TRANSTIPO.com, Jakarta – Pengamat hukum dari Universitas Tarumanegara, Jakarta, Dr. Urbanisasi, SH menilai, Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang baru saja disahkan DPR akan menjadi payung hukum bagi penegak hukum untuk melakukan penindakan dan pencegahan sebelum pelaku teror mengancam jiwa umat manusia.
Menurut Urbanisasi, undang-undang ini akan saling melengkapi dengan aturan dalam menghadapi kejahatan extra ordinary crime yang belum diatur atau bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai ‘kitab suci’ penanganan tindak pidana, termasuk terorisme.
“UU tentang terorisme itu harus dipandang sebagai upaya mengembalikan intitusi Polri sesuai fungsinya yakni sebagai lembaga penegak hukum,” tulis Dr. Urbanisasi dalam rilisnya yang dikirimkan kepada transtipo.com, Selasa, 29 Mei 2018.
Lanjut Urbanisasi menjelaskan, Polri diberi kewenangan menangkap, melidik dan menilai sendiri secara subjektif alat-alat bukti sebagai bukti permulaan yang cukup. Polri juga yang melakukan penyidikan sampai melakukan perampasan nyawa, harta benda dan penahanan bagi terduga teroris.
Sehingga menurutnya, dalam konteks kewenangan yang nyaris mirip kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri harus diatur oleh landasan hukum yakni UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang saat ini sudah disahkan oleh DPR RI.
“Jika kewenangan Polri yang sangat besar tidak diatur dan dibatasi oleh UU akan sangat riskan, bisa berpotensi melanggar HAM. UU tentang kejahatan terorisme ini akan memperkuat kewenangan aparat untuk melakukan pencegahan pada aspek menutup akses persenjataan, bahan peledak, mengeloa jaringan, memonitor teknologi. Dan yang menarik UU ini juga memberikan perlidungan terhadap korban,” ujar Urbanisasi.
UU ini, katanya, tidak sekadar mengatur soal penindakan tapi juga bagaimana melakukan pencegahan, bagaimana mencari akar permasalahan dan latar belakang aksi teror terjadi kemudian menghentikannya.
Lebih jauh Urbanisasi mengatakan, ada empat hal penting yang perlu diperhatikan dari kegiatan teroris yaitu penggalangan, perekrutan, persiapan dan pelaksanaan.
Menurutnya, dari empat hal itu tiga di antaranya tidak bisa dijangkau Polri. Untuk menjangkau itu membutuhkan peran Badan Intelijen Negara (BIN) dan TNI. Apalagi dalam hal letak geografis Indonesia memiliki pintu masuk yang sangat banyak.
Soal penindakan, kata Urbanisasi, Polri sendiri tidak sanggup. Dia mencontohkan soal Santoso di Palu yang baru bisa dilumpuhkan setelah ada peran TNI. Belum lagi bila ada teror di laut dan udara.
TNI, kata Urbanisasi, memiliki satuan khusus di tiga matra sekaligus. Sebut saja Den 81 Gultor Kopassus, Denjaka Marinir, dan Den Bravo Paskhas. “Di sini bisa diisi atau sekaligus mengganti Densus 88,” katanya.
Dalam penanganan teroris, kata Urbanisasi, perlu dilakukan koordinasi antarlintas lembaga pemerintah yang tidak hanya melibatkan aparat TNI dan BIN, tapi juga bisa menggunakan seluruh instrumennya, seperti Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Sosial.
“Di mana pada saat dan setelah terpidana teroris itu selesai menjalani pidana, pada tahap itu harus ada peran dari Kementerian Agama, dan setelah keluar tahanan pada tahap ini harus ada peran Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Sosial untuk melakukan deradikalisasi,” tuturnya.
Karena itulah, menurutnya, deradikalisasi seringkali diartikan sempit oleh negara, yakni hanya penyuluhan agama. Padahal, ada juga yang penting, yaitu pendidikan termasuk juga lapangan pekerjaannya agar mantan napi teroris tidak lagi dikucilkan di masyarakat.
FRENDY CHRISTIAN