Sang Dokter, Berpijak Ilmu Menebar Cahaya Alam Sekitar

1915
dr. Elypas Demma' Musu' Palangi,, Sp.Rad. (Foto: Sarman Sahuding)

TUHAN Maha Tahu Umatnya yang melenakan hidupnya. Dan, untuk kebaikan bagi siapa pun, walau sebesar anai-anai akan terbalaskan setimpal, kelak.

TRANSTIPO.com, Polewali – Dalam hidup orang-orang gunung teramat pintar mensyukuri berkat kehidupan dari Tuhan. Meski dalam keadaan susah, untuk tidak mengurai segala keterbatasan yang dipunyai, tapi dengarkanlah suara heroik dari mereka: kukuh melangkah gapai cita-cita, isolasi daerah kelak dibuka dengan segala daya dan upaya.

Hidup bagai kepompong dan kupu-kupu. Rasa senang dan susah yang datang silih berganti dihadapi sedemikian rupa. Siapa pun yang menjalani hidup di masa lampau di pegunungan bagian barat pulau Sulawesi, menjalani ruang gerak yang sungguh terbatas – juga terkungkung. Pembangunan masih jauh dari kenyataan – harapan yang dibungkus melintasi waktu yang panjang.

Ada yang pergi tapi tak sedikit pula yang datang. Roda yang berputar itulah Kabupaten Mamasa seolah terbit di kuncup zaman – masa panjang yang diperjuangkan sekuat-kuatnya, seperih-perihnya, dengan mengukir noktah di atas nizan yang mesti disadari itu jatuh bukan sejenis hadiah: perjuangan panjang.

Masa Kecil di Kampung Tatale

Setiap orang, sejauh-jauh melangkah, kelak di hari tua akan selalu ingat tempat kelahiran, kampung halaman.

DEMMA’ Musu’, seorang pendekar pesohor di masa lampau, tapi nama beken ini bukan itu yang hendak disajikan dalam tulisan pendek kali ini. Adalah generasinya kemudian, yang oleh leluhurnya tetap menabalkan nama sang pendekar itu: Demma’ Musu’ junior.

Bagi leluhurnya, seorang tokoh yang dikenal dan disegani di masa lalu, mestilah namanya tetap tinggal yang diberikan kepada salah seorang anak cucunya kemudian. Itulah salah satu cara Tomatua di pegunungan Mamasa menghargai dan hendak membumikan nilai baik yang dibaktikan oleh pendahulunya.

Ibunya bernama Magdalena Arruan Manapa Pampang Bonga (96 tahun). Masih hidup dengan keadaan bugar sampai sekarang. Ia berasal dari Balla Peu, Mamasa. Ayahnya bernama Jusuf Dellumaya Palangi, dari Tatale, Tawalian, Mamasa. Ia meninggal pada 29 Mei 1986 di usia 70 tahun.

Sudah tergambar siapa gerangan lelaki ini: dr. Elypas Demma’ Musu’ Palangi, Sp.Rad.

“Demma’ Musu’ itu nama kecil saya,” kata dokter Elypas Palangi di rumahnya di Pekkabata, Polewali, Selasa pagi, 27 September 2022.

Jalan Berliku di Usia Sekolah

Tak banyak orang bernasib mujur di Mamasa tempo dulu – apalagi di tahun 60-an – punya kesempatan mencecap sekolah formal. Di masa sulit itu, jalur sekolah adalah pilihan tepat demi merenda hari esok.

SEKOLAH Dasar (SD) dijalani di kampung leluhurnya di Tatale, selesai tahun 1969. Dilajutkan di SMP di Mamasa, tamat pada tahun 1972.

Menyelesaikan pendidikan dasar hingga tamat di SD menyisakan sebuah cerita. Saat Demma’ Musu’ telah duduk di kelas 5, ia langsung mengikuti ujian penamatan bersamaan dengan anak kelas 6 SD lainnya. Saat penentuan hasil ujian, ia dinyatakan lulus dan berhak melanjutkan pendidikan di sekolah lanjutan pertama, SMP. Kelulusannya di SD bahkan menjadi peserta ujian dengan hasil nilai terbaik.

Di masa ini, kerikil kecil menimpanya. Nama yang diterakan dalam ijazah bukan atas namanya. Hal ini membuat ia belum bisa melanjutkan sekolah ke jenjang menengah. Faktor penghambat lainnya, Demma’ Musu’ dianggap masih terlalu kecil. Ia sadari, postur tubuhnya yang kerdil, dan orangtuanya pun memaklumi kondisi fisiknya itu, terpaksa ia belum bisa melanjutkan pendidikan ke SMP.

Alasan lain orangtuanya, jika anaknya ini diizinkan melanjutkan sekolah, setiap hari ia akan berjalan kaki pergi pulang dari Tatale ke Mamasa kota dimana SMP berada yang jaraknya tak lebih 7 kilometer. Dengan pertimbangan itulah, sekolah di SMP pun urung.

Sembari mengisahkan masa sekolah di SD dulu, Dokter Elypas Palangi – nama pendeknya yang umum dikenal orang – mengingat-ingat nama teman sepantarannya. Sebutlah ibu Ribka Bonggasilomba (sang istri bapak Pdt Yermia Pampang Minanga), dan bapak Bonggabulawan (pensiunan, eks pegawai Diknas Kabupaten Mamasa), dan lain-lain.

“Teman sekolah di Tatale itu, mereka mungkin masih ingat beberapa kenangan semasa kami bersama di SD dulu,” cerita Elypas, mengenang masa kecilnya.

Dan, ia bilang, mungkin lebih lengkap informasinya bila sempat menggali informasi tentang saya dari beberapa orang dengan latar belakang yang berbeda. Mudah-mudahan disamping informasi yang baik-baik, mungkin juga bisa dapatkan informasi yang tidak baik tentang saya.

Elypas ingat betul nama gurunya dulu. Ia sebut pak Berthus To’mesa yang tinggal di Tatale, dan seorang guru di SMP, namanya pak Betteng Toding. Ia juga mengingat teman sekolahnya di SMP, ada pak Ir. Yojanis Pualillin dan pak Ir. Thimotius Sambominanga.

“Masih banyak teman-temanku di SD, SMP dan SMA di Mamasa dan Mambi. Yang dari Mambi ada teman saya di SMA Katolik Mamasa, namanya Sarjan dan Petrus Rengga. Kalau yang tinggal di Mamasa, teman saya di SMA Katolik adalah Femmy Suarni (istrinya pak Benhard), pak Charisma Tandi Puang, pak Yulius Sambo Langi’ (pensiunan staf di bagian keuangan kantor Pemerintah Kabupaten Mamasa,” kisahnya.

Langkahi Cita-cita: Jadi Dokter

Sebelum bersandarkan pada kehendak Tuhan, Anda sering dengar ucapan hampir setiap orang di masa sekolah: ungkapan cita-cita dengan penuh kebanggan. Kelak, yang siapa pun tak pernah mengira, cita-cita Anda berbelok. Karena sesuatu hal, lantas dengan kejadian itu, itulah tanda (sinyal dari Tuhan) yang membuat Anda melangkahi cita-cita. Boleh saja Anda tak setuju dengan saya.

PENDUDUK Mamasa dulu masih sedikit. Bisa dibilang, di tahun 70an itu, warga Mamasa yang memiliki kesempatan bersekolah masih bisa dihitung jari. Elypas beruntung bisa melanjutkan sekolah secara normal, dalam artian bisa mengikuti pendidikan sekolah berjenjang.

Meski begitu, bukan berarti tanpa Kendala. Ada saja rintangan. “Tapi itu sudah semacam ujian dalam hidup,” katanya.

Elypas mengingatnya, tahun 1975, di Mamasa.

Ia menjalani sekolah di SMA Katolik di Mamasa separuh waktu, atau tidak sampai tamat. “Saya pindah ke SMA Katolik Rantepao karena sekolah kami di Mamasa ditutup lantaran kurang muridnya. Waktu itu kami hanya 5 orang yang duduk di jurusan Paspal (Ilmu Pasti dan Pengetahuan Awal),” cerita Elypas.

Di masa ini – dan ia sadar, bahwa terkadang di tengah rintangan selalu ada kemujuran – Elypas remaja kembali dihadapkan semacam solusi, yang dengan ini akan memberi makna hidupnya ke depan.

Ia sebut nama seorang guru: Jacky Rantetasik, beliau sudah tiada sekarang. Guru Jacky itu – saat menyebut nama gurunya itu, tampak ia menerawang jauh dengan cara memandang lurus ke luar ruang – mampu menyelami dirinya, seolah paham akan potensi intelektualitas yang ia miliki.

Guru Jacky menyayangkan apabila dirinya dilepas sebelum tamat SMA. Kata dilepas itu, hanya guru Jacky yang pas mengelaborasinya. Tapi, sayang ….

Lalu, tak berapa lama setelah resmi SMA Katolik di Mamasa ditutup, Jacky menemui orangtua Elypas untuk minta izin anaknya ini hendak doboyong ke SMA Katolik Rantepao, Tana Toraja.

Pindah ke Rantepao bukan tanpa alasan. Ibu-bapaknya menimbang bahwa Demma’ Musu’ kecil ini tergolong pintar di sekolah, dibuktikan sering juara di kelas untuk sejumlah mata pelajaran. Sekiranya di Rantepao nanti, Elypas akan ikut berpacu dengan teman sekelasnya dan semakin terasah pendidikannya.

Bersamaan dengan waktu itu, Jacky Rantetasik ditarik ke sekolah tersebut. Dengan fakta ini, seolah bertemu ruas dan buku. Jadilah Elypas remaja berangkat ke Rantepao untuk meneruskan pendidikan di kelas tiga SLTA. Dan, ia tamat di sini, SMA Katolik Rantepao.

Tahun 1976 Elypas berhasil menyelesaikan pendidikan menengah atas itu dengan hasil memuaskan. Keluarga orangtuanya yang ada di Rantepao senang anak kemanakannya ini lulus dengan baik.

Sedikit cerita tentang guru Jacky. “Beliau adalah guru saya yang paling berjasa dalam perjalanan saya menuntut ilmu. Beliaulah yang mengajari saya teknik belajar tanpa menghabiskan waktu berjam-jam dalam belajar,” kisahnya.

Ia bercerita, “Untuk mata pelajaran Fisika, Mekanika, Aljabar, Ilmu Ukur, dan Ilmu Kimia, saya diajarkan cara menyelesaikan 100 soal dalam kurun waktu ½ jam saja.”

Cara belajar jitu yang singkat dengan manfaat banyak ala guru Jacky itu kemudian ia praktekkan, dan hasilnya kelihatan. Hanya berbilang bulan, itu terjadi ketika ia mulai menatap perguruan tinggi.

Januari 1977. Elypas mendaftar dan mengikuti ujian seleksi masuk perguruan tinggi negeri, UNHAS, Makassar, Sulawesi Selatan. Ia pilih Fakultas Kedokteran.

Selesai ujian, ia berbagi cerita, seorang kakaknya dengan nada ringan menanyakan proses dan keadaan ujian di Unhas itu. Dengan cara enteng, Elypas menjawab setengah berseloroh – dan sedikit jumawa.

Terbang kuda kalau saya tidak lulus,” tawanya lepas saat mengulang kisah ini.

Sebelum melanjutkan cerita dengan fakta-fakta histori yang kian menukik, ia tak lupa bilang begini: “Alhamdulillah, Puji Tuhan, sejak kelas 1 SD sampai kelas 3 SMA, belum pernah tidak ranking pertama.”

Sebenarnya, pada tahun 1976 ia tamat di SMK Rantepao. Karena ranking di sekolah, ia dapat undangan atau bebas test masuk kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB), Kota Bogor, Jawa Barat.

Melangkahi cita-cita. “Rupanya Tuhan tidak menghendaki saya menjadi insinyur,” Elypas menginsyafi perjalanan hidupnya. Ada-ada saja halangan untuk tidak jadi berangkat ke Bogor.

Berbekal ijazah SLTA, ia pulang ke kampung halamannya. Di Tatale, Mamasa, Elypas Palangi bekerja membantu otangtua. Gembala kerbau. Ia total lakoni kerja-kerja bertani: setiap hari turun ke sawah, ke kebun menggarap dan merawat tanaman. Meski itu hal mulia, Elypas menyebutnya, “Terpaksa saya menganggur sepanjang tahun 1976.”

Kenyataan lain di tahun 1976 itu, perkuliahan di tahun ajaran baru belum bisa dilaksanakan lantarannya pemerintah akan menelorkan sistem pendidikan baru atau kurikulum baru di tahun 1977. Jadi mahasiswa yang telah mendaftar dan lulus di tahun ajaran 1976 secara otomatis harus menunggu tahun depan baru bisa memulai perkuliahan awal.

Selama menunggu satu tahun itu pula, ayahnya menjual seekor kerbau miliknya dengan harapan jadi bekal Elypas ketika berangkat kuliah ke Jawa Barat, tahun depan. Sebelum ke kampungnya dulu, guru sekolah almamaternya di Rantepao itu memintanya mengajar di kelas.

Sembari tertawa, Elypas melanjutkan kisahnya. “Pupus sudah harapan melanjutkan sekolah tinggi di Jawa. Uang hasil penjualan kerbau itu dipinjam oleh adeknya mama di kampung, di Tawalian.”

Kelak, ia jadi Dokter Radiologi.

PNS: Dokter Pejuang

Orangtua mana yang tak bangga seorang anak lelakinya jadi PNS, dokter pula. Sebuah pencapaian idaman setiap orang – juga dambaan perempuan remaja di segala seantero.

ELYPAS Palangi layak bangga berkesempatan menimba ilmu dengan kuliah di Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin (Unhas) – salah satu perguruan tinggi negeri terbaik di Indonesia.

Dan, tahun 1985 ia berhasil rengkuh gelar dokter – sarjana lengkap.

Feeling seorang dokter muda, jebolan Unhas pula, tepat di umurnya yang kian matang (28 tahun), ia memberanikan diri hidup membina rumah tangga. Ketika itu tahun 1984, di tengah puncak perjuangan meraih gelar akademiknya. Elypas Palangi meminang seorang dara asal Mamasa bernama Marlin Ayu Tangnga. Lahir di Mamasa dari keluarga pendidik.

Dalam darah istrinya itu berasal dari latar beragam: ada Mehalaan, Menado, Toraja, dan tentu Mamasa. “Makanya, sesekali waktu kami jalan-jalan ke Kecamatan Mehalaan bertemu keluarga di sana,” kata Elypas.

Membina biduk keluarga bersama Marlin itulah terlahir lima orang anak.

Berkah dari membina keluarga yang baru, tak berapa lama atau pada 1986 Elypas terangkat jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pengangkatannya sebagai pamong Negara ini terbilang istimewa. Disebut begitu sebab ia ditempatkan di Mamasa, Daerah Tingkat II Polewali Mamasa (Polmas), kampung halamannya.

Selain itu, di Mamasa pula ia diangkat sebagai Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Mamasa, yang kemudian lebih dikenal Rumah Sakit Banua Mamase.

Kehadirannya di Mamasa pula menjadikannya satu-satunya dokter PNS dan yang pertama di kawasan pegunungan, anak daerah. Dokter Elypas menjalani hari-harinya di Mamasa dengan pelayanan kesehatan yang nyaris tiada henti.

Kala itu, ia disambut gegap gempita. Seorang dokter, pegawai, anak Mamasa pula. Elypas bangga. Tak sanggup ia ucapkan rasa bangganya itu, juga penuh syukurnya pada Tuhan. Menjadi pelayan kesehatan di tengah warga sekampung.

Di Mamasa saat itu, juga Di RS Banua Mamase, lampu penerangan listrik masih terbatas. Lampu penerang ruangan hanya menyala sampai jam 11 malam. “Jika lampu menyala sampai jam 12 misalnya, berarti saya sedang melakukan operasi pasien,” kisahnya.

Di Banua Mamase ketika itu terdapat 24 bangsal. “Hampir full setiap hari.” Bahkan tak sedikit pasien datang dari Mamuju, Kabupaten Mamuju.

Selama di Mamasa, ia kerap berkeliling. Waktu itu baru empat kecamatan yang ada di pegunungan Polewali Mamasa (Polmas), yakni Kecamatan Mamasa, Kecamatan Mambi, Kecamatan Sumarorong, dan Kecamatan Pana’.

Pasca terbentuknya Kabupaten Mamasa pada 11 Maret 2002, pemekaran desa dan kecamatan terus berlangsung, hingga kini sebanyak 18 kecamatan.

Dulu, RS Banua Mamasa merupakan rumah sakit rujukan berobat masyarakat di pegunungan, selain tentunya Puskesmas yang ada di tiga kecamatan lainnya. Namun, sarana prasarananya masih di bawah standar sebuah pusat pelayan kesehatan yang ideal.

“Saya membawahi empat kecamatan, Mamasa, Mambi, Sumarorong, dan Pana’. Infrastruktur jalan saat itu masih parah sekali. Biasa saya berangkat ke Polewali, harus bermalam dulu di jalan baru tiba di kota,” ceritanya, sungguh pilu.

Di tahun 1986 di Mamasa dulu itu, ia mengingatnya. “Di RS Banua Mamase itu pernah lakukan operasi pasien usus buntu dengan pakai alat seadanya. Syukur berhasil.”

Dokter Elypas sering berkeling ke desa-desa dan kampung-kampung. Sebagai seorang dokter, kepala rumah sakit pula, sudah hal wajar demikian. Kerap sekali mendapati pemandangan yang membuat hatinya miris. Geram. Tapi cukup di dalam dada saja. Akan ada waktunya, momentumnya, ia ekspresikan secara terbuka. Hari itu tak bakal lama.

Secara kasat sering menyaksikan kantor desa yang tutup. Ia pikir, tak ada pelayanan. Di kantor desa yang ia lihat hanya ada kerbau, sapi, dan kuda. Mamasa harus berubah kelak. Itu yang membathin dalam rongganya.

Dati II Mamasa dan Gertak Sambal

Bagai roda pedati berputar. Dalam hidup kadang perubahan datang begitu cepat, cepat sekali. Tak diduga-duga. Rahasia Tuhan terus bekerja – untuknya, yang ia tak sadari.

KEAJAIBAN. Mungkin bukan. Tak cukup dua tahun, atau hampir dua tahun di Mamasa, setelahnya ia harus tinggalkan. Padahal ini kampungnya. Elypas pasrah – kepada sang Kuasa tentunya.

Pun berlalu. “Pada Oktober 1987 saya diminta pindah ke Puskesmas Wonomulyo, Polmas.” Elypas setengah kaget. Ini perintah dari pimpinannya di pantai. Ia coba melawan dengan caranya sendiri.

Di tengah nuansa dan suasana baik, di saat masyarakat Mamasa merasa terayomi dari segi kesehatan, ia harus dipindah jauh ke kota – jauh dari sanak keluarganya.

Sebelum terurai soal pindah tugas, sebuah fakta menarik dan penting.

Tahun 1987 suara pemekaran Dati II Polewali Mamasa kembali disuarakan di Mamasa, di kawasan pegunungan. Tahap perjuangan pemisahan empat kecamatan di pegunungan kali ini memercayakan kepada Sitto Rerung sebagai Ketua Penuntut Dati II Mamasa di wilayah Eks Kewedanaan Mamasa.

Setaranya dalam history pemerintahan di wilayah Swatantra Mandar, yakni Kewedanaan Polewali, Kewedanaan Majene, dan Kewedanaan Mamuju telah lebih dulu terbentuk jadi Daerah Tingkat II (baca: kabupaten).

Hal ihwal inilah yang mendasari dari sejak tahun 1958, sejumlah tokoh di wilayah pegunungan mulai menuntut hak otonominya yang dihilangkan itu.

Meski ia seorang dokter PNS, Elypas Palangi ikut dalam barisan. Sebuah peristiwa penting terkait penuntutan dati dua ia kisahkan di sini.

Ia lupa bulan berapa, pada 1987 Anggota Komisi IV DPR-RI sedang melakukan kunjungan kerja di Sulawesi Selatan dengan agenda mengikuti peresmian dibukanya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Bakaru di Kecamatan Lembang, Kabupaten Pinrang.

Anggota legislator dari Senayan, Jakarta, itu bernama Hasan Kumbino – seorang perwira tentara yang tergabung dalam Fraksi TNI-Polri di DPR-RI.

Selesai itu, Hasan Kumbino dan tim melanjutkan kunjungannya ke Polewali Mamasa dalam rangka menyerap, melihat langsung aspirasi yang berkembang dengan adanya usulan pemekaran daerah atau tuntutan masyarakat di empat kecamatan di pegunungan yang ingin memisahkan diri dari Pemerintahan Polewali Mamasa.

Pertemuan diadakan di aula Kantor Camat Sumarorong, kecamatan yang relatif dekat dari Polewali, ibu kota Polewali Mamasa.

Panitia penuntutan Dati II Mamasa bergerak ke Sumarorong. Termasuk Dokter Elypas hadir. Pihak panitia telah mempersiapkan tiga tokoh untuk berbicara di depan anggota dewan dari Jakarta.

Bupati Polewai Mamasa Said Mengga dan rombongan pun hadir di Kantor Camat Sumarorong.

Elypas cerita, ada tiga orang yang menyampaikan pandangan dan dasar pemikiran mengapa pemekaran atau pembentukan Dati II Mamasa ini dipandang perlu. Tiga pembicara dimaksud, yakni pak Yusuf Tumo, pak J. Pala, dan Elypas sendiri.

Waktu itu kami rekomendasikan agar tim dari DPR-RI ini melanjutkan perjalanan ke Mamasa (Kecamatan Mamasa) dengan alasan agar tim melihat langsung kondisi jalan yang ada di pegunungan. Potensi yang dimiliki Mamasa bisa tercover minimal dengan melaluinya selama berkendara sejauh beberapa kilometer.

Saat gilirannya tiba, dokter Elypas beberkan sejumlah fakta riil di Mamasa. Bahwa isu dianaktirikan oleh pemerintahan induk itu bukan bualan semata. Contoh sederhana ia sampaikan, pejabat camat misalnya, hanya Camat Pana’ yang dijabat anak daerah Mamasa, itu pun masuk kantor hanya setengah waktu dalam seminggu, bahkan sebulan. Pelayanan pada Rakyat tidak maksimal.

Ia juga bilang, contoh kecil, bahkan petugas penagih karcis di pasar Mamasa orang dari luar. Dan Banyak lagi. Termasuk ia ceritakan soal kantor desa yang lebih banyak tutup daripada buka untuk pelayanan warga di kampung-kampung.

Mungkin dana pembangunan dari pusat ada tiap tahun, tapi kami tak tahu dialihkan kemana. “Tidak pernah sampai ke Mamasa,” kisahnya.

Ia ceritakan sederet fakta selama ia bertugas sebagai dokter dan kepala RS Banua Mamase di Mamasa. Ia gambarkan sesuai hasil potretnya secara langsung.

Situasi pertemuan di Sumarorong saat itu panas. Tampak membuat kikuk dan gerah sejumlah pejabat dari kabupaten induk.

Apa penjelasan Hasan Kumbino di Sumarorong saat itu?

Informasi penting yang didapatkan dari kunjungan angora DPR-RI ini, bahwa sebelumnya Kewedanaan Mamasa sebenarnya sudah dimekarkan jadi tingkat II dan telah disebarluaskan melalui RRI di Jakarta.

Lalu, menguap. Dan, politik agenda yang hilang itulah yang menjadi agenda utama perjuangan sejumlah tokoh dan masyarakat pegunungan hingga saatnya tiba: 2002.

Paparan kesenjangan sosial dan pembanguan berbuntut malapetaka baginya.

Kisah pindah itu.

Belum lama setelah pertemuan Sumarorong, sebuah kawat berisi perintah berdenting mengharuskan ia segera menghadap ke Polewali. “Saya turun,” ujarnya, singkat. Berangkat.

Di pelataran kantor, seorang sahabatnya bernama Haji