Drs. H. Andi Kube Dauda, M.Si (Bupati Polmas, 1990-1995)
“Tuntutlah ilmu hingga ke negeri China. Tuntutlah ilmu sejak dari rahim ibu hingga ke liang lahat. Dengan ilmu akan terangkat derajatmu”.
Mengawali karier sebagai pamong di Sengkang, Kabupaten Wajo. Sekda di Barru dan Sidrap, bupati di Bulukumba dan Polmas. Ia menemukan kebahagiaan baru di masa tuanya dengan mengajar di STIA-LAN.
Ia menebar ilmu, bertemu kawan baru. Dari sini ia menemukan ‘‘ibadah’‘ berharga: belajar dan terus belajar. Kepada anak-anaknya ia tanamkan pendidikan: “Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu”.
TRANSTIPO.com, Mamuju – Lahir di Sengkang, Wajo, tujuh puluh tahun silam. Pendidikan sekolah dasar (SD) ditempuh hanya sampai di kelas lima di Kota Sengkang, kampung kelahirannya. Kelas enam hingga tamat SD di Makassar.
Ia lanjutkan pendidikan di SMP Nasional, Makassar. Selama di Makassar ia tinggal di rumah pamannya. Ia melanjutkan sekolah di SMA Katolik Kota Surabaya, Jawa Timur. Sekolah di Surabaya ia bebas menjalin pertemanan banyak kalangan, termasuk berteman dengan siswa anak-anak keturunan China yang memang banyak sekolah di SMA Katolik.
Berbeda ketika masih sekolah di Sengkang dan Makassar. Andi Kube Dauda menonjol bidang olahraga sepak bola dan pelajaran matematika. Masuk kuliah di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, tetapi tak sampai satu tahun lantaran kesulitan biaya kuliah sebab sudah tak ada hubungan dengan orang tuanya di Sengkang yang sebelumnya sering mengirimi uang.
Penyebab terputusnya hubungan ke Sengkang karena pergolakan bersenjata yang terjadi di Sulawesi Selatan yang dige[1]rakkan oleh Kahar Muzakkar bersama pasukannya. Di tengah kehidupan yang sulit, ia berusaha menyiasati dengan be[1]kerja di sebuah perusahaan yang bernama Watras—Wajo Trading System Company.
Selama empat tahun bekerja di perusahaan milik seorang warga Wajo di Surabaya. Setelah hampir satu tahun bekerja di perusahaan ini dengan pendapatan lumayan, ia melanjutkan kuliah namun tak sampai selesai.
Pada tahun 1958 orang tuanya memanggilnya pulang ke Sengkang. Tiba di kampungnya ia mendaftar dan diterima jadi PNS. Meski sudah jadi pamong dengan jaminan gaji bulanan, tapi selalu yang hadir di benak Andi Kube Dauda adalah tetap ingin melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Ia mau kuliah untuk meraih gelar sarjana lengkap sebab dengan sarjana ditopang dengan ilmu yang lebih tinggi pula.
Di tahun 1958 juga Andi Kube Dauda mulai membina keluarga yang baru setelah menikah dengan Andi Faridah. Sudah dua tahun bekerja di Kantor Pemerintah Kabupaten Wajo ketika turun tawaran beasiswa ke perguruan tinggi dengan spesifikasi jurusan ilmu sosial politik (sospol).
Keinginannya mengambil beasiswa itu terlebih dulu ia ajukan permohonan kepada Pemkab Wajo agar diizinkan memilih jurusan kedokteran atau jurusan teknik, tetapi tak diterima. Ia lalu bersiap kuliah di jurusan sospol dengan jaminan beasiswa pemerintah daerah, lantarannya ia pernah baca buku yang menyebutkan kalau seseorang mau diangkat derajatnya harus dengan pengetahuan.
Ia juga sadar kalau seorang PNS hanya golongan dua sangat lambat berkembang ditambah pula beban menanggung buah hatinya dua orang anak. Tahun 1963 ia resmi jadi mahasiswa di Fakultas Sospol Universitas Hasanuddin (Unhas), letak kampusnya dulu yang sekarang Rumah Sakit Labuang Baji, Makassar.
Selama di kampus ia sempat menjadi Ketua Senat Fakultas Sospol Unhas dan Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Sospol. Setelah merengkuh sarjana muda diploma tiga (D-3) ia tak langsung pulang ke Wajo sebab pihak fakultas beri kepercayaan jadi asisten dosen, sekalian ia melanjutkan kuliah untuk meraih sarjana lengkap (S-1).
Selesai kuliah dengan meraih sarjana lengkap pihak universitas menawarkan beasiswa untuk sekolah pascasarjana (S-2) di luar negeri, di Amerika Serikat, tetapi ia menolak karena ia adalah penerima beasiswa tugas belajar dari Pemkab Wajo saat kuliah diploma tiga dulu.
Tahun 1971 ia kembali ke Sengkang dan langsung menduduki jabatan Kepala Bagian Hukum Pemkab Wajo. Satu setengah tahun kemudian ia dipindahkan sebagai Kepala Bagian Umum Pemkab Wajo. Ketika Pemilu 1971 tiba, pemilu pertama di zaman Orde Baru, Andi Kube Dauda diberi tugas tambahan sebagai Sekretaris Penyelenggara Pemilu Kabupaten Wajo.
Sumberdaya Andi Kube tampak menonjol dengan pengalaman organisasi selama di kampus. Tahun 1974 Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan memberi kepercayaan kepada Andi Kube Dauda sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Barru (1974–1979).
Dari Barru ke Makassar dengan jabatan Kepala Biro Personalia Peme[1]rintah Provinsi Sulawesi Selatan yang ia jabat lima bulan lalu dipindah tugaskan lagi menjadi Sekda Kabupaten Sidrap, tahun 1979 hingga 1984. Dari Barru ia ditarik kembali ke Kantor Gubernur Sulawesi Selatan dan diberi posisi Kepala Biro Pemerintahan Umum selama delapan bulan saja.
Tahun 1985, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bulukumba menetapkan Andi Kube Dauda sebagai Bupati Bulukumba periode tahun 1985–1990. Tahun 1990. Baru saja serah terima tongkat estafet kepada peja[1]bat baru di Kabupaten Bulukumba, dari daerah Panrita Lopi itu ia mempersiapkan diri berangkat ke Kabupaten Polewali Mamasa (Polmas) untuk meneruskan kepemimpinan Haji Said Mengga.
Gubernur Sulawesi Selatan bersama Panglima Kodam VII Wirabuana merestui Haji Andi Kube Dauda, tokoh sipil yang jadi Bupati Polmas. Ia menjadi bupati di daerah yang belum sekalipun ia kunjungi. Ia datang ke Polmas semata berbekal pengabdian kepada masyarakat.
Saat bercerita kepada penulis yang berlangsung di teras rumahnya di Makassar pada tahun 2005, Andi Kube Dauda menyadari menemui hambatan dan memerlukan waktu selama enam bulan di tahun pertamanya sebagai Bupati Polmas untuk memperkenalkan diri kepada berbagai kalangan di masyarakat.
Ia terus bersosialisasi bahwa dirinya datang ke Polmas hanya semata[1]mata untuk mengemban pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan demi kesejahteraan rakyat dengan berpedoman pada nilai-nilai agama dan adat istiadat. Ia datang ke masjid-masjid menyampaikan ceramah sembari perkenalan, ia turun dan bertemu semua lapisan masyarakat dengan pendekatan kekeluargaan.
Setiap ada bawahannya di pemerintahan Kabupaten Polmas yang sedang melaksanakan hajatan keluarga, Bupati Kube Dauda pun hadir silaturahmi dengan bahan-bahan sosialisasi pembangunan. Tahun pertama setelah perkenalan ia mulai membenahi birokrasi. Ia perkenalkan paradigma baru bahwa hakikat birokrasi adalah melayani untuk kepentingan masyarakat.
Tahun kedua mulai menyentuh program[1]program pembangunan yang lebih berwawasan kepentingan publik, terutama pengembangan pendidikan. Rutin datang ke sekolah-sekolah menyampaikan ide-ide pengembangan sumber daya manusia (SDM).
Cetusannya yang paling monumental adalah falsafah Tarrare di Allo Tammatindo di Bongi Mappikkirri Atuwoanna Paqbanua yang prinsip dasar ia terakan di dinding Kantor Pemerintah Kabupaten Polmas. Andi Kube Dauda sosialisasikan filosofi kepemimpinan ini secara meluas. Setiap apel pagi terus ia ingatkan kepada jajarannya.
Ia juga tekankan kalau mau maju harus berusaha pemerintah hanya memfasilitasi, tetapi untuk mengembangkan diri perlu kreativitas masyarakat sendiri. Dalam lingkup birokrasi Bupati Andi Kube Dauda tekankan suatu doktrin yang terdiri dari empat hal.
Pertama, harus percaya pada dirinya sendiri. Kedua, pegawai atau pamong praja harus memiliki keberanian dan tidak apa-apa berbuat salah, lebih baik salah karena berbuat daripada salah karena tidak berbuat sama sekali. Ketiga, di mana pun ditempatkan harus menguasai bidangnya dan harus mampu mengembangkan apa yang menjadi tugasnya. Keempat, pegawai harus kreatif, tidak boleh ada pegawai yang hanya menunggu perintah bupati.
“Lakukan saja, kalau ada yang salah nanti saya (bupati) yang tanggung jawab, yang penting dalam melaksanakan tugas dengan penuh itikad baik,” kata Andi Kube Dauda.
Inti doktrin di atas adalah kemandirian, kreativitas, keberanian, dan profesional. Itulah empat hal yang mesti diterapkan kalau mau sukses dalam tugas, dan hal ini ia sampaikan kepada masyarakat setiap kali ada pertemuan.
Seorang bupati harus berpikir bagaimana agar masyarakat hidup sejahtera, bagaimana agar masyarakat bisa mandiri. Itulah sasaran yang hendak dicapai dengan penerapan doktrin di atas. Dan yang lebih spesifik menurut Andi Kube Dauda, dari empat pola pikir yang diterapkan itu ada dua sasaran pokok yang hendak dicapai.
Pertama, bagaimana kita mandirikan rakyat agar bisa memperbaiki diri[1]nya sendiri. Kedua, bagaimana kita sejahterakan masyarakat. Dua hal ini sejalan dan saling terkait satu sama lain. Andi Kube Dauda paham benar kalau mau berhasil maka pendekatannya kepada masyarakat bukan dengan kekerasan.
Berhadapan dengan masyarakat Mandar, kalau yang dikedepankan pendekatan kekerasan, maka yang dihadapi akan lebih keras pula. Dalam mengatur pemerintahan dan pembangunan itu harus penuh dengan kekeluargaan, pola perilaku seperti ini ia beri contoh dalam kehidupan sehari-hari terutama saat ia sedang di kantor bupati.
Contoh terkecil, Bupati Andi Kube Dauda tak pernah memanggil pegawai atau bawahannya di kantor dengan menyebut nama yang ber[1]sangkutan melainkan ia seragamkan menyebut kata Andik. Dalam hal berkomunikasi ia tak pernah mendapati beban psikologis apalagi menuai reaksi yang kurang menggembirakan dari semua bawahannya. Artinya apa, kalau kita hargai orang lain lebih-lebih lagi akan kita dapatkan peng[1]hargaan dari mereka.
“Hampir tidak ada kendala, sebab kalau kita keras akan lebih keras yang kita tuai,” kata Andi Kube Dauda.
Cara penerimaan tamu yang datang ke rumah jabatan (rujab) bupati misalnya, kalau ada warga (tokoh masyarakat atau pun warga umumnya) yang datang menghadap ke rujab, ia lebih dulu keluar menjemput di teras rujab lalu sang tamu diajak masuk ke ruang tamu. Pengembangan ekonomi masyarakat yang produktif, pemerintah daerah beri modal dasar walau nilainya tak terlalu besar.
Ini dimaksudkan agar masyarakat bisa beli pancing. Dengan pancing itu ia bisa kreatif cari ikan dan dari ikan itu bisa dijual, berapa pun banyaknya. Ini sekadar contoh, tapi cakupannya luas dan maknanya sangat dalam. Inilah antara lain contoh yang diterapkan Andi Kube Dauda dalam mengembangkan kreativitas masyarakat. Integritas sebagai pelayan masyarakat juga menjadi perhatian Andi Kube Dauda.
“Perlu saya tekankan di sini bahwa selama saya menjadi bupati di Polmas, tidak pernah sama sekali memanfaatkan peluang sebagai bupati untuk memperkaya diri. Saya memang sudah berkomitmen pada diri sendiri bahwa akan menyelesaikan masa jabatan ini dengan baik,” kata Bupati Polmas Andi Kube Dauda.
Masa jabatan Bupati Polmas Andi Kube Dauda berakhir pada bulan Maret 1995. Gubernur Sulawesi Selatan memberi keistimewaan dengan tambahan waktu beberapa bulan yang ia istilahkan diskon, sehingga nanti pada bulan Agustus 1995 baru dilaksanakan acara seremoni serah terima jabatan kepada bupati yang baru.
Penerus Andi Kube Dauda adalah seorang perwira tentara, Andi Saad Pasilong. Sebuah petuah bijak ia ingat, bahwa karena kita ini pernah satu kesebelasan dan suatu waktu kalau kita bertemu saya akan mengulurkan tangan ini untuk saling jabat erat-erat.
Dan kalau pun orang tak terbuka hati untuk uluran tangan ini, tidak apa-apa. Ia mengingat pelajaran hukum alam, bahwa sikap orang pada kita itu sangat tergantung pada interest-nya (kepentingannya) dan ketika interest-nya sudah tidak ada maka sikapnya juga akan berubah.
Di masanya ia memberi penghargaan atas pengabdian kepada para bupati sebelumnya berupa honor, dan ini dialokasikan dalam APBD Kabupaten Polmas. Besaran honor yang diberikan kepada pendahulunya itu sebanyak Rp250.000 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) setiap bulan.
Ini dimaksudkan sebagai tanda jasa kepada figur yang pernah memimpin Kabupaten Polmas. Dalam catatan Andi Kube Dauda hanya Pemerintah Kabupaten Polmas yang memberlakukan kebijakan semacam ini di Provinsi Sulawesi Selatan.
Dalam acara serah terima jabatan di Kantor Bupati Polmas, pejabat baru Andi Saad Pasilong sempat memberi penghargaan khusus dengan menyematkan PIN di dada Andi Kube Dauda. Ini dimaksudkan sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada Andi Kube Dauda atas pengabdiannya selama lima tahun di Kabupaten Polmas.
Andi Kube Dauda punya kesan mendalam di Polmas sebab pada awal tahun 1994, istrinya Hj. Andi Faridah, mendahuluinya menghadap Sang Khaliq. Setelah kembali ke Makassar ia lebih banyak berdiam diri di rumahnya di Jalan Bau Mangga 13, Makassar, selain bercengkerama dengan anak dan cucu juga membaca buku.
Ia selalu ingat pesan Rasulullah, “Bahwa dengan ilmu pengetahuan orang akan diangkat derajatnya.” Pada tahun 1997 ia melanjutkan pendidikan magisiter (S-2) dan setelah ia jalani dua tahun kuliah ia dipercaya jadi dosen dan mengajar di STIA LAN, kerja sama Universitas Hasanuddin, Makassar.
Momen kuliah dan mengajar di kampus itu ia temukan kebahagiaan, bisa bertemu dan bergaul dengan banyak orang yang tingkat pendi[1]dikannya memadai. Di masa senja ini pula ia lebih banyak waktu dan konsentrasi belajar dan menjalankan ajaran agama Islam. Ia senang tak terbebani yang membuatnya kadang lupa dengan umurnya.
Kebahagiaan yang lain adalah delapan orang anaknya kini sudah sibuk semua. Ada yang aktif di birokrasi, jadi tentara militer, ada yang masih kuliah tingkat doktoral (S-3) sambil kerja, ada yang sedang memimpin perusahaan besar, dan yang sekolah di tingkat magister masih ada.
Inilah buah hatinya hasil perkawinannya dengan almarhumah Hj. Andi Faridah. Hampir setahun kemudian (akhir 1994) Andi Kube Dauda menemukan anugerah yang baru tempat curahan dan keluh kesahnya. Ia menikah dengan Hj. Andi Syamsiah, seorang hakim di Pengadilan Agama Kota Makassar.
Sumber: Buku Jejak Langkah dan Pemikiran Bupati di Sulawesi Barat, 1960-2023 (Penerbit Buku Kompas, Desember 2023).
SARMAN SAHUDING