Oleh: Lukas Luwarso
PRESIDEN Jokowi minta Menteri Hukum dan HAM untuk menyiapkan revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pernyataan ini dikemukakan saat bertemu Pemimpin Redaksi Media Nasional di Istana Merdeka, 17 Februari 2021. Presiden serius ingin merevisi UU produk tahun 2008. Diskusi di internal pemerintah sudah dilakukan beberapa hari sebelumnya.
Keseriusan itu juga terindikasi dari pernyataan presiden saat bertemu dengan Komisi Ombudsman RI (8 Februari). Jokowi meminta masyarakat aktif memberi masukan dan kritik pada pemerintah agar bisa lebih baik dalam melayani publik. Pernyataan yang kemudian dipertegas oleh Menteri Sekretaris Kabinet, Pramono Anung. Ia menyatakan, seperti jamu, kritik menguatkan pemerintah. “Kritik yang terbuka, pedas dan keras, membuat kerja pemerintah lebih terarah dan benar.”
Retorika politik soal kritik ini menjadi menarik, justru karena kenapa pemerintah minta dikritik? Dalam sistem demokrasi, minta dikritik tidak lazim. Karena kritik inheren sebagai mekanisme kontrol publik. “Minta dikritik” menjadi satu ironi, kalau bukan basa-basi politik. Mengingat realitas politik beberapa tahun terakhir, terjadinya sejumlah penangkapan warga yang menyampaikan kritik. Seringkali warga ditangkap hanya karena berekspresi, beropini, posting di media sosial, kritis pada pemerintah
Polisi gemar menangkap warga yang berekspresi “kritis” (meskipun, tentu, ada yang memang kebablasan) karena adanya produk hukum yang berwatak tirani: UU ITE. Aturan ini bersifat otoriter dan mengusik rasa keadilan, karena kerap dipakai untuk kepentingan “melindungi kekuasaan”. Mirip pasal-pasal “haatzai artikelen” peninggalan penjajah kolonial yang berlaku di KUHP.
Padahal tujuan UU ITE, seperti namanya, semula adalah untuk mengatur transaksi elektronik. Agar ada kepastian hukum dalam era baru berbisnis di era digital. Namun, alih-alih dipakai untuk urusan penegakan hukum dalam transaksi bisnis melalui medium elektronik, UU ini justru kerap digunakan untuk menjerat “ekspresi elektronik”.
Permintaan presiden untuk merevisi UU ITE sebenarnya agak terlambat. Baru menyadari setelah enam tahun di kekuasaan. Ketika banyak warga dijebloskan ke penjara hanya karena berekspresi. Namun, lebih baik terlambat ketimbang kualat. Permintaan presiden tetap perlu diapresiasi dan disambut baik. Penting bagi Presiden Jokowi untuk mewariskan demokrasi yang lebih baik pada penggantinya nanti (yang mungkin tidak “sebaik” dirinya).
Sejumlah kasus penangkapan terkait ekspresi politik tidak sepenuhnya bisa ditudingkan pada karakter kekuasaan Jokowi. Namun, lebih pada ekosistem politik dan mental aparat. Polisi gemar menangkap karena ada aturan hukum (UU ITE) yang diputuskan oleh para politisi era sebelumnya.
Politisi ketika duduk di kekuasaan cenderung lupa diri, dan tidak menyukai demokrasi. Mereka kembali sadar dan suka demokrasi ketika tidak lagi di kekuasaan. Respon mantan wapres, Jusuf Kalla (soal permintaan Jokowi agar dikritik) adalah contoh ironi lupa diri kekuasaan. Celetukan “bagaimana cara mengkritik pemerintah tanpa takut dipanggil polisi”, adalah lelucon yang tidak lucu. Karena dilontarkan mantan wakil presiden, yang baru turun dari kekuasaan—yang gemar melakukan penangkapan.
Celetukan Jusuf Kalla adalah testimoni, aparat polisi memang bersikap represif pada ekspresi kritis. Namun Kalla tidak pernah mempersoalkannya ketika ia ada di kekuasaan. Ia baru “berani” melontarkan, setelah tidak lagi di kekuasaan. Itu artinya, ada situasi defisiensi sikap kritis, di internal kekuasaan Jokowi. Indikasi ini juga terlihat pada menurunnya Indeks Demokrasi Indonesia beberapa tahun terakhir.
Menurut The Economist Intelligence Unit, yang rutin membuat laporan indeks demokrasi dunia, peringkat Indonesia berada di nomor 64. Di bawah Malaysia, Filipina, dan Timor Leste. Indonesia masuk kategori negeri “cacat demokrasi” (flawed democracy). Dan salah satu penyebab terus menurunnya indeks demokrasi adalah kegetolan aparat menggunakan UU ITE untuk membungkam ekspresi.
Aspek represif UU ITE bukan cuma pada sikap aparat. Namun juga merambah ke publik. Warga gemar melakukan aksi saling lapor menggunakan UU ITE. Membawa perseteruan perkubuan politik di media sosial menjadi sengketa hukum. Khususnya dilakukan oleh para “buzzer” politik, kubu-kubu pendukung pro atau kontra kekuasaan.
Buzzer menjadi istilah praktis untuk mengidentifikasi orang atau akun media sosial yang aktif mendengungkan pertentangan wacana sosial politik. Mereka yang gemar mempertentangkan semua hal menjadi isu politik perkubuan. Pokoknya asal pro atau kontra. Pro-Jokowi atau kontra-Jokowi; pro-syariah atau kontra-syariah. Itu tema perseteruan dua kubu buzzer. Politik banal para buzzer itu terus berdengung, saling serang, non-stop, tujuh tahun terakhir.
Para buzzer getol berdengung merasa “memperjuangkan” sesuatu, meskipun “sesuatu” itu kabur. Tidak terjadi dialog di antara buzzer yang berbeda kubu. Masing-masing mendengungkan “kebenaran” versi kubu sendiri. Lucunya, pada level politik elit, perkubuan tak terjadi. Begitu cair dan harmonis, seperti terlihat dalam politik Pilkada. Koalisi partai untuk mengusung calon begitu cair seperti oli. Para elite parpol berkompromi, berekonsiliasi, dan berbagi posisi dan jabatan di pemerintahan.
Para buzzer kini punya momentum untuk berhenti berseteru. Ada isu bersama untuk bersatu, bahu membahu, mengawal usulan presiden Jokowi merevisi UU ITE. Memastikan agar proses legislasi revisi UU ITE bisa terwujud. Para buzzer perlu berdengung untuk mengawal proses revisi akan berjalan beberapa hari ke depan. Memastikan DPR menghapus pasal-pasal karet penjerat ekspresi. Dan revisi bisa disahkan dalam waktu tiga bulan, seperti proses revisi UU KPK yang begitu cepat.
Kini saatnya para buzzer di kedua kubu politik (pro-pemerintah dan pro-oposisi) pro-aktif menggalang aksi mendukung revisi UU ITE. “Membuzzer UU ITE”. Untuk melawan kezaliman produk hukum beraroma kolonial. Buzzer mustinya bisa bersatu dalam revisi UU ITE ini, karena memiliki kepentingan yang sama.
Buzzer oposisi berkepentingan menolak pemidanaan pada kebebasan berekspresi. Buzzer kekuasaan berkepentingan menyukseskan permintaan presiden yang sangat mereka dukung. Nah, tunggu apalagi, perjuangan perlu digelorakan, buzzer bersatu padu untuk berdengung.
Jika perlu, agar ideologis, gunakan semboyan yang pernah didengungkan Karl Marx dalam menggalang kekuatan buruh: “Worker of the word, Unite. You have nothing to lose but your chains!”. Buzzer Indonesia, bersatu. Kau tak akan kehilangan apa-apa, selain aturan yang membelenggu.
Jakarta, 19 Februari 2021.