The Three Musketeers di Kongres PWI Pusat

536
The Three Musketeers -- Tiga Pejuang Kerajaan Prancis.

Catatan H. DHENI KURNIA

THE Three Musketeers adalah tiga prajurit Prancis yang bertelagah mencari kebenaran dan membebaskan negara mereka dari tirani kekuasaan Inggris. Mereka saling bersaing, berbeda pendapat, walau akhirnya sama-sama menjadi pahlawan.

Dikisahkan, mereka adalah pejuang tangguh, pantang menyerah, punya jaringan dan pendukung militan. Tapi ketiganya, pernah pula tertipu, dibully dan diiming-imingi oleh pengkhianat.

Mereka memberi kepercayaan pada seorang wanita, memberikan apa yang mereka miliki, meski kemudian wanita itu pergi ke lain hati dan merendahkan harkat dan harga diri mereka.

Ketiga Musketeers (Pasukan Pembela Kerajaan Prancis) itu adalah Athos, Porthos dan Aramis.

Meski ini hanya fiksi sejarah bersetting kerajaan, tiga petarung yang ahli dalam berbagai hal ini, melalui berbagai onak dan duri mewujudkan tugas negara yang dibebankan pada mereka.

Itu tentu tak mudah. Mereka harus bekerja keras, mewujudkan keinginan Prancis.

Semula mereka jalan sendiri-sendiri. Mereka ditugaskan mencari tiga kunci di istana Inggris yang dipegang tiga orang pula. Mereka harus berpencar membuat strategi masing-masing.

Dalam melakukan tugasnya itu, mereka dibantu seorang wanita yang memiliki peran sebagai seorang penyamar. Setelah mereka mendapatkan ketiga kuncinya, mereka lalu membuka ruang rahasia yang berada di bawah koridor utama istana.

Ruangan tersebut berisi arsip-arsip penting berupa gulungan-gulungan kertas, dan yang mereka cari adalah sebuah gulungan kertas berisi rancangan pembuatan kapal udara.

Ketika mereka akan keluar dari ruangan itu, karena ketahuan, mereka dikepung oleh para prajurit Inggris yang diperintahkan untuk membunuh mereka. Wanita cantik inilah yang mengkianati ketiganya.

Ternyata wanita itu adalah mata-mata. Tetapi mereka berhasil meloloskan diri. Prancis pun kemudian mendepak ketiganya dari The Musketeers, karena dianggap gagal menjalankan misi. Mereka berpisah dan mencari jalan sendiri-sendiri.

Beberapa waktu kemudian, adalah seorang pemuda bernama D’Artgnan, putra seorang Musketeers yang lain. Dia ingin menjadi The Musketeers, seperti ayahnya.

Dalam perjalanan untuk bergabung ke Prancis, secara tidak sengaja dia bertemu dengan tiga Musketeers yang dulu pernah viral; Athos, Porthos dan Aramis.

ZUL, ATAS, HENDRY. Tiga kunci utama Kongres XXV PWI Pusat di Bandung, Jawa Barat.

D’Artgnan yang ahli dalam memainkan pedang dan seni perang, terlibat keributan dengan ketiganya. Lalu dia mengajak ketiganya berduel.

Tapi tiga mantan Musketeers ini adalah orang sakti dan terlalu hebat untuk dilawannya. D’Artgnan, kalah segalanya.

Belakangan dia baru tahu bahwa ketiganya adalah Musketeers legenda yang dia kagumi.

Dalam periembangan selanjutnya, tiga Musketeers legen ini, berniat untuk kembali menjadi punggawa kerajaan.

Selain untuk membersihkan nama baik mereka, juga ingin melakukan yang lebih besar dan hebat untuk pengabdian ke negaranya.

D’Artgnan kemudian menyatukan Three Musketeers yang terbelah, bahkan ketiganya berjanji dengan ikhlas dan sepenuh hati akan membela negaranya.

Terlalu panjang pula agaknya pembahasan tiga Musketeers ini. Tapi tak apalah, karena kisah The Three Musketeers, mengingatkan saya atas apa yang terjadi dalam Kongres Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ke-25 yang baru saja usai di Bandung, Jawa Barat.

Ibarat Three Musketeers, tampil pula pejuang-pejuang tangguh untuk jadi ketua PWI Pusat.

Ketiganya, sudah teruji untuk kerjaan seperti ini. Karena mereka memang ahlinya. Tiga “Musketeers” yang maju sebagai calon Ketua PWI Pusat kali ini adalah; Atal, Hendry dan Zulmansyah.

Mereka sudah bergerak dan mempersiapkan diri untuk menjadi ketua umum, bukan petang kemarin. Tapi cukup lama. Ada yang dua tahun sebelumnya dan bahkan ada yang tiga tahun sebelum hari perhitungan.

Terlalu lama agaknya, jika saya menguraikan apa saja strategi yang dibuat tiga Musketeers PWI itu. Yang pasti, mereka sudah sangat siap untuk bertarung.

Yang pasti pula, mereka sangat yakin bahwa mereka akan memenangkan pemilihan, baik Atal Sembiring Depari, Hendry Chaeruddin Bangun maupun Zulmansyah Sekedang.

Dan, pada hari perhitungan sebenarnya, baru mereka tersadar, bahwa pemenangnya hanya satu orang. Dari sinilah kemudian lahir cerita dan kisah mirip The Three Musketeers.

Yang kalah, merasa ada yang berkhianat atas perjuangannya. Dan yang menang, seperti berselancar di atas ombak; sulit tapi menyenangkan.

Pemenangnya adalah Hendry yang mengumpulkan 47 suara. Sementara Atal hanya 41 suara. Pada pemilihan pertama, Atal sempat unggul dengan 40 suara.

Sementara Hendry hanya 39 suara dan Zulmansyah mengumpul 9 suara saja. Atal sempat kaget. Karena dalam hitungannya, pemilihan akan berlangsung satu putaran saja.

“Dalam hitungan saya sudah 50-an lebih suara dari 88 pemilih. Tapi kok bisa hilang,” tanya dia.

Begitu juga Zulmansyah, yang sebelum hari pemilihan bergerilya ke berbagai provinsi mencari dukungan. Menurut hitungan dia, setidaknya sudah 40-an pemilih yang berpihak padanya.

Tapi yang lengket, hanya 9 angka saja. Dia yakin, bahwa yang lainnya melarikan diri karena berbagai persoalan

Sementara Hendry yang sejak awal tidak banyak bicara, tidak banyak berkampen, tidak tampak sibuk dan grasa-grusu, berhasil mengumpul suara terbanyak.

Dia dengan elegan berhasil pula membawa Zulmansyah dalam gerbong pemilihan akhir. Strategi Hendry untuk menang di menit-menit akhir membuktikan bahwa dia adalah Musketeers sebenarnya.

Sementara Atal dan Zulmansyah, tetaplah sebagai Musketeers, meski merasa ada pengkhianatan dalam perjuangannya. Bagaimanapun ketiganya adalah Musketeers terbaik yang dimiliki PWI Indonesia.

Onak dan duri yang mereka lalui, hanyalah sebatas pengalaman dan pelajaran berharga. Bagi Atal, keyakinan yang berlebihan, bukanlah jaminan untuk menang.

Bagi Hendry, untung saja masih ada yang mau berkolaborasi. Bagi Zulmansyah, calon yang termuda di antara tiga Musketeers, perjalanan masih panjang.

Perlu banyak waktu untuk belajar arif dan bijaksana. Pastinya, PWI adalah rumah besar yang harus kita jaga bersama.

Sebagai organisasi wartawan terbesar di negeri ini, PWI mengamanahkan agar sekali lima tahun, harus memilih ketua yang baru.

Maka tiga prajurit handal ini, sejak awal sudah sepakat dan siap mengangkat dan mempertahankan harkat dan martabat PWI di masa depan.

Ini kuncinya. Dan, mereka sudah membuktikan, bahwa mereka adalah prajurit terbaik yang tampil di medan laga.

Kongres memang tidak hanya memilih ketua umum. Tapi juga membuat program yang sesuai dengan perkembangan zaman ke depan.

Ketiga Musketeers PWI ini juga sudah memberikan sumbangsih yang besar untuk itu. Dalam penyampaian visi dan misi, ketiganya memberikan masukan yang sangat berarti.

Saya yakin dan percaya, apa yang mereka pikirkan dan sampaikan sebelum pemilihan, akan menjadi dasar dalam tindakan serta perjuangan PWI ke depan.

Tenang-tenang Saja

Pemilihan Ketua Umum PWI, memang menjadi segmen puncak dari keseluruhan kegiatan Kongres PWI Bandung, yang berlangsung pada 25-27 September 2023. Bagi pendukung Atal kemenangan Hendry cukup mengejutkan.

Sebab, sebagai petahana, dia terlihat sangat percaya diri kembali terpilih. Apalagi saat pembukaan Kongres di Istana Negara, Atal menyampaikan bahwa dia, Insya Allah akan duduk lagi.

“Di Solo 2018, saat Pak Jokowi membuka Kongres, saya menang. Di Bandung, lagi-lagi dibuka Pak Jokowi. Saya juga akan menang,” katanya yakin.

Tapi pendukung Hendry yang solid, dari DKI Jakarta, Jawa Tengah, Solo, Yogyakarta, Bali, NTB, NTT, Gorontalo dan Kalimantan, terlihat tenang-tenang saja. Mereka tak peduli atas strategi yang dibuat Atal.

Belakangan, justru mereka bisa menggaet sebagian wilayah Sulawesi, Papua dan Koalisi Sumatera.

Tambahan suara Hendry itu didapatkan dari Zulmansyah Sekedang (Ketua PWI Riau). Di putaran pertama, Zul mendapatkan 9 suara, yang kemudian sebagian di antaranya mendukung Hendry di putaran kedua.

Ditambah pula oleh dukungan luar yang tidak tedaftar, tapi ikut membuat suara Atal jadi berkurang.

Rekam jejak Hendry memang sudah teruji. Pola pikir, tepat dalam mengambil keputusan, karir yang mumpuni ikut mendorongnya sebagai pemenang.

Dia pernah bekerja di Harian Kompas, pernah pula di Dewan Pers, Ahli Pers dan dua priode menjadi Sekretaris Jenderal PWI Pusat.

Pria kelahiran Sumatera Utara ini, memiliki concern yang tinggi pada kualitas pendidikan wartawan.

Kemenangan Hendry ini menurut Tokoh Pers Indonesia, Ilham Bintang, adalah kemenangan yang tertunda. Sebab, lima tahun lalu (2018), dia justru dikalahkan Atal Depari.

Atal dan Hendry sebenarnya sama-sama berasal dari Sumatera Utara dari Puak Karo. Tapi di panggung PWI mereka adalah Musketeers yang punya jalan sendiri-sendiri. Apapun hasil Kongres itu, tambah Ilham, yang menang adalah PWI.

Apalagi dalam sambutan setelah kemenangan, Hendry menyampaikan, bahwa dia ingin menjadikan PWI sebagai rumah besar, rumah bersama bagi seluruh wartawan yang profesional.

“Saya ikut mendukung Hendry. Sudah saatnya PWI kembali menjadi rumah besar wartawan Indonesia. Profesional dan diakui keberadaannya,” kata Ilham.

PWI berdiri 9 Februari 1946, yang berarti berusia 77 tahun, lanjut Ilham, saatnya menjadi organisasi disegani.

Apalagi dengan anggota mencapai 22-an ribu, tidak saja harus berkutat dalam masalah profesi, tetapi juga soal lain yang menyangkut problematika kebangsaan.

Begitulah!

Dheni Kurnia adalah mantan Ketua PWI Riau, Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Provinsi Riau

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini