Tentang Lopa, Hukum dan Kitab Suci
Catatan: Tomi Lebang
LAMA nian saya tak bercerita tentang Profesor Baharuddin Lopa, mendiang mantan Jaksa Agung yang saya kagumi. Seusai Lebaran ini, rasanya tak salah jika menengok satu penggalan hidup orang Mandar yang hampir setiap jejak dalam hidupnya adalah sikap teladan.
Selain sebagai sarjana dan pejabat hukum, Lopa dikenal karena keteguhannya pada agama yang dianutnya. Bukan di ucapan semata-mata, tapi pada sikap dan perilaku sehari-hari.
Sulit memilah sosok Lopa sebagai seorang ahli hukum atau seorang ustadz. Setiap kali berceramah, Lopa selalu menyelipkan kalimat-kalimat bijak dari kitab suci, seraya mengutip aturan-aturan hukum pidana dan perdata.
Ia adalah dosen di Fakultas Hukum dan juga program S-3 di Fakultas Pascasarjana Unhas. Para mahasiswanya mengenang, betapa mata kuliah Lopa selalu disisipi dengan ajaran nilai-nilai moral keagamaan. Ia sepertinya tak hanya ingin membuat pintar mahasiswanya tetapi lebih penting lagi membuat mereka jujur, punya sikap dan integritas.
”Dia sahabat sekaligus guru yang paripurna. Dia satukan secara sempurna kata dan perbuatan,” kata Laica Marzuki, mantan Hakim Agung yang juga dosen Fakultas Hukum Unhas.
Lopa memang dikenal sebagai penganut Islam yang taat, seorang pemeluk teguh. Dari gajinya sebagai pejabat, Lopa sudah membangun tiga buah masjid di kampungnya di Mandar. Masjid yang dibangunnya itu berada di tiga desa.
”Ia juga sering membantu pesantren,” ujar Rahmat, seorang keponakan Lopa di Makassar.
Di Jakarta, semasa hidupnya Lopa adalah Ketua Yayasan Masjid Al-Hidayah, masjid dekat rumahnya di Pondok Bambu. Seorang pengurus Masjid Al-Hidayah, Daniel Dawam, bercerita, suatu saat masjid ini akan direnovasi tapi panitia kebingungan mencari dana. Lopa yang sudah menjadi Dirjen Lembaga Pemasyarakatan saat itu berinisiatif mengambil map berisi formulir sumbangan dan turun langsung mengedarkannya dari pintu ke pintu rumah para penghuni sekitar masjid. Ia melakukan itu rutin selepas sholat Isya.
Dana yang menurut perkiraaan pengurus masjid baru bisa terkumpul dalam dua tahun, oleh Lopa cuma dikumpulkan dalam waktu tiga bulan.
“Dalam tiga bulan, Pak Lopa mengumpulkan Rp 250 juta untuk pembangunan masjid,” kenang Dawam.
Dan dengan segala penyerahan dirinya kepada Yang Maha Kuasa, Lopa tak pernah ragu mengambil keputusan. Ketika diangkat menjadi Jaksa Agung, banyak orang yang mulai ragu: adakah Lopa tidak sadar bahwa Gus Dur, di senja kekuasaannya, hendak menjadikan Lopa sebagai penambal coreng-moreng wajah pemerintahannya.
Untuk semua keraguan itu, Lopa hanya menjawab: “Kalau Gus Dur berpikir hendak menjadikan saya alat kekuasannya, Allah SWT tentu akan melindungi saya.” (Sumber: FB Tomi Lebang, April 2017)