Tekadnya: Mamuju ‘Masa Depan Sulsel’

1754
MANTAN BUPATI MAMUJU, KOLONEL (PURN.) H. NURHADI PURNOMO (ALM.) BERSAMA KELUARGA DI NGAWI, JAWA TIMUR. (FOTO: ISTIMEWA)

Kolonel (Purn.) Nurhadi Purnomo (Bupati Mamuju, 1994-1999)

Nurhadi Purnomo bukan hanya pintar mendokumentasikan halhal baik. Ia membuktikan ketika menjadi pemimpin publik dan pemerintahan bertekad membangun dan tetap komitmen. Ketika Nurhadi ditampuk —militer dan sipil— ketulusan pengabdiannya bukan hanya karena ia tahu filosofi seorang pemimpin. Sudah janjinya kalau ia adalah cahaya dari sinar bulan purnama. Purnomo mengilau saat memimpin Mamuju tahun 1994–1999.

TRANSTIPO.com, Mamuju – Desa Kauman, Kabupaten Ngawi berada di belahan bagian barat Provinsi Jawa Timur. Desa ini dikenal komunitas kaum santri (Nahdlatul Ulama) meski belakangan status ini mulai bergeser. Pada 13 November 1943, pukul 02.00 wib, seorang bocah terlahir ke dunia yang kelak bernama Nurhadi Purnomo.

Desa Kauman masih diduduki penjajah dari negeri asing. Konon, tepat ketika ia lahir, penguasa tentara Jepang memadamkan lampu di seluruh Jawa. Ini dilakukan karena Jepang khawatir serangan udara tentara Sekutu dengan sasaran utama Lapangan Terbang Masopati (kini Lapangan Terbang Iswahyudi), tempat konsentrasi pasukan Jepang. Bukan hanya pasukan Jepang yang gusar dengan ancaman serangan itu, keluarga Nurhadi Purnomo pun demikian.

Jarak rumah Nurhadi Purnomo dari lapangan hanya sejauh 20 kilometer. Makanya, kelahirannya hanya berpenerang cahaya bulan purnama, kalaupun disediakan lampu minyak tanah pun harus dikerubungi agar cahayanya terbatas menghindari intaian tentara Jepang. Kalau tentara Jepang sampai tahu ada lampu penerang di rumah keluarga Nurhadi mereka bisa dicap mata-mata Sekutu.

MANTAN BUPATI MAMUJU KOLONEL (PURN.) H. NURHADI PURNOMO BERSAMA ISTRI, TITIK INDARTI PURNOMO. (FOTO: ISTIMEWA)

Keadaan demikian itulah inspirasi orang tuanya memberinya nama Nurhadi Purnomo. Bertepatan bulan purnama, itu berarti cahaya yang baik laksana sinar bulan purnama. Kelak dalam karier ia gemilang: prajurit, perwira, dan bupati.

Nurhadi Purnomo anak kedua dari sembilan bersaudara. Lahir dari pasangan Mochammad Solechan dan Ny. Kinsiyah. Ayahnya seorang guru Mualimin Solo (pensiunan Kepala Kantor Pendidikan Agama Kabupaten Ngawi). Ibunya lulusan sekolah madrasah di Ngawi dan bekerja sebagai ibu rumah tangga.

Karier ayahnya sebagai pendidik tidak satu pun anaknya yang mengikuti jalur pekerjaan ayahnya itu. Nurhadi Purnomo tumbuh sehat dengan badan atletis. Ia nakal dan cenderung kritis.

Di masa kecilnya menyaksikan situasi sosial dan politik yang memilukan, tetapi tidak banyak yang diingatnya, termasuk ketika terjadi pemberontakan PKI di Madiun pada 1948, Perang Kemerdekaan II pada 1949, dan Pemilu pertama tahun 1955.

Pemberontakan PKI pada 1948, Desa Kauman akan dibakar oleh PKI. Drum-drum bensin dan minyak tanah sudah disiapkan, dan operasi pembakaran itu akan dilakukan siang hari. Hampir separuh penduduk di desa itu —anak-anak, orang tua, perempuan— terpaksa mengungsi ke kota. Sementara sebagian pemuda dan orang tua laki-laki bersembunyi sambil berjaga-jaga di setiap pojok desa.

Pembakaran yang sudah direncanakan tidak pernah terjadi. Masalahnya pasukan Siliwangi lebih dahulu datang mengamankan Desa Kauman. Pada suatu malam ba’da isya sekitar Juni 2005, di ujung telepon Nurhadi Purnomo bercerita, pada sebuah jalan menuju ke pengungsian di kota, rombongan pengungsi bertemu pasukan Siliwangi, dan sejak saat itulah menjadi alasan historis pemberian nama Jalan Siliwangi.

KOLONEL (PURN.) H. NURHADI PURNOMO BERSAMA ANANG HASTO NURHADI. (FOTO: ISTIMEWA)

Begitu pula ketika pecah Perang Kemerdekaan II pada tahun 1949, Nurhadi menyaksikan patroli pasukan Belanda yang dikawal panser dan buldoser sedang membersihkan jalan-jalan utama yang tertutup pohon asam yang dirubuhkan pasukan gerilya. Dengan pemandangan itu —maklum anak kecil— Nurhadi Purnomo bergembira dan langsung memekikkan merdeka, merdeka.

Ia tidak sampai berpikir teriakannya itu didengar oleh tentara Belanda. Peristiwa itu membuat ibunya ketakutan sebab kata-kata yang diucapkan anaknya itu tidak disukai oleh Belanda. Ibunya lalu menyembunyikan Nurhadi ke sebuah rumah tetangga.

Sejak kejadian ‘‘pekik merdeka‘’ anaknya itu, setiap kali tentara Belanda melakukan patroli, ibunya selalu menyembunyikan Nurhadi. Nurhadi Purnomo duduk di kelas 5 SD saat berlangsung pemilu yang pertama tahun 1955.

Sejak saat itulah awal mula mendengar dan melihat yang namanya partai politik. Ia senang dengan hiruk-pikuk kegiatan partai politik menjelang pemilu. Ia senang terlibat memasang tanda gambar partai-partai di tiang-tiang listrik di sepanjang jalan di desanya.

Uniknya pula, Nurhadi terhasut secara diam-diam merusak tanda gambar partai tertentu lawan dari pengurus partai yang menyuruhnya. Ia juga melakukan pemasangan tanda gambar salah satu partai dengan ukuran besar persis pada posisi tanda gambar partai lainnya yang berukuran kecil. Ini kan tak adil. Tidak hanya itu.

Seperti kebiasaannya, Nurhadi sedang tidur di masjid dan terbangun di tengah malam untuk melakukan operasi. Di pojok lapangan yang tidak jauh dari masjid berdiri beberapa baliho partai-partai dan ada sebuah baliho besar milik Partai Komunis Indonesia (PKI).

Di tengah malam itu Nurhadi dan kawannya menggergaji setengah tiang-tiang spanduk PKI dengan asumsi pas angin bertiup kencang maka spanduk itu akan roboh. Dan hal itu benar, pas angin kencang datang roboh pula baliho tersebut.

H. NURHADI PURNOMO BERSAMA ISTRI, IBU TITIK INDARTI NURHADI. (FOTO: ISTIMEWA)

Masuk SD pada tahun 1950 dan selalu juara di sekolah. Masuk SMP B (1959) ia memperoleh nilai rata-rata nilai 9. Di SMA B dari tahun 1959 hingga 1962 diselesaikan di Kota Madiun. Kemudian tahun 1963 ke Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dengan mengambil jurusan fisika tetapi hanya sampai di tingkat satu. Bertepatan tahun itu juga (1963) mengikuti tes masuk Akademi Taruna Militer (Akmil) di Magelang, Jawa Tengah, dan ia diterima.

Masuk Akmil atas kemauannya sendiri sebagai caranya meringankan beban orang tuanya yang secara ekonomi pas-pasan. Ayah seorang pegawai rendahan dengan beban sembilan orang anak, itulah yang mendorongnya masuk sekolah tentara dengan cara nya sendiri, padahal dalam hatinya mau menjadi ahli fisika.

Saat menjalani pendidikan di Akmil ia tidak menyesali pilihannya ini, terutama mengesankan sistem pendidikannya yang orientasinya tiga hal: mental, fisik, dan intelektual. Yang paling menonjol yang diperoleh dari pendidikan Akmil adalah pembinaan watak dan kepribadian yang mencakup disiplin, percaya diri, keberanian, kejujuran, rela berkorban, setia, selain pendidikan kepemimpinan serta manajemen.

Nurhadi Purnomo harus mengatakan hanya desas-desus itu kalau di Akmil yang dipelajari hanya ilmu militer semata seperti cara-cara berkelahi, cara membunuh, cara membela diri atau cara berperang. Padahal seperti ilmu pasti, fisika, bahasa, budaya, hukum, ekonomi, dan sosial politik juga dipelajari.

Nurhadi Purnomo selesai pendidikan di Akmil pada tahun 1966, atau ditempuh selama tiga tahun. Presiden Republik Indonesia melantiknya menjadi anggota militer aktif.

Ia mulai di satuan Arhanud di Pusdik Arhanud (1966-1968) di Malang, Jawa Timur. Lalu menjadi Yon Arhanudse dan Resimen Arhanud (1968- 1975) di Medan, Sumatera Utara, hingga kemudian Nurhadi Purnomo menjadi perwira staf resimen sebagai Perwira Staf Pusarhanud (1975- 1983) di Jakarta.

Selanjutnya ditugaskan di jajaran Kodam setelah lulus pendidikan di Sekolah Komando Angkatan Darat (Seskoad), yakni sebagai dandim. Perwira Staf Kodam di Balikpapan (1983-1991). Terakhir sebagai Asospol Dam VII Wirabuana (1991-1994).

ANAK CUCU H. NURHADI PURNOMO – IBI TITIK INDARTI NURHADI DI NGAWI, JAWA TIMUR. (FOTO: ISTIMEWA)

Putaran waktu begitu cepat. Sudah 28 tahun ia mengabdi dunia militer, dan di Kabupaten Mamuju, Haji Djuritno telah menyelesaikan tugasnya dan pengabdiannya selaku bupati Mamuju. Tidak lama lagi Nurhadi Purnomo akan berada di tempat dan suasana yang baru. Ia akan menjadi pemimpin formal sebuah kabupaten yang besar, di tanah Sulawesi.

Tahun 1994 Haji Nurhadi Purnomo datang ke Manakarra sebagai Bupati Mamuju. Ia datang ke Mamuju dengan modal yang amat luhur: datang dengan wujud seorang pemimpin yang sangat agamis, pemeluk Islam yang taat.

Ayahnya adalah seorang pemimpin agama, bahkan pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Ngawi. Dari sinilah Nurhadi Purnomo memperoleh bimbingan agama yang kental. Ia membangun basis pemerinahan dengan landasaan agama dan budaya.

Ini mesti selaras. Dirasa penting mengingat masyarakat Kabupaten Mamuju sangat plural. Nah, dengan dasar inilah ia bisa memulai pembangunan baik. Dalam buku Tiga Tahun Pengabdian Nurhadi Purnomo Membangun Mamuju Bersehati, begitu banyak fakta-fakta hasil pembangunan yang ditoreh Nurhadi selama di Mamuju.

Dalam kurun waktu tiga tahun kepemimpinannya, ada 73 buah rancangan peraturan daerah yang ditetapkan menjadi peraturan daerah (perda). Dibentuk enam dinas baru: Dinas Perkebunan, Dinas Tata Ruang, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Dinas Pariwisata, serta Kantor Pengolahan Data dan Elektronik.

