Puncak Tongging, Legenda Danau Toba dan Lampu Pocong Kota Medan

1495
DANAU TOBA, Sumatera Utara. (Foto: Ilham Bintang)

DANAU Toba, adalah danau tekto-vulkanik di Sumatera Utara. Usianya 77 ribu tahun. Panjang danau 100 kilometer dan lebar 30 kilometer.

Itulah mengapa saat perjalanan dari Parapat ke Tongging, sejauh perjalanan berkendara mobil yang berjarak 60 km, danau itu seperti mengawal di sisi jalan. Airnya tenang.

Kawan seperjalanan, wartawan senior Asro Kamal Rokan terpaksa memindahkan koper di kursi belakang kiri untuk dia duduki sambil merekam penampakan danau dengan ponselnya.

Danau Toba dianggap sebuah keajaiban alam yang sangat menakjubkan. Terbentuk dari letusan dahsyat sebuah gunung api, Gunung Toba, yang terjadi pada puluhan ribu tahun lalu. Dengan kedalaman 450 meter.

ILHAM BINTANG dan kawan-kawan di Sumatera Utara. (Foto: Istimewa)

Danau Toba lebih mirip lautan daripada danau. Sudah begitu, ada pula sebuah pulau besar, Pulau Samosir, di tengah danau terbesar di dunia ini.

Untuk ke Samosir, harus menggunakan perahu atau kapal feri. Perjalanan kurang lebih satu jam. Samosir merupakan desa adat Batak.

Putri Jelmaan Ikan

Danau Toba bukan hanya penampakan fisik, tapi juga memiliki legenda. Berdasarkan cerita rakyat yang dipercaya masyarakat setempat, Danau Toba dulunya adalah sebuah dataran kering yang ditinggali seorang pria bernama Toba.

Suatu ketika, Toba mendapatkan seekor ikan mas, yang kemudian berubah menjadi wanita cantik. Toba terkejut. Wanita jelmaan ikan mas tersebut bermohon untuk tidak dibunuh.

Keduanya saling jatuh cinta dan menikah. Sebelum menikah, ikan mas jelmaan ini memberi syarat yakni tidak menjelaskan asal-usulnya, termasuk nanti kepada anak-anak mereka.

Toba setuju. Dari pernikahan itu, lahir seorang anak lelaki yang diberi nama Samosir.

Anak lelaki itu berperilaku buruk, sering melawan, membantah, dan tidak mau membantu orangtuanya. Suatu kali, ibunya menyuruh Samosir mengantar makanan untuk Toba di sawah. Toba tidak langsung menemui ayahnya, melainkan bermain dengan teman-temannya.

DANAU TOBA, Sumatera Utara. (Foto: Ilham Bintang)

Ayahnya sudah menunggu makanan dari tadi dan mulai tidak sabar. Eh, Samosir malah menyantap makanan yang dititipkan ibunya.

Begitu Toba tahu makanan sudah habis, kesabarannya hilang. Dia memarahi Samosir dan menghadik keras “dasar kau anak ikan”.

Penyebutan anak ikan ini melanggar janji sebelum pernikahan Toba dengan istrinya yang merupakan jelmaan ikan.

Tidak berselang lama, gelombang air menenggelamkan sejumlah desa dan menjadi danau luas dan dalam. Istri Toba kemudian berubah kembali menjadi ikan dan menceburkan dirinya ke danau.

Sedangkan Samosir lari ke atas bukit dan selamat. Tempat itu kelak dikenal dengan nama Pulau Samosir yang berada di tengah Danau Toba.

Cerita rakyat ini dipercaya sebagian masyarakat. Legenda pernah ditulis Rosmilan Pulungan dan Amanda Syahri Nasution dalam buku berjudul Nilai Moral dan Kerja Keras dalam Dongeng Danau Toba yang diterbitkan Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.

Kabut Asap

Kami beruntung bisa menikmati keindahan danau itu di hari pertama, Selasa, 20 Juni. Dari tempat menginap, Hotel Niagara, yang lokasinya di atas bukit di Desa Parapat, Simalungun, Sumatera Utara.

Kawasan wisata DANAU TOBA. (Foto: Ilham Bintang)

Kami tiba di lokasi sore, lumayan bisa menikmati keindahan danau saat matahari terbenam.

Namun, Rabu, 21 Juni pagi cuaca berubah. Saat kami meninggalkan Parapat menuju Tongging, Danau Toba diselimuti kabut. Airnya yang tenang berwarna biru terang seperti tak berdaya melawan kabut.

Menurut penduduk setempat, kabut berasal dari asap pembakaran lahan di sekitarnya. Tidak jelas apakah pembakaran itu legal atau bukan. Tak ada informasi pula apakah kejadian itu sudah dilaporkan ke pihak otoritas.

Yang pasti, kabut telah mengganggu mood wisatawan yang hendak berburu keindahan panorama Danau Toba.

Kalau betul ada pembakaran hutan, saya kira ini harus segera diatasi pemerintah daerah. Sebab tidak mustahil akan mempengaruhi kunjungan wisatawan. Mau lihat keindahan danau tapi tertutup kabut asap.

Pekerjaan rumah yang lain, mendidik petugas obyek-obyek wisata di sana agar ramah pengunjung. Seperti di obyek wisata air terjun, Sipiso Piso. Kebanyakan petugas seperti tak sadar mereka adakah agen pariwisata di lini terdepan.

Foto: Ilham Bintang

Sampai di Tungging, Toba tetap berselimut asap. Tungging adalah bukit tertinggi di Tanah Karo. Seperti Kota Ruteng di NTT, Tongging sepanjang tahun dingin.

Sebuah keunggulan tersendiri di masa sebagian besar wilayah Indonesia mengalami kenaikan suhu udara panas satu dua derajat. Kamar resort Simalem yang kami inapi pun tidak menggunakan pengatur suhu udara (AC).

Ketinggian Tongging 550 meter di atas permukaan danau. Ada yang menyebut ketinggiannya 950 m. Tongging merupakan kawasan puncaknya Sumatera Utara. Di kawasan itu berdiri Taman Simalem Resort. Obyek wisata yang luasnya 220 Ha.

Dari Medan menuju ke Simalem bisa ditempuh dengan perjalanan darat kurang lebih tiga jam. Hari itu Resort Simalem penuh pengunjung keluarga yang membawa anak-anak liburan sekolah.

Sayang Danau Toba diselimuti asap hingga esok harinya sampai kami meninggalkan Tongging menuju Medan.

Padahal, semula kami merencanakan akan turun ke bawah, melihat dari dekat dan menyentuh permukaannya.

Ini amanah Prof OK Saidin, kawan seperjalanan, “Kalau ke Danau Toba, sebaiknya sentuh airnya,” katanya.

Oh, iya, lupa mengenalkan. Prof OK Saidin adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU). Berdua dengan pengusaha Medan, Faris Bashel, merekalah yang mengundang dan menjamu kami untuk trip Toba ini.

Sebabnya, saya sudah cerita kemarin. (Baca: “Salam Dari Danau Toba” catatan Ilham Bintang, 21 Juni 2023).

Prof Saidin dan Faris terharu mengetahui saya belum pernah ke Toba. Rencana trip pun dibuat ketika kami sama-sama menghadiri undangan peringatan Hari Wartawan Nasional di Ipoh, Perak, Malaysia, akhir Mei lalu.

Saya bertiga dengan wartawan senior Asro Kamal Rokan dan Syamsuddin Ch Haesy terbang dari Jakarta Selasa, 20 Juni pagi.

Menumpang penerbangan Garuda GA 182. Senang menumpang pesawat itu. Seluruh kursinya terisi penuh penumpang.

Menurut informasi rute Jakarta – Medan, jalur gemuk. Pulang pergi selalu penuh. Sebuah signal kehidupan akan lebih cerah Garuda ke depan.

Prof OK Saidin dan Faris yang menjemput kami di bandara Kuala Namu. Dari bandara kebanggaan warga Sumut itu, kami langsung dibawa ke Parapat. Seperti diterangkan dalam tulisan sebelumnya, kami sempat Isoma : Istirahat, sholat, makan di Pematang Siantar.

Kota bersejarah yang melahirkan “Siantarman” julukan untuk tokoh-tokoh bangsa kelahiran daerah Karo. Di antaranya, Adam Malik, Wakil Presiden ketiga RI, yang juga wartawan.

Faris kemudian mengajak kami menikmati kopi kedai “Sedap” yang berusia 84 tahun. Kopinya memang enak dan khas.Faris cerita ia sering sengaja ke Siantar hanya untuk menikmati kopi “Sedap”.

Makan durian Medan. (Foto: Ilham Bintang)

Kami tiba di Medan menjelang Maghrib. Berputar-putar kota sebentar kita hingga malam. Sempat memotret Lampu Pocong yang bikin geger di Kota Medan, Rabu, 22 Juni malam. Yang saya foto yang nyala, sedangkan yang mati, tidak. Banyak sekali soalnya.

Kota Medan itu kini dipimpin Wali Kota Bobby Nasution menantu Presiden Jokowi yang punya gagasan memasang Lampu Pocong.

Luas Kota Medan, 265,1 km dengan penduduk 2.44 juta jiwa (sensus 2020). Saya berpikir kota ini ngeri-ngeri sedap.

Zebra cross, jalur menyeberang di jalan protokol yang letaknya persis di depan rumah sakit dan sekolah, tampak tidak dipahami maknanya oleh kebanyakan warga kota.

Sudah begitu tidak dilengkapi traffic light yang bisa mengatur orang menyeberang jalan aman.

Sungguh mengerikan mendapati kendaraan tetap gaspol melintasi zebra cross beradu nyali dengan penyeberang jalan.

ILHAM BINTANG

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini