Catatan ringan tentang dunia pendidikan di Kabupaten Mamasa, sebuah refleksi dan bahan kontemplasi pada peringatan 15 tahun terbentuknya Kabupaten Mamasa.
Oleh: JAMES R. PUALILLIN
SEJAK lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2002 tanggal 10 April 2002, tentang Pembentukan Kabupaten Mamasa dan Kota Palopo di Provinsi Sulawesi Selatan (ketika itu), merupakan titik awal bagi kedua daerah tersebut sebagai suatu daerah otonom yang mendapat rekonigsi (pengakuan) dari pemerintah untuk menyelenggarakan pemerintahan secara otonom.
Sejalan dengan bergulirnya perubahan regulasi pemerintahan daerah khususnya kebijakan otonomi daerah, mulai dari UU 22/1999 yang kemudian direvisi menjadi UU 32/2004 dan terakhir UU 23/2014, menuntut setiap daerah otonom untuk mampu (mandiri) menyelenggarakan berbagai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Termasuk Pemerintah Kabupaten Mamasa, diharapkan mampu menyelenggarakan berbagai urusan pemerintahan (wajib maupun pilihan).
Sebelum mengulas lebih jauh soal bagaimana penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, tidak ada salahnya kita mencoba membangun konstruksi pemikiran kita dengan bertanya pada diri sendiri (secara filosofi).
“Mengapa perlu ada pemerintah?” Pertanyaan ini bisa kita jawab dengan mencoba melihat antara lain, beberapa pandangan (teori) tentang sejarah terbentuknya pemerintah itu sendiri.
Menurut J. J. Rousseau (seorang filosof modern yang pemikirannya dianggap mampu menginspirasi terjadinya revolusi Perancis 1789-1799) yang mengatakan, terbentuknya negara/pemerintah disebabkan oleh adanya keinginan masyarakat untuk membuat “kontrak sosial” kepada beberapa orang (sebagai perwakilan pemimpin dari masyarakat atau seorang pemimpin) yang dianggap/dinilai mampu melindungi dan memberi rasa aman dan ketertiban bagi masyarakat banyak.
Dalam teori “Kontrak Sosial” (Du Contract Social) ini, sumber kewenangan berasal dari masyarakat (rakyat) itu sendiri. Teori kontrak sosial ini juga dikemukakan oleh beberapa filosof lainnya, seperti Thomas Hobbes dan Jhon Locke dengan berbagai perbedaan pendekatan.
Namun, saya tidak ingin menggiring pemikiran dan pemahaman kita tentang perbedaan pemikiran di antara para filosof tersebut. Yang ingin saya kemukakan adalah menjawab pertanyaan yang saya ajukan di atas tadi, “mengapa perlu ada pemerintah?”
Dari pandangan J. J. Rousseau tadi, bisa kita rumuskan bahwa pemerintah diperlukan tidak lain adalah untuk menciptakan law and order (ketentraman dan ketertiban), dan juga untuk menciptakan walfare (kesejahteraan) bagi masyarakat umum.
Untuk mewujudkan tujuan mulia tersebut maka pemerintahan menjalankan beberapa fungsinya antara lain: memberikan pelayanan kepada publik; melaksanakan pembangunan (fisik dan non fisik); mendorong pemberdayaan masyarakat; dan membuat peraturan (rule of game). Fungsi-fungsi pemerintahan itu di jalankan dengan pendekatan politik dan administrasi.
Pendekatan politik, bahwa fungsi-fungsi yang dijalankan oleh pemerintah tadi merupakan produk-produk politik dalam bentuk kebijakan publik yang dirumuskan melalui proses dinamika politik di antara para aktor politik (infra dan suprastruktur).
Proses politik dalam mempengaruhi lahirnya berbagai kebijakan publik tersebut, merupakan hasil proses identifikasi (input) masalah publik/masyarakat (pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dll) melalui media (jaring asmara/musrenbang/ruang reses anggota DPR/D), sebagai aktualisasi fungsi agregasi dan artikulasi atas berbagai persoalan publik tadi yang dirumuskan menjadi produk-produk kebijakan publik.
Pendekatan administrasi, ketika proses politik telah selesai (done) dan menjadi produk-produk kebijakan publik, maka secara administrasi kebijakan-kebijakan publik tersebut dijalankan (dilaksanakan) oleh eksekutif beserta jajaran birokrasinya dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen, yaitu: perencanaan (planning); pengorganisasian (organizing); penggerakan (actuating); penganggaran (budgeting); dan pengawasan internal (internal control) dengan memerhatikan (resources) sumberdaya yang ada (SDM, time, informasi dan tehnologi).
Pendekatan administrasi tidak berhenti pada penerapan prinsip-prinsip manajemen seperti di atas, tapi bagaimana kebijakan-kebijakan publik yang dilaksanakan tersebut dapat dipertanggungjawabkan (akuntabilitas) kepada publik, sebagai pemilik sumber kewenangan tadi (dalam teori “Kontrak Sosial” tadi) dengan menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan, komunikatif dan partisipatif.
Kembali pada pernyataan tulisan saya di atas (pada paragraf awal), terkait urusan pemerintahan. Ada hal yang menarik bagi saya ketika menonton/membaca media (tv, media tulis) yang memberikan informasi tentang gambaran persoalan terkait di dunia pendidikan di Kabupaten Mamasa.
Saya mencoba mencantumkan link beritanya, agar kita dapat melihat pemberitaannya https://m.vidio.com/watch/571830-video-miris-begini-sekolah-kandang-ternak-di-mamasa dan https://m.vidio.com/watch/483175-kilas-indonesia-siswa-mamasa-susuri-bibir-jurang-demi-sekolah.
Setelah menyaksikan pemberitaan melalui link media yang saya sajikan, kita semua pasti tahu bahwa urusan pendidikan di Republik ini adalah salah satu urusan pemerintahan yang diwajibkan terkait dengan pelayanan dasar (merujuk UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah Bab IV pasal 12), selain urusan wajib lainnya terkait dengan pelayanan dasar, seperti kesehatan, PU dan tata ruang, perumahan rakyat dan kawasan pemukiman, trantib-linmas dan sosial.
Bahkan untuk penentuan keberhasilan Indek Pembangunan Manusia (IPM), sektor pendidikan menjadi salah satu indikator yang sangat berpengaruh. Sehingga ketika pemerintah mengabaikan sektor pendidikan dan sektor-sektor lainnya yang menjadi urusan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar, tentu situasi tersebut sangat mengusik kita semua.
Namun dalam menerima informasi pemberitaan tersebut juga tidak serta merta kita harus percaya begitu saja tanpa melihat secara komprehensif persoalan yang terjadi di lapangan dengan didukung oleh data-data yang ada.
Melalui tulisan catatan kecil ini, saya mencoba merespon persoalan pemberitaan tersebut secara proporsional dan mencoba melihat dengan dukungan data (hasil studi literatur secara sederhana yang saya lakukan).
Jika kita membaca data BPS Sulbar tahun 2015, menunjukkan kenaikan data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Kabupaten Mamasa dari periode tahun 2010 – 2015 (dari 60, 88 menjadi 63, 17) mengalami peningkatan, dengan laju perkembangan 0.50 (2015).
Data IPM selama kurun waktu enam tahun terakhir, capaian pembangunan manusia di Kabupaten Mamasa terus membaik dengan status pembangunan manusia “sedang” (60 ≤ IPM < 70). Namun, untuk mendapatkan angka IPM tersebut dipengaruhi oleh dimensi-dimensi yang menjadi indikator penilaiannya, antara lain dimensi kesehatan (angka harapan hidup), dimensi pendidikan (angka harapan lama sekolah, angka lama sekolah), dan dimensi hidup layak (pengeluaran perkapita).
Jika kita sekedar mengacu pada capaian angka-angka IPM dari hasil perhitungan-perhitungan statis saja, maka kita akan kehilangan substansi dalam melaksanakan urusan pendidikan, sehingga permasalahan yang muncul seperti yang ramai diberitakan di media akan terlewatkan (terabaikan).
Apalagi ukuran dari dimensi pendidikan dalam perolehan hasil angka IPM hanya mengukur angka harapan lama sekolah dan angka lama sekolah. Belum bicara soal perbandingan antara rasio murid dan guru, sarana dan prasarana pendidikan, kualitas guru, dan lain-lain.
Harus diakui bahwa enam tahun terakhir banyak perbaikan dan kemajuan yang sudah dilakukan oleh Pemkab Mamasa dalam melaksanakan urusan pendidikan, namun demikian perlu ada beberapa saran pemikiran saya dalam rangka optimalisasi pelaksanaan urusan pendidikan yaitu:
Pemkab perlu melakukan analisis lingkungan strategis yang berpengaruh terhadap perencanaan pendidikan kabupaten, tingkat kemiskinan, lapangan kerja, harapan masyarakat terhadap pendidikan, pengalaman-pengalaman praktek yang baik, tuntutan otonomi, tuntutan globalisasi, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perubahan lingkungan strategis harus diinternalisasikan ke dalam perencanaan pendidikan kabupaten di Mamasa agar perencanaan tersebut benar-benar menyatu dengan perubahan lingkungan strategis;
Pemkab diharapkan dapat melakukan analisis situasi untuk mengetahui status situasi pendidikan saat ini (dalam kenyataan) yang meliputi profil pendidikan di Kabupaten Mamasa (pemerataan, mutu, efisiensi, dan relevansi), pemetaan sekolah, guru dan murid, kapasitas manajemen dan sumberdaya, serta best practices model-model kebijakan pendidikan saat ini di beberapa daerah lainnya, sebagai bahan perbandingan;
Pemkab dapat memformulasikan pendidikan yang diharapkan di masa mendatang sesuai kebutuhan karakteristis wilayah Kabupaten Mamasa yang dituangkan dalam bentuk rumusan visi, misi, dan tujuan pendidikan, dengan cakupan pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi, dan peningkatan kapasitas pendidikan di Kabupaten Mamasa;
Mencari kesenjangan antara butir (2) dan butir (3) sebagai bahan masukan bagi penyusunan rencana pendidikan keseluruhan di masa yang akan datang (5 tahun) dan rencana jangka pendek (1 tahun). Kesenjangan/tantangan yang dimaksud mencakup pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi dan pengembangan kapasitas manajemen pendidikan pada tingkat kabupaten dan sekolah;
Berdasarkan hasil butir (4) disusunlah rencana kegiatan tahunan untuk selama 5 tahun (rencana strategis) dan rencana kegiatan rinci tahunan (rencana operasional); Melaksanakan rencana pengembangan pendidikan Kabupaten Mamasa melalui upaya nyata yang dapat meningkatkan pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi dan kapasitas manajemen pendidikan pada tingkat kabupaten dan sekolah;
Pemkab dapat melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan rencana dan melakukan evaluasi terhadap hasil rencana pendidikan. Hasil evaluasi akan memberitahu apakah hasil pendidikan sesuai dengan yang direncanakan. Pada hakekatnya sebuah perencanaan dibuat dalam rangka untuk mengubah ”situasi pendidikan saat ini” (dalam kenyataan) menuju ke ”situasi pendidikan yang diharapkan” di masa mendatang.
Untuk itu, ada tiga kata kunci yang harus dipahami, yaitu kebijakan, perencanaan dan program pendidikan (harus saling terpadu, integrative, holistic dan partisipatif dengan melibatkan semua stakeholders pendidikan di Kabupaten Mamasa).
Catatan akhir saya, dinas pendidikan dan para stakeholders pendidikan lainnya, perlu membuat pemikiran inovatif-kreatif mengenai model pembangunan sistem pendidikan yang terintegrasi, yang diramu dengan mengakomodasi upaya peningkatan dan pencapaian berbagai kebijakan pendidikan (pemerataan dan perluasan akses pendidikan, peningkatan kualitas pendidikan, relevansi pendidikan, dan lain-lain yang ditargetkan) secara bersama-sama, bukan secara parsial dan berurutan, termasuk aspek sustainability (keberlanjutannya).
Sekadar sebagai contoh, hasil peningkatan dan pencapaian pemerataan dan perluasan akses pendidikan, perlu dibarengi dengan peningkatan kualitas pendidikan (proses pendidikan dan guru-guru, misalnya), tapi juga perlu memperhatikan aspek relevansi (misalnya, target Kabupaten Mamasa ke depan, sebagai pusat atau Destinasi utama Pariwisata di Sulbar).
Aspek keberlanjutannya perlu juga dipikirkan, jangan sampai berjalannya sebuah kebijakan hanya tergantung pada ada tidaknya subsidi dana dari pemerintah pusat, sementara ketika subsidi dana pusat ditiadakan/dicabut, lalu kebijakan di sektor pendidikan tersebut tidak dapat berjalan.
Ditulis saat dinas luar di Kota Ternate, 24 Maret 2017