TRANSTIPO.com, Mamuju – Meski Sang Saka Merah Putih kali pertama dikibarkan pada Jumat siang, 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur Jakarta Raya, tapi embrio kemerdekaan republik muncul di pelbagai pelosok negeri. Dari Mamasa salah satunya.
Kita saat ini, belum terlahir ke dunia pada 24 Oktober 1914. Tapi sejarahlah yang mengenalkan kita bahwa pada seratus tahun silam itu, ada sekelompok anak muda dari Mamasa yang berani membuktikan sumpahnya pada negerinya yang tercinta ini dengan menumpahkan darahnya ke bumi pertiwi yang diperjuangkannya.
Anak-anak muda yang gagah berani itu yang ‘terlambat’ kita kenal adalah Demmatande (komandan) yang mentahbiskan perjuangannya di Benteng Salu Banga di Paladan, Sesena Padang.
Siapa saja mereka? Tandi Bali bertahan di Benteng Puang di Tatale, Demma Musu’ di Panggala, Demmajannang meneruskan perjuangan di Benteng Burekkong di Matangnga, Pua’ Sela membangun benteng pertahanan di Karakeang Bambang, dan Andola memperkuat perlawan di Benteng Tanete Pokka di Ulu Salu.
Sejarah ini lebih dulu ditulis oleh ilmuan dari negeri Belanda sehingga referensi tersahih banyak bertebaran di perpustakaan-perpustakaan ternama di negeri yang berada di Eropa itu. Baru sekitar tahuan 70-an lembaga-lembaga kesejarahan di negeri kita sudah mulai mempublikasikan tentang sejarah perjuangan Demmatande Cs.
Semangat dari perjuangan untuk mencapai bangsa yang merdeka, kemudian oleh anak dan cucu para pejuang kita itu lalu berkumpul untuk mengenang jasa mereka.
Dimotori oleh, salah satunya, Victor Paotonan dan Irvan Demmatande. Dia adalah cucu pejuang Demmatande. Cucu pejuang lainnya juga bergerak bersama agar apa yang diperjuangkan pemuda patriot tempo dulu, paling tidak bisa dikenang dan diinspirasikan dalam pembangunan kabupaten dan bangsa ke depan.
Bertempat di sebuah bukit yang jauh dari kota Mamasa. Namanya bukit Paladan, bekas tempat Benteng Salu Banga, sebagai markas perjuangan Demmatande Cs melawan gempuran tentara Belanda tahun 2014 silam.
Pada Jumat siang, 24 Oktober 2014 lalu, lebih seribu orang berkumpul menghadiri detik-detik Peringatan 100 Tahun Perjuangan Demmatande Cs di Benteng Salu Banga Paladan, Sesena Padang, Kabupaten Mamasa.
Nyaris semua generasi dari enam bekas pejuang itu hadir di tempat acara yang penuh hikmad itu. Di tengah terik mentari yang menusuk siang itu, sesekali hadir suasana yang mencekam, air mata pun sempat menetes ke pipi oleh hampir semua orang yang hadir saat itu.
Drama apik dari pemuda-pemudi Mamasa yang hanya berlatih tiga minggu sebelum acara, mampu menghadirkan situasi seperti yang dialami Demmatande Cs dan warga ketika mereka dibantai oleh penjajah kolonial Belanda.
Berpadu iringan musik dan pukulan gendang, ditambah suara merdu dari seorang biduan cantik yang menyanyikan lagu ‘Telah Gugur Pahlawanku’ kian meneduhkan siang dan seolah menundukkan mainan terpaan angin: kadang kencang, terkadang pula melambat. Sinar mentari dan angin bagai bagian dari pertemuan kala itu.
Acara itu lalu ditutup dengan simbolisme peletakan batu pertama pembangunan Benteng Salu Banga. Jika kelak benteng ini berdiri, maka akan jadi tanda dan penerang bahwa dari Mamasa pun Sang Saka Merah Putih pernah diperjuangkan untuk dikibarkan ke angkasa raya.
Victor telah tiada. Maka tugas berikutnya ada pada cucu-cucu Demmatande Cs. Mereka mesti meneruskan apa yang belum tuntas di benteng itu. Dan, apa yang sudah ada mesti dirawat baik-baik.
Catatan bersejarah di Paladan itu, adalah salah satu bukti ‘ukiran sejarah’ Victor Paotonan yang paling sahih.
“Surga itu adalah ketika kita meninggal dunia banyak orang yang mengantarkan ke kuburan. Jika sedikit orang yang mengantarnya, itulah neraka …..” Zainal Tayeb, dikutip dari buku Sang Pelopor dari Mamasa (April, 2016).
SARMAN SHD