Jokowi Berakhir ‘Happy Ending’

959
Armin Mustamin Toputiri, Praktisi dan Pengamat Sosial Politik di Makassar

ARMIN MUSTAMIN TOPUTIRI

AHAD 20 Oktober 2024, pukul 10.28 WIB, saat Prabowo Subianto mengucapkan sumpah dan janji untuk memulai tugas selaku Presiden RI, maka pada detik yang sama tanpa jeda, Jokowi sendiri dinyatakan lengser. Berakhir dari jabatan Presiden RI yang diemban sebelumnya.

Dengan demikian, Jokowi adalah Kepala Negara RI kedua selain SBY, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, meninggalkan Istana Negara cara happy ending. Jokowi, dan juga SBY, sama-sama dua periode menjabat presiden. Pula sama, berakhir hingga akhir masa jabatan.

Jauh beda lima presiden sebelumnya yang berakhir secara tragis. Soekarno di era Orde Lama, Soeharto di era Orde Baru, demikian pula dengan Gus Dur di era reformasi, mengakhiri tugas sebelum akhir masa jabatan. Ketiganya dimundurkan secara paksa lewat Sidang Umum MPR.

Adapun dua presiden lain, Habibie selain semata pelanjut kepemimpinan ditinggal Soeharto, juga berakhir dengan laporan pertangungjawabannya ditolak Sidang Umum MPR. Sementara Megawati, meski juga berakhir happy ending, tapi tak meraih poin penuh, semata pelanjut kepemimpinan Gus Dur. Bahkan, saat maju periode kedua lewat Pilpres Langsung pertama — hasil amandemen ke-4 UUD 1945 di eranya — Megawati justru ditumbangkan oleh sepasang mantan anggota kabinetnya sendiri, SBY-JK.

Jokowi adalah Kita

Sepuluh tahun, dua periode Jokowi memimpin republik ini, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, merupakan sosok fenomenal di gelanggang perpolitikan Indonesia mutakhir. Tak punya latar kepemimpinan politik, selain “tukang kayu”. Pedagang mobiler di kampung, tapi bermodal keluguan dan kesahajaannya, kelak 23 tahun mendapat kepercayaan rakyat untuk memimpin pemerintahan. Mulus, berjenjang dari tingkatan terbawah hingga teratas.

Jokowi seperti digambarkan Djoko Pekik dalam satu lukisannya yang kini terpajang di Istana Negara, “Petruk Dadi Raja”. Dalam kisah Punakawan, Jokowi adalah sosok Petruk. Ia berlatar kasta orang biasa, seperti umumnya masyarakat Indonesia. Sebagaimana slogannya “Jokowi adalah Kita”. Dia bersahaja serta merakyat, potret tauladan yang sejak kuda gigit batu, telah ditanamkan leluhur di benak kita, agar tetap hidup bersahaja, tak sombong dan tak angkuh.

Mungkin dalih itulah masyarakat kita takjub dan kagum pada sosok Jokowi. Dia hadir sebagai anti-tesis pongahnya penguasa dan kekuasaan, lazimnya banyak kita temui. Maka, terjadilah anomali itu, rakyat memberinya kesempatan. Tak hanya dua periode menakhodai Surakarta, tapi juga Gubernur DKI Jakarta yang masyarakatnya plural dan melek huruf. Bahkan sebelum masa jabatannya berakhir, rakyat Indonesia sekali lagi memberinya kesempatan, dua periode mengepalai negara ribuan pulau dan suku ini, serta berpenduduk terbesar kedua di dunia.

Kegemilangan Jokowi merebut jenjang jabatan itu, tak mustahil karena Jokowi hadir di waktu yang tepat. Selain memenuhi tesis benak rakyat kita akan hadirnya pemimpin bersahaja, pula bertepatan dibukanya kran demokrasi terbuka. Terlebih pada saat yang sama, Jokowi sama juga Barack Obama, Donald Trump serta sekian kepala negara di dunia, tampil saat kemajuan teknologi informasi kian maju dan terbuka. Era yang oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam bukunya “How Democracies Die”, menulis bahwa kemajuan teknologi informasi, ikut manyulut maraknya populisme politik. Bahkan diklaim satu musabab zakaratnya demokrasi.

Demikian faktanya, Jokowi sukses menghipnotis masyarakat Indonesia. Tanpa kecuali, kaum intelektual dan cendekia sekalipun itu. Meski diakhir periode kedua Jokowi, oleh para kaum kritis merasa kena prank. Jokowi sediakala dikira lugu, kelak faktanya jauh sebaliknya terjadi, semata kedok, modus pencitraan. Tetapi apapun tu, dibalik cerca dan cacian atas kinerjanya yang dituding amburadul, namun jelang akhir masa jabatannya yang “happy ending”, survey menemukan 80 % rakyat Indonesia puas dengan kinerja Jokowi.

Bahkan paling spektakuler yang tak pernah terjadi pada enam presiden sebelumnya, ekor jas “coattail effect” Jokowi berhasil menghantar Prabowo Subianto serta putranya, jadi penerus.

Amandemen Konstitusi

Jokowi serta SBY, sama-sama dua periode memangku jabatan Presiden RI. Juga sama-sama terpilih, tidak sama seperti lima presiden sebelumnya dari sokongan voting suara mayoritas Anggota MPR-RI. Keduanya terpilih lewat Pilpres Langsung, suara mayoritas rakyat Indonesia sebagai konsokuensi atas amandemen ke-4 UUD 1945.

Amandemen konstitusi dalam Sidang Umum MPR 2002, menggeser system ketatanegaraan secara radikal. Lembaga legislative yang menganut “mono-cameral”, digeser dua pintu “bi-cameral”. Sementara kelembagaan eksekutif, jika sebelumnya “Semi Presidensial”, digeser menjadi “Presidensial Murni“. Tujuan idialnya, mengimplementasikan Trias Politica secara konsisten, demi “check and balances”. Saling kontrol antar sesama lembaga tinggi negara.

Sisi lain, MPR sebagai lembaga tertinggi yang “super body”, kedudukannya digeser hanya jadi lembaga tinggi. Maka MPR tak dapat lagi memintai pertanggungjawaban serta melengserkan presiden dalam kedudukan sebagai mandataris MPR. Seperti sejarah mencatat, tiga presiden sebelumnya; Soekarno, Soeharto dan Gus Dur, dilengserkan lewat Sidang Umum MPR.

Sebaliknya, itulah dalih kenapa Jokowi dan SBY menunai jabatan hingga akhir masa jabatan, serta berakhir “happy ending”, karena kedudukan presiden bukan lagi mandataris di bawah MPR, tapi setara sesama lembaga tinggi. Presiden pula tak lagi dipilih dan bertanggungjawab lewat Sidang Umum MPR, tapi pada rakyat yang memilihnya. Tanpa kecuali memberhentikan dengan segala syarat-syaratnya yang serba rumit dan berliku.

Maka, sejauh amandemen ke-4 UUD 1945 tak dirubah, bisa dipastikan jika tak hanya Jokowi dan SBY, tapi juga Prabowo yang sekian hari lalu mengucap sumpah dan janji, serta presiden selanjutnya, pula kelak akan berakhir “happy ending”. Meski kinerjanya tidak becus, seperti ditudingkan pada Jokowi.

Terhadap persoalan ini, banyak pihak — tak kecuali saat itu Ketua DPD-RI La Nyalla Mattalitti, disokong Ketua MPR-RI Bambang Soesatyo — meminta UUD 1945, diamandemen sekali lagi. Sekurangnya, kembali ke UUD 1945 secara murni. Dalihnya, Presidensial Murni menjadikan kedudukan presiden “full power” tanpa ada kekuatan penyeimbang yang efektif mengontrol.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini