TRANSTIPO.com, Mamuju – Karayu memiliki seorang lelaki tegar, teguh, dan tekad menantang. Tak terbayang gertak sambal tantara kolonial Belanda ia balas menghardiknya pula.
Di zaman sebelum Indonesia merdeka, kita beruntung terlahir orang-orang yang kepalanya tegak di hadapan tentara kolonial. Demmatabu adalah salah satunya. Lelaki ini berdiam di sebuah kampung tua, Karayu dalam lembang Mehalaan.
Seiring waktu, Mehalaan kini beranak pinak yang kemudian menyejajarkan diri dengan komunitas lainnya di pegunungan membentuk diri sebagai kecamatan: Kecamatan Mehalaan.
Dulu, jika mengulik sejarah yang jauh, Mehalaan adalah bagian keserasiannya dalam Lembang Rantebulahan. Bahkan, pada peran dan fungsi kesejarahannya, Mehalaan adalah sayap penting bagi konfederasi Rantebulahan.
Demmatabu melawan titah tantara Belanda, dan karena perlawanannya itulah ia dibuang jauh ke pulau Borneo: Kalimantan.
Nasib sebagai buangan penjajah sudah barang tentulah miris dalam mengarungi kehidupan di pulau seberang itu. Jika bukan kabar kematiannya yang datang di kampung, kembali ke kampung pun tak ada jaminan keselamatan dirinya — di tangan Belanda, tentunya.
Begitulah dulu. Ketika penjajah mulai berpijak di pegunungan, pula di Mehalaan.
Jarak antara Nanang dan Demmatabu sudah berlapis kelima. Ayahnya yang bernama Wahidin adalah cicit mendiang Demmatabu itu.
Jika Wahidin dari Mehalaan dipertemukan Sang Pemberi jodoh yakni seorang perempuan bernama Marjuni, dari kampung Salurinduk. Dua sosok inilah yang melahirkan Nanang.
Salurinduk punya jalan sejarahnya sendiri.
Dulu, kampung ini bagian dari Lembang Aralle. Saat menjamur pemekaran di Kabupaten Mamasa — tentu tidak sekali waktu melainkan bertahap pascatahun 2000-an — kampung Salurinduk justru menjadi bagian Kecamatan Buntu Malangka (Bumal), bukan anak desa Kecamatan Aralle.
Nanang Wahidin bercerita, ibunya berdarah Rantebulahan dan Aralle. Ayah Marjuni—ibu Nanang—adalah seorang perantau dari tanah Bugis, tepatnya dari Sengkang, Wajo
Ia datang ke Aralle berdagang kain. Dengan bekal ilmu agama kakek Nanang dipercaya jadi Imam Masjid dan mengajar baca Al Quran bagi warga di Aralle hingga Salurinduk.
Peruntungan Hidup di Kalukku’
Wahidin dan Marjuni memilih hijrah ke Tasiu’, Kecamatan Kalukku’, Kabupaten Mamuju. Di Tasiu’ itulah Nanang Wahidin terlahir ke dunia. Meski ayahnya seorang guru SD di Tasiu’ dan ibunya membaktikan diri di rumah, kehidupan keluarga Wahidin tumbuh bersahaja dan sangat sederhana.
Nanang beruntung bisa mengecap pendidikan untuk jenjang yang nyaris sempurna. Saat umurnya masih belia, atau ketika masih di kelas IV SD Negeri 1 Tasiu, ayahnya berpulang untuk selama-lamanya (1999).
Sepeninggal ayahnya, sebagai bocah lelaki pertama dalam keluarga, Nanang harus menyingsingkan lengan baju untuk mengerjakan dua tugas sekaligus: sekolah formal di pagi hari dan sepulang sekolah bergegas membanting tulang membantu ibunya untuk menambah penghasilan keluarga.
“Saat itu menjadi tulang punggung keluarga sebab ayah hanya PNS, tidak ada kebun atau sawah yang ditinggalkan. Jadi, saya membagi waktu untuk membantu ibu demi kebutuhan rumah tangga,” kisah Nanang.
Sekolah formal yang dijalani Nanang berjalan dengan catatan kepedihan dan perihnya itu sendiri. Tahun 2002 ia tamat di SDN 1 Tasiu’.
Tahun 2005 tamat di SMPN 1 Kalukku, dan melanjutkan pendidikan atas di SMAN 1 Kalukku, meski ia menamatkannya di SMA PGRI Mamuju pada 2008 lantaran kondisi ekonomi, juga pengaruh sosial lainnya: kenakalan remaja.
Menengok perjalanan di masa kecil Nanang. Ia tumbuh seperti anak-anak lainnya. Bahkan, mengerjakan pekerjaan yang cukup berat dan penuh resiko.
“Perkerjaan saya dulu di Tasiu, pengumul pasir di pinggir sungai Tasiu. 4 s.d. 5 hari dalam seminggu saya sudah bisa mengumpulkan pasir yang ditanda’ (disaring) sebanyak 4 kubik, kemudian dijual ke pembeli (supir mobil truk) dengan harga Rp60 ribu. Alhamdulillah, sudah bisa buat beli beras,” kata Nanang mengingat masa kecilnya.
Sepulang dari sungai kumpul pasir, tidak l;angsung menggelandang di jalan-jalan Tasiu’ bersama anak-anak sepantaran. “Harus cari kayu bakar di hutan dan sayur kangkung atau daun ubi, pakis dan rebun bambu,” kata Nanang.
Malam hari ketika sudah duduk di dapur menyantap makanan bersama ibu, kakak, dan adiknya, Nanang sudah begitu bahagia. Meruap segala beban, keluh dan rasa capai sepanjang siang.
Pekerjaan berat inilah yang menuntun Nanang tumbuh jadi anak remaja yang sekaligus mengajarkannya tentang arti kehidupan.
Penghasilan pokok yang didamba ibunya untuk menjadi penopang utama asap dapur mereka terus mengepul, justru gaji pensiun mendiang ayahnya tak bisa diterima secara normal.
Saat itu kantor Taspen masih di Makassar, Sulsel. Pengurusan dana pensiun ayahnya kelar setelah beberapa tahun kemudian—dari sejak kelas IV SD hingga saya masuk SMA. Tak lebih enam tahun lamanya.
Dengan gaji pensiun ayahnya itu, oleh ibunya kemudian pakai membangun rumah sederhana. Meski rumahnya terbilang baru—hasil uang pensiun ayah—tapi lantai tetap masih tanah, berpenutup dinding papan, dan atap daun rumbia.
Perjalanan di masa sekolah memberi noktah: mulaI di bangku SD, hingga tamat SMA bekerja membantu ibu demi kebutuhan di rumah. Onak dan duri terangkum seiring berjalannya waktu.
Dunia Kian Kelabu
Irisan palung terdalam lengkap sudah. Saat itu tahun 2005. “Saya masih kelas 1 SMAN 1 Kalukku’ ketika ibu meninggal,” kisah Nanang. Fakta ini membuka matanya, juga (mungkin) masa depannya: merantau ke kota.
Masuk perguruan tinggi STISIPOL Tanratu Pattanabali—kini Universitas Tomakaka Mamuju—setelah tamat di SMA PGRI Mamuju.
Mengayuh hidup di kota sembari harus menyelesaikan tugas bejibun sebagai mahasiswa, ditambah status sebagai anak yatim piatu adalah fakta yang kerap datang menyeringai dengan sayatan sembilu: perih di hati.
Namun beban tak kunjung hilang malah semakin bertambah saat mulai kuliah sebab, “Saya harus terus bekerja untuk kebutuhan biaya kuliah,” tekad Nanang kala itu.
Selama kuliah di Mamuju, ia tinggal di rumah seorang pamannya, Paisal Husain (almarhum). Dengan ini biaya hidup di kota agak terbantu.
Dari seorang kerabat di rumah ini pula, Nanang bisa tahu masuk organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). “Nama kerabat saya itu, Suprianto Paisal, juga sekaligus mendidik saya.”
Dunia Nanang seolah terbentuk kembali ketika sedari awal ia mengecap ilmu dan segala mozaik tantangan di HMI. Dan pentahbisan kebaruan dunianya itu kian jelas setelah ia merengkuh jabatan Ketua HMI Cabang Manakarra pada 2013—posisi dari lamanya menimba ilmu pengkaderan yang ketat.
“Di rumah hijau-hitam—corak, identitas dan simbolisme pergerakan HMI—itulah yang membawa saya ke jalan hingga pada posisi karir saya saat ini,” kata Nanang, bersyukur.
Perjalanannya sebagai seorang aktivis mahasiswa di Sulawesi Barat, tak semulus yang dibayangkan semula. Pada 2009 Nanang Wahidin sempat dimasukkan sel tahanan di Mapolres Mamuju setelah ia komandoi demonstrasi di Kantor DPRD Sulawesi Barat.
“Dan, tidak itu saja, kanda,” kata Nanang. Ia melanjutkan, “Saya bahkan sempat berurusan dengan polisi—karena aktifitas demo itu—sekitar 10 kali.”
Muhibah ke Peraduan Ayu
Bambamanurung bagian integral dalam gugusan kampung-kampung menyejarah di Kabupaten Mamuju Tengah (Mateng), Provinsi Sulawesi Barat.
Desa Bambamanurung adalah sekumpulan komunitas transmigran yang kemudian beranak pinak menjadi satu wilayah yang layak menjadi desa. Dulunya masih menjadi bagian Dusun Salupangkang. Desa Bambamanurung resmi menjadi desa pada 1995.
Setelah mandiri, penabalan nama Desa Bambamanurung lahir dari kesepakatan bersama dalam sebuah musyawarah desa.
Bamba artinya suara, Manurung artinya gaib. “Jadi secara terminologi Bambamanurung berarti suara gaib dari langit,” kata Nanang Wahidin kepada media ini, Selasa, 19 Maret 2024.
Kematangan pemuda Nanang Wahidin kian lengkap setelah mempersunting seorang dara Mandar-Bali yang bermukim di Kabupaten Mamuju Tengah: I Gusti Ayu Inggrit WB, putri sulung bapak I Gusti Putu Budi Santoso.
Muasal ibu mertuanya yang Mandar itu, berasal dari kampung Karama’, sebuah kampung tua pesohor di pesisir Mandar lama.
Sang mertua adalah Kepala Desa Bambamanurung 2 periode, sebelumnya. Ibu mertuanya bernama Sahariah, yang kesehariannya petugas kesehatan di kampungnya.
Gusti Ayu, istri Nanang, masih tercatat sebagai Anggota DPRD Kabupaten Mamuju Tengah. Pada Pemilu 2019, Gusti Ayu merengkuh satu kursi untuk Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di parlemen.
Pilihan Nanang memilih bermuhibah ke Mamuju Tengah menjadi catatan pencapaian yang baik untuknya. Selain demi Gusti Ayu tentunya, juga sekalian tempat merenda hari esok—dus ruang mengeksplorasi obsesi-obsesi masa depannya. (bagian pertama)
SARMAN SAHUDING