Salah satu sungai di Jakarta tampak bersih, ini di masa Gubernur Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok. (Foto: Net.)

Kapan terakhir engkau senang melihat sungai? Merenung-renung di tepiannya, merendam separuh tungkai kaki, atau menceburkan sepenuh badan ke cekungnya yang terdalam?

Dulu, di kampung, di punggung pegunungan Quarles di pedalaman Sulawesi Barat, masa kecil saya sekitar sungai belaka dalam arti sebenar-benarnya. Di Sungai Mambi yang berair jernih, kehidupan berkisar: mandi, mencuci pakaian, memandikan kuda, bermain, berkejaran — berjam-jam sampai lupa waktu.

Sampai kejernihan sungaiku terenggut limbah. Air mendangkal, ikan-ikannya menghilang. Lalu sungai-sungai sebagai tempat bermain pun tinggal kenangan.

Di negeri ini, orang-orang membelakangi sungai. Rumah-rumah memunggungi kali. Sungai menghitam oleh limbah, lumpur, kotoran, sampah-sampah, bahkan bangkai. Kasur bekas dan lemari pendingin hanyut dan tersangkut di tiang jembatan.

Di Jakarta yang sesak, saat lahan tak terbeli sungai pun ditancapi tiang-tiang rumah sampai ke tengahnya. Peturasan tak perlu pipa: kotoran manusia, limbah dapur, air comberan, langsung dialirkan ke dalamnya.

Sesekali Ciliwung, Pesanggerahan, dan sungai-sungai lain yang membelah ibukota — ada tiga belas sungai — murka dan merendam rumah-rumah di bantaran sampai ke bubungan. Setelah itu, kehidupan yang menciderai sungai kembali seperti biasa.

Di masa-masa itu, Jakarta adalah kota yang sungguh berperadaban rendah: rumah-rumah warganya memunggungi aliran sungai.

Tak tega rasanya membandingkannya dengan kota Paris dengan Sungai Seine, London dengan Thames, Guangzhou dengan Pearl River, bahkan kanal-kanal di Amsterdam. Jakarta sungguh tak menganggap sungai sebagai sumber keceriaan orang kota.

Mereka lupa, peradaban selalu dibangun dari tempat air. Bahkan kota Mekkah bermula dari semburan air yang muncul dari hentakan kaki putra Nabi Ibrahim a.s. Pencarian tempat hunian baru umat manusia di planet-planet yang jauh diawali dengan mencari tanda-tanda keberadaan molekul air.

Saat rumah-rumah membelakangi sungai, saat itu juga sesungguhnya orang-orang menempatkan dirinya di tempat paling bawah peradaban manusia.

Jika wajah Jakarta kini tampak kian molek, itu karena sungai-sungainya sedang bersolek.

Bagaimana sungai di kotamu?

TOMI LEBANG

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini