Hiper-realitas Ronaldo
Oleh: Dhimam Abror Djuraid
TIDAK ada yang mustahil dalam sepak bola. Sensasi demi sensasi terjadi berurutan seperti drama Korea yang berurai airmata, atau ceritap-cerita sinetron yang tidak masuk akal. Lakon utama panggung sepak bola dunia tetap menjadi milik Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo.
Drama kepindahan Messi dari Barcelona menuju Paris Saint German (PSG) menguras airmata jutaan penggemar Barca di seluruh dunia, dan mematahkan hati para Barcelonistas sampai hancur berkeping-keping. Messi bercucuran airmata ketika berpamitan meninggalkan Barcelona.
Momen paling tragik dalam dunia olahraga profesional dunia itu sekaligus menjadi momen paling ironis yang disuguhkan oleh dunia sepak bola.
Segala hal yang terjadi tidak lepas dari strategi jualan dan urusan marketing. Bahkan, bekas tisu–yang dipakai untuk mengelap mata Messi yang menangis waktu jumpa pers pun—laku dibeli oleh kolektor dari balai lelang senilai rupiah 14 miliar.
Drama air mata Messi belum kering. Messi malah belum sempat menendang bola sekalipun dalam kompetisi Prancis. Tapi PSG sudah menghitung untung penjualan jersey bernomor 30, yang bakal dikenakan Messi dalam kompetisi resmi.
PSG sudah menghitung untung yang bakal diraupnya dari penjualan merchandise, hak siar televisi, dan berbagai deal dengan sponsor.
Para petinggi Ligue-1 Prancis sudah mengangkat toast bersulang sambil minum sampanye terbaik untuk merayakan kemenangan terbesar abad ini.
Liga Prancis yang selama ini dianggap sebagai liga kelas dua—atau malah kelas tiga—tiba-tiba mendapat durian runtuh dari langit.
Bukan hanya duriannya yang runtuh, tapi sekalian pohonnya. Messi membawa berkah, bukan hanya bagi PSG, tapi juga bagi Ligue-1 dan sepak bola Prancis. Klub-klub anggota liga bakal ikut menghitung untung, karena meroketnya harga hak siar dan sponsorship berkat bergabungnya Messi.
Dimanakah Cristiano Ronaldo?
Begitu pertanyaan yang tidak diucapkan secara terbuka selama drakor Messi berlangsung. Persaingan Messi vs Ronaldo adalah persaingan abadi.
Persaingan Messi vs Ronaldo sudah bukan lagi persaingan level dunia. Persaingan itu melampaui universe, melampaui perang bintang. Persaingan Messi vs Ronaldo adalah perang antar-manusia planet.
Dua orang itu adalah makhluk non-human yang mempunyai kesaktian melebihi manusia. Messi dan Ronaldo adalah manusia adi-manusia, kata Nietzche, super human atau Superman.
Messi lahir dari Planet Crypton yang turun menyamar menjadi Clark Kent si pembasmi kejahatan dalam serial Superman.
Ronaldo adalah manusia jadi-jadian, ala robot Cyborg Arnold Schwarzenegger, yang menjadi penyelamat umat manusia dari kepunahan dalam serial Terminator.
God is Tot! teriak Nietscze, Tuhan telah mati. Kemustahilan yang terjadi di dunia membuat Nietszhe menjadi ateis dan pembenci agama. Manusia yang beriman akan berseru Subhanallah! Mahasuci Allah yang menciptakan keajaiban-keajaiban mendekati mukjizat.
Pada saat manusia-manusia sejenisnya sudah memasuki usia uzur dan sudah pensiun menikmati hidup atau menjadi pelatih, Messi dan Ronaldo masih bersaing keras di lapangan hijau.
Messi berusia 34 tahun dan Ronaldo 36 tahun. Banyak pemain profesional yang sudah pensiun lima sampai sepuluh tahun dalam usia itu. Tapi, Messi dan Ronaldo belum menunjukkan tanda-tanda melambat, apalagi pensiun.
Panggung drakor dicuri Messi selama tiga minggu terakhir. Seperti Superman yang terbang dengan kecepatan tinggi dan berputar-putar mengelilingi puncak Manara Eifel, Messi turun dari angkasa disambut puluhan ribu suporter yang histeris.
Messi menjadikan dunia fantasi yang mustahil menjadi kenyataan. Dia turun dari planet untuk bergabung dengan Neymar untuk menjadi tandem yang paling ditakuti di dunia.
Messi menjadikan mimpi Disneyland menjadi kenyataan. Messi adalah Mesiah yang turun dari langit menjadi penyelamat umat manusia.
Selama berminggu-minggu Ronaldo tenggelam ditelan drakor Messi. Publik sudah bertanya-tanya kemana dia. Publik sudah mengira Ronaldo terkubur dan menghilang di balik panggung. Ronaldo meredup menjadi catatan kaki.
Tapi, Ronaldo ternyata bukan manusia. Dia adi-manusia, yang tidak akan membiarkan begitu saja panggungnya dijarah dan dimonopoli oleh Messi. Ronaldo merancang sebuah plot besar untuk merebut kembali panggung itu, dan mendapuk dirinya sebagai bintang utama di bawah sorotan spotlight.
Mendadak Si Robot Cyborg ini muncul lagi. Plot pendek yang dimainkannya menjadi drama yang penuh ketegangan. Pada detik-derik terakhir, Ronaldo memutuskan untuk kembali ke Manchester.
Tapi, bukan ke Manchester Merah–tempat ia mulai menempa diri mengukir nama sejak 2003 sampai 2009. Ronaldo pindah ke lain hati, menyeberang dan berkhianat, bergabung ke Manchester City, rival abadi Manchester United.
Ending drakor tidak pernah bisa diduga. Musik-musik yang disajikan K-Pop penuh dengan tekukan melodi yang menghanyutkan. Itulah sebabnya dalam dua dasawarsa terakhir ini Korea Selatan mendominasi industri pop culture dunia.
Sama dengan drakor, drama yang disajikan Ronaldo membuat tekukan mengagetkan di tikungan terakhir menjelang finish.
Ketika Ronaldo sudah hampir pasti berkhianat menyeberang ke Manchester City, telepon genggamnya berdering. Dia kaget. Alex Ferguson—yang sudah dianggapnya sebagai ayah kedua—menghubunginya. Sir Alex meminta Ronaldo untuk balik ke United. Rio Ferdinand, legenda United, menyusul menelepon Ronaldo dan memohonnya untuk kembali.
Skenario berbalik dengan cepat. Pada detik terakhir Manchester City tidak bersedia membayar uang tebusan 30 juta poundsterling kepada Juventus untuk mendapatkan Ronaldo. Manchester United bergerak cepat. Keluarga Glazer, pemilik United, langsung menulis cek 24 juta pound untuk menebus Ronaldo.
Oleh Gunnar Solksjaer manajer United tersenyum lebar. Dia akhirnya berreuni dengan Ronaldo, bukan sebagai sesama pemain, tapi sebagai pelatih dan pemain. Kesepakatan diambil dan Ronaldo resmi CLBK ke Manchester United.
CLBK ala Ronaldo bukan sekadar nostalgia kisah masa lalu. CLBK Ronaldo bukan sekadar ‘’cinta lama bersemi kembali’’. Tapi CLBK kali ini adalah CLBK ala emak-emak ‘’cucian lama belum kering’’, masih ada misi dan ambisi Ronaldo yang belum kesampaian dan harus dituntaskannya.
Ketika meninggalkan United ke Real Madrid pada 2009, Ronaldo meninggalkan cucian yang belum kering di jemuran. Ia balik untuk mengeringkan cucian. Ia balik untuk membayar utang. Ronaldo ingin mengembalikan United menjadi juara.
Secara pribadi Ronaldo ingin memenangkan Liga Champions lagi, dan malah masih mengincar Ballon d’Orr lagi untuk menambah koleksinya yang sudah lima biji.
Klub lama Ronaldo, Juventus, dianggapnya tidak lagi bisa mendukung ambisi untuk mengeringkan cucian di jemuran. Hanya United yang bisa melayani ambisi Ronaldo. Maka ia pun balikan dengan kontrak dua tahun.
Ini adalah sebuah kudeta yang sukses dilakukan oleh United dari bawah hidung City. Ini adalah sweet revenge–balas dendam yang manis—terhadap tetangga yang berisik yang telah mempermalukan United sejak Sir Alex pensiun pada 2013.
Balas dendam ini melunaskan pedih hati saat Kun Aguero mencetak gol di detik terakhir ke gawang Queens Park Rangers, yang mengantarkan City menjadi juara kompetisi 2012 setelah berpuasa selama 44 tahun. Momen ini terasa sesak bagi United yang menjadi runner up karena selisih gol.
Ketika hari ini fans United di seluruh dunia bangun dari tidur, mereka merasa masih bermimpi. Begitu pula yang dialami oleh para fans PSG selama tiga minggu terakhir. Mereka tidak percaya apa yang terjadi adalah nyata.
Sepak bola tidak menyajikan realitas. Ia menyajikan mimpi dan sekaligus memberi realitas yang tidak nyata. Baudrillard menyebutnya sebagai hyper-reality atau hiper-realitas. Bukan realitas semu, tapi realitas yang berada di atas realitas.
Messi dan Ronaldo adalah petanda (signified) yang tidak menunjukkan realitas yang seungguhnya. Mereka tetap ada di awing-awang khayalan meskipun sebenarnya mereka real.
Ketika kita memasuki museum Madame Tussaud, kita tidak akan bisa membedakan patung-patung lilin Ronaldo dengan Ronaldo yang asli.
Ketika kita memasuki Disneyland atau Dufan di Ancol, kita sadar bahwa apa yang dipertontonkan di depan kita bukan realitas. Tapi, secara sadar kita tidak bisa membedakan antara realitas dan khayalan. Kita berada pada dunia hiper-realitas.
Epidode hiper-realitas Ronaldo bukan akhir drama Korea. Episode masih panjang. Tapi, bagi fans United di seluruh dunia, kembalinya Ronaldo sudah cukup mengobati sakit hati dan kecewa selama delapan tahun, sejak Sir Alex pensiun.
Welcome Back, CR-7.