Di masa pemerintahan Nurhadi Purnomo pulalah keran pemekaran kecamatan. Dalam surat persetujuan Mendagri tahun 1995, dibentuk enam wilayah kecamatan perwakilan masing-masing, Papalang, Sampaga, Polo Pangale, Topoyo, Karossa, dan Bambalamotu. Dengan begitu secara keseluruhan, dari hanya enam kecamatan sebelumnya, Kabupaten Mamuju akan terdiri dari 12 kecamatan.

Tak hanya itu, Bupati Nurhadi juga telah menambah banyak desa baru hasil pemekaran desa. Hal ini dilakukan karena mengingat Kabupaten Mamuju sangat luas, sementara masyarakat butuh pelayanan yang cepat. Peningkatan sumber daya aparat pemda dengan menyekolahkan mereka mulai D-1, D-2, D-3, S-1, dan S-2 di pelbagai perguruan tinggi di Tanah Air.

ANAK-CUCU BAPAK H. NURHADI PURNOMO BERSAMA IBU TITIK INDARTI NURHADI. (FOTO: ISTIMEWA)

Ada juga yang mengikuti sekolah penjenjangan, misalnya Adum, Adumla, Spama, dan kursus-kursus lainnya. Dalam peningkatan penghasilan daerah, pada tahun 1997 Pemda Mamuju berhasil melampaui target penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB) di atas 100 persen.

Dengan begitu, Bupati Mamuju Nurhadi Purnomo menerima penghargaan berupa trofi dari Gubernur Sulawesi Selatan Zainal Basri Palaguna. Tanaman kakao dan andalan di sektor perikanan dan perikanan juga menjadi perhatian Bupati Mamuju. Di sektor kehutanan menjadi perhatian serius Nurhadi Purnomo.

Kabupaten Mamuju dengan luas area hutan 763.504 hektar atau 70 persen dari luas wilayah Kabupaten Mamuju, yaitu 11.057,81 kilometer. Di Mamuju terdapat tujuh perusahaan yang memiliki Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dan dua perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang mendulang uang tak sedikit. Ini sejalan dengan peningkatan industri yang didorong oleh pemerintah kabupaten.

Ini terlihat dengan banyaknya pengembangan industri kecil dan menengah. Pula diberi ruang untuk berdirinya koperasi-koperasi yang dikelola oleh kelompok masyarakat. Sektor pertambangan yang diharapkan bisa menggenjot pendapatan asli daerah menjadi perhatian serius.

Mamuju sebetulnya menyimpan potensi tambang yang tak sedikit: tambang emas, seng, timah di Kalumpang misalnya, tetapi hingga saat ini belum ada investor yang melakukan eksplorasi. Wajah Mamuju juga sangat indah dengan panorama alamnya sehingga potensi pariwisata layak dikembangkan.

KI-KA: BAPAK H. NURHADI PURNOMI, ANANG HASTO NURHADI, DAN IBU TITIK INDARTI NURHADI. (FOTO: ISTIMEWA)

Misalnya wisata Pantai Tanjung Alo di Tapalang dan Polo Pantai di Budong-Budong. Anjoro Pitu dekat jantung Kota Mamuju. Wisata permandian Kali Mamuju juga menarik dikembangkan. Bagi yang senang berselancar di taman laut ada Pulau Karampuang. Inilah yang membuat Mamuju melambung kalau potensi wisata itu dikembangkan.

Potensi transmigrasi juga demikian. Mamuju ini masih luas, terbuka masyarakat transmigran untuk masuk ke Mamuju. Inilah gambaran untuk mengenal gagasan besar Nurhadi Purnomo selama memimpin Kabupaten Mamuju.

Menjelang masa jabatannya berakhir, banyak pihak yang meminta Nurhadi melanjutkan lima tahun tahun kedua, tetapi ia sendiri menolak —termasuk yang mendorongnya tetap tinggal di Mamuju adalah Almalik Pababari. Nurhadi berpikir perlu ada kaderisasi kepemimpinan di Kabupaten Mamuju.

“Lima tahun cukup,” kata Nurhadi. Ketika Nurhadi menikmati masa senjanya di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, datanglah tahun 2005. Awal tahun ini ia berkunjung ke Kabupaten Mamuju, kabupaten yang sedang dipimpin oleh Almalik Pababari.

Dalam waktu tak lama Mamuju akan menggelar pemilihan bupati (pilkada). Nurhadi datang silaturahmi ke rumah Almalik, dan cerita pun berkembang ke soal-soal politik. Cerita itu seolah mengulang cerita Nurhadi dan Almalik dulu.

Almalik mengatakan kepada Nurhadi bahwa dirinya akan maju kembali dalam pilkada nanti untuk lima tahun kedua karena didukung rakyat. Mendengar perkataan kadernya itu, Nurhadi Purnomo hanya menyarankan, bahwa dulu ketika hal itu terjadi padanya, termasuk Almalik yang meminta untuk maju yang kedua kalinya tapi hanya dijawab kita butuh kaderisasi.

Nah, kalimat itu kini dikembalikan kepada Almalik, tetapi Almalik diam saja, dan ia berpegang “didukung rakyat”. Dalam benak politik Almalik, dulu bisa bicara kaderisasi, tapi kini menuju periode yang kedua adalah tabiat politiknya. Menjelang periode Nurhadi berakhir, wacana pembentukan Provinsi Sulawesi Barat mulai mengemuka.

Ketika wacana itu menggelinding, Nurhadi Purnomo pun menyambutnya baik secara pribadi maupun kelembagaan daerah —meski belum dibubuhkan rekomendasi karena memang prosesnya waktu itu belum waktunya memberi dukungan secara tertulis. Nurhadi Purnomo hanya berkali-kali mengatakan, jika besok atau lusa provinsi ini terkabul maka sebaiknya Mamuju yang jadi ibu kota Provinsi Sulawesi Barat dengan banyak pertimbangan.

MANTAN BUPATI MAMUJU KOLONEL (PURN.) H. NURHADI PURNOMO (ALM.). (FOTO: ISTIMEWA)

Hal itu benar, dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2004 tentang pembentukan Provinsi Sulawesi Barat dicantumkan Mamuju sebagai ibu kota Provinsi Sulawesi Barat. Sebelum Nurhadi Purnomo angkat kaki ke Ngawi, sebuah filosofi pendek ia titipkan sebagai tanda persaudaraan dan ikatan hubungan emosional dengan masyarakat Kabupaten Mamuju.

Ia uraikan falsafah kepemimpinan “Bulan dan Bintang“: Beredar sesuai ketetapan waktu, tak sombong di kala berada di puncak, selalu memberi tak pernah meminta, senantiasa memberikan kedamaian dan kesejukan, tak pernah mengeluh di saat harus turun, ikhlas menyambut gembira datangnya sang surya yang lebih terang, yang lebih membawa harapan ke masa depan.

Kini di masa tuanya (2005), Nurhadi Purnomo menetap di kampung halamannya —kampung yang telah jadi penyaksi tempatnya lahir ke dunia, Ngawi.

Ia seolah kembali ke kehidupannya di masa silam, jauh dari hi ruk-pikuk. Ia berkutat antara rumah, sawah, masjid, dan tempat pengajian. Nurhadi Purnomo begitu merasakan suasana kekeluargaan dalam pergaulan dengan panorama dan iklim pedesaan.

Di tempatnya kini, di Desa Kauman, ia lebih banyak aktif di dunia sosial dan itu membuatnya bersahaja. Di desanya itu ia lebih sering jadi Imam Salat dan baca Khotbah Jumat di masjidnya, peran yang ia sudah lakukan saat ayahnya masih hidup.

Nurhadi Purnomo juga kerap diundang jadi dai di desa-desa tetangga. Kalau sudah mengenakan sorban putih di waktu petang hingga awal malam, sapaan warga desa yang sungguh akrab itu sungguh menghibur batinnya: Assalamu’alaikum, mbah Haji!

Sumber: Buku Jejak Langkah dan Pemikiran Bupati di Sulawesi Barat, 1960-2023 (Penerbit Buku Kompas, Desember 2023).

SARMAN SAHUDING

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini