CITA-CITA TA’

699
Foto: Illustrasi

Oleh: Tomi Lebang

DI MASA kecil saya di kampung, ada sekelompok anak muda yang datang dari kota — saya lupa, entah dari Makassar atau Polewali — yang lalu menjelma jadi mimpi-mimpi saya.

Mereka berjaket merah, tinggal menyebar di rumah-rumah warga, dan bekerja memandu orang kampung menjalankan usaha kecil atau bertani. Beberapa bahkan datang ke sekolah berbicara kepada murid-murid seperti saya. Kami mengenal mereka sebagai Butsi. Belakangan saya tahu, mereka adalah para sarjana yang mengikuti program TKS Butsi, Tenaga Kerja Sukarela – Badan Urusan Tenaga Sukarela Indonesia di masa Orde Baru.

Di mata saya, mereka keren, tampan-tampan dan cantik-cantik. Apalagi, sehari-hari mereka bercakap dengan bahasa Indonesia, ciri khas orang kota.

Saat itu juga saya bercita-cita menjadi TKS-Butsi.

Di tahun-tahun yang lain, sejumlah kawan kecil saya pindah ke kota. Ke Ujungpandang. Pada setiap menjelang Lebaran, mereka mudik. Dan yang mencengangkan: mereka sudah berubah, makin tampan dan cantik. Mereka terampil berbahasa Indonesia. Satu lagi, sehari-hari bercelana panjang, bahkan bersepatu. Jika mereka jalan bergerombol, saya beringsut meminggir.

Anak-anak Mambi dari kota ini dikenal sebagai Anak Panti. Bukan anak pantai, tapi anak panti. Rupanya, kawan-kawan kecil saya ini masuk panti-panti asuhan dan bersekolah di Kota Makassar. Dan itu memang satu jalan pintas untuk melanjutkan sekolah, mengejar masa depan, karena di Mambi sekolah baru sampai SMP dengan sarana sekadarnya.

Di tahun-tahun itu, cita-cita saya kembali berubah: menjadi Anak Panti.

Hari-hari berlalu, tahun berganti, bersalin masa, dan saya mendapati diri saya sudah bersekolah pula di kota Makassar. Tidak di panti asuhan, tapi tinggal menumpang di rumah seorang kerabat. Saya melewati masa-masa SMA dalam suasana kembang kempis. Saya kerap datang ke asrama tempat teman-teman saya tinggal di Jalan M. Yamin. Saya masih ingat sebuah coretan di dinding satu almari seorang penghuni asrama: “naik haji, punya rumah, beli mobil”. Rupanya itu cita-cita sang penghuni. Saya tak pernah berani membayangkannya.

Cita-cita saya sendiri berubah-ubah seiring waktu, mudah berganti setiap kali datang angan-angan baru, idola baru, keinginan-keinginan baru.

Pernah saya bercita-cita menjadi seorang insinyur — tanpa merumuskan itu insinyur teknik mesin, sipil, atau arsitektur. Yang jelas, insinyur itu keren. Di majalah dan koran, mereka digambarkan berkemeja polos, mengenakan helm proyek, berkacamata, dan tengah mencermati kertas gambar bangunan atau sedang memandang sebuah gedung yang belum selesai dengan tower crane menjulang di sisinya.

Seorang insinyur di mata saya sungguh pandai, hebat, keren, terpandang, dan tentu kaya.

Cita-cita saya, menjadi insinyur.

Saat benar-benar kuliah di Fakultas Teknik, lalu lulus, saya malah mengabaikannya. IPK saya sungguh-sungguh rendah. Saya sering berkelakar, ijazah teknik saya hanya layak untuk dipakai melamar kerja sebagai pelayan mini market atau stasiun pompa bensin. Itu pula sebabnya, saya tak pernah berani lancang memajang gelar sarjana teknik di depan nama saya, sejak lulus kuliah sampai hari ini.

Begitulah. Saya sudah lupa, berapa kali sudah cita-cita saya berubah atau berganti. Semua bergantung musim, masa, juga suasana hati.

Adakah cita-cita saya yang tercapai? Ada, sayaaang. Ada.

Saya pernah punya cita-cita yang sesungguhnya menjadi rangkuman dari segenap impian, kemampuan, dan kemalasan saya. Cita-cita saya: berhenti bersekolah!

Bertahun-tahun menjalani rutinitas, bangun pagi, mandi, ke sekolah, belajar, pulang siang atau sore hari, sungguh membosankan. Saya kerap membayang-bayangkan, alangkah indahnya hidup tanpa kewajiban untuk pergi ke sekolah.

Cita-cita saya yang tak mulia itu terwujud dan saya nikmati sampai hari ini dan masih berlaku tahun depan.

Adapun cita-cita yang nyata — jadi ini, jadi itu, punya ini dan itu — tak pernah lama bersemayam di pikiran dan hati saya. Tak pernah tercapai.

Cita-cita berikut segala nikmat yang dibayangkan mengikutinya, rupanya semu belaka. Mengangankannya hanya jadi nikmat sesaat. Begitu tercapai, pintu-pintu keresahan baru membuka, yang menjelma menjadi keinginan baru. Cita-cita yang baru.

Seperti kata Pramoedya, “Apa yang ada di depan manusia hanya jarak. Dan batasnya adalah ufuk. Begitu jarak ditempuh sang ufuk menjauh.”

Cita-cita dan keinginan tak akan pernah terpenuhi selama dalam dirimu tak ada rasa cukup, tiada kesyukuran, dan selalu mengukur langkah kaki pada tungkai orang lain.

Suatu hari, saya bertemu dengan seorang kerabat. Dari Makassar. Ia bertanya: apa cita-cita ta’ kak? Jawaban saya singkat: cita-cita saya berhenti sekolah. Dan itu sudah tercapai.

Selamat Tahun Baru 1 Januari 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini