Oleh: Jasman Rantedoda
SELASA, 5 Oktober 2004, Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) resmi menjadi satu Daerah Otonomi Baru berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2004. Tak dapat disangkali, di sana ada jejak Maradika Mamuju ke-XVI, Paduka Yang Mulia Andi Maksum Djalaluddin Ammana Inda (alm).
Pada Kongres Rakyat Mandar untuk perjuangan pembentukan Provinsi Sulbar yang dilaksanakan di Majene, Jumat 19 Januari 2001, Andi Maksum DAI menabuh gendang menandai dibukanya kongres perjuangan itu.
Buyi gendang tersebut seolah menjadi api yang memanasi setiap tapak-tapak perjuangan yang sudah dimulai sejak lama, agar tidak berakhir beku. Terus membara hingga jatuhnya palu sidang di gedung bekas kepunyaan Games of New Emerging Forces (Ganefo), di Kawasan Senayan Jakarta, Selasa 5 Oktober 2004.
Dalam kenangan Syahrir Ramdani, Andi Maksum DAI adalah sosok yang bersahaja, tak pernah menganggap diri selayaknya raja dalam masa-masa perjuangan.
“Saat berbaur dengan orang biasa seperti kami, tidak pernah ada jarak. Beliau adalah contoh yang baik,” sebut Syahrir saat menyampaikan kenangan pembentukan Sulbar, di rumah duka, Rabu 9 September.
Ketika masa-masa perjuangan Pembentukan Sulbar sempat mengalami stagnasi, kata Syahrir, dirinya selaku juru lobi di pusat, kembali ke daerah menemui beberapa tokoh yang dianggap bisa mengobarkan kembali semangat perjuangan. Andi Maksum adalah salah satu sosok yang dimaksud. “Semoga perjuangan beliau menjadi tiang emas yang mengantarkannya ke syurga,” doa Syahrir.
Jauh sebelumnya, ketika Republik Indonesia baru berusia 19 tahun (1964), Andi Maksum DAI telah menceburkan diri dalam perjuangan sebagai sukarelawan bersama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), menumpas gerombolan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) hingga mengamankan kader dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Mamuju. Dan pada gelombang arus reformasi 1998, Andi Maksum DAI didapuk sebagai ketua kelompok tujuh pro reformasi, di Mamuju.
Lalu, setelah Sulbar otonom -terpisah dari Sulawesi Selatan¬- lelaki kharismatik kelahiran Mamuju, Minggu 13 Juni 1943 itu, tak lantas berpangku tangan. Ia melibatkan diri secara aktif membenahi provinsi ke-33 ini, melalui jalur parlemen.
Disaat yang sama terus merawat kerukunan antar umat beragama dan keharmonisan antar golongan. Untuk kiprahnya itu, ia mendapat penghargaan sebagai tokoh pluralis, dari The Centre Hindu of Indonesia tahun 2013.
Pemersatu Raja-Raja Nusantara
Ketika dua organisasi nasional yang menghimpun raja-raja di nusantara, yakni Forum Silaturahmi Keraton Nusantara (FSKN) dan Majelis Adat Kerajaan Nusantara (MAKN), terus bersikukuh satu sama lain, Andi Maksum DAI yang diterima baik di dua organisasi tersebut kemudian tampil menjadi pemersatu.
Titik kulminasinya pada Festival Maradika Mamuju yang dilaksanakan Desember 2019. Ia mempertemukan 93 kerajaan di Nusantara baik dari FSKN maupun MAKN, di Mamuju. Dari festival itu lahir lima butir rekomendasi yang salah satunya adalah penyatuan FSKN dan MAKN.
Pada awal tahun 2020, Andi Maksum DAI (alm) pernah bercerita pada penulis di kediamannya, ia memiliki satu keinginan untuk melasanakan re-deklarasi Ikrar Tammejerra.
Ia mengaku mulai mengendus hilangnya kesakralan Ikrar Tammejara, sehingga musti dikuatkan kembali melalui suatu pendeklarasian kembali.
Untuk keinginan tersebut, almarhum mengaku sudah membicarakannya dengan Gubernur Sulbar, Ali Baal Masdar.
Namun masih ada beberapa tokoh yang hendak ia temui, termasuk pemerintah pada enam kabupaten di Sulbar.
Namun, kini penabuh gendang perjuangan itu telah mangkat di usia 77 tahun. Meninggalkan segudang kebaikan dan semangat untuk generasi saat ini dan yang akan datang. Selamat jalan sosok yang menginspirasi, semoga Allah melapangkan jalanmu menuju syurga.
Penulisa adalah Wartawan senior, kini Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga PWI Provinsi Sulawesi Barat.