menyegerakan diri ke rumah kost-nya.
“Ada rapat di kantor pagi ini, kanda.” Baim berlalu membawa kantuknya.
SARMAN SHD