Catatan NURHAYANA KAMAR
BERKACA pada.Kongres XXV Persatuan Wartawan Indonesia, 25-26 September di Bandung, Jawa Barat, memberikan gambaran, bahwa Wartawan anggota PWI pun, baik di level Pusat, maupun grassroot, cukup matang berorganisasi dan berdemokrasi. Mampu berkongres tanpa “riak”.
Selain itu, tidak gampang dikelabui, untuk meloloskan sebuah konsep “pemaksaan kehendak”, demi mencapai tekad terpilihnya pemimpin dua periode, dengan kapasitas “berlumur” masalah dalam kepemimpinannya. Dan dalam kondisi yang carut marut.
Bagaimana pun rapinya kemasan sistem pemilihan yang akan diloloskannya, di dalam kongres, bisa “ditangkis” peserta kongres, untuk tetap berada pada koridor yang fair dan sepatutnya, sesuai PD/PRT serta aturan aturan organisasi.
Pengalaman Kongres Bandung setidaknya menjadi pelajaran ke depan, bahwa incumbent tidak bisa lagi melakukan cara-cara yang tidak fair.
Seperti yang ingin diloloskan oleh rezim yang baru lalu. Tepatnya rezim yang dihaslkan oleb Kongres XXIV di Solo.
Atau tepatnya, Wartawan anggota PWI, tidak bisa lagi dibodohi. Dirampas haknya, dalam memilih dan menentukan nakhoda Pimpinan Pusat, atau Ketua Umum.
Penulis tidak hadir langsung di arena Kongres Bandung. Namun dengan memonitor “siaran langsung”, melalui WA WA.
Baik semua WA grup, WA tim sukses, dan japrian-japrian secara pribadi. Serta dengan membaca banyak tulisan dari para senior penulis berkesimpulan tersebut di atas.
Atau dengan kata lain, untuk mau sukses ke depan, terpilih dua kali, haruslah benar-benar memiliki modal prestasi dalam memimpin organisasi. Memberikan pelayanan yang baik kepada anggota.
Apalagi organisasi PWI yang terbesar anggotanya, tertua usianya, harus menunjukkan dan menjadi contoh kematangan dalam berorganisasi.
Tidak asal adanya saja. Terlebih lebih lagi, dengan munculnya banyak masalah yang tidak ada habisnya dan tidak ada penyelesaiannya.
Itu karena lembaga yang memiliki kewenangan mengawasi dan mengambil keputusan (Dewan Kehormatan), tidak dipedulikan.
Pengurus Harian bahkan cenderung berfungsi ganda, mengambil alih kewenangan “Legislatif”nya PWI tersebut.
Padahal DK, tidak serta merta menghasilkan keputusan begitu saja. Tetapi melalui pembahasan bertahap-tahap dan cukup panjang.
Ini yang terjadi dengan rezim yang lalu. Masalah demi masalah terjadi, bahkan, dia sendiri yang membuat masalah dengan melabrak aturan aturan organisasi.
Pelajaran
Ini pelajaran bagi rezim sekarang. Namun dengan nakhoda baru Hendry Ch Bangun, kita semua yakin, akan jauh dari kondisi yang terjadi sebelumnya.
HCB, disamping menguaaai aturan aturan organisasi, juga sudah punya reputasi sebagai Sekjen dua kali, mampu mengendalikan sekretariat, sebagai jantungnya organisasi.
Di jaman HCB Sekjen, hampir tidak kedengaran ada masalah yang krusial dan tidak bisa diselesaikan. Sehingga Ketum Margiono tidak sulit menjalankan roda organisasi.
Ditopang oleh seorang Sekjen, yang mampu memenej organisasi.
Rezim yang baru lalu, benar-benar amburadul. Posisi “kunci” di organisasi, berjalan seolah “one man show”. Bahkan terkesan terjadi persekongkolan.
Lalu apa jadiinya? Anggota sampai ke jenjang bawah, gaduh. Parahnya, terjadi saling sikut, dan terbelah dimana-mana tanpa bisa diatasi. Konflik berkepanjangan, akhirnya anggota memilih apatis.
Harusnya Pimpinan Pusat bertindak sebagai “wasit” mengendalikan persetetuan. Justru turun gelanggang ikut “bermain” menperkuat posisi salah satu pihak, yang “dekat” dengannya..
Akibatnya, kekacauan demi kelacauan terjadi, yang membuat anggota frustasi.
Saking frustasinya, lahirlah kesepakatan-kesepakatan dalam “tempurung”, harus terjadi perubahan. Bila tidak, organisasi akan hancur berkeping keping.
Benih-benih tersebut sudah mulai nampak. Kata kasarnya, Asal Bukan Atal lagi.
Kebetulan banyak figur yang mumpuni bisa memimpin PWI Pusat. Setidaknya muncul 3 figur, HCB, Zulmansyah dan Ahmad Munir.
Namun figur yang dinilai paling tepat menggantikan Atal saat ini adalah Hendry Ch Bangun.
Selamat pak HCB, Bravo PWI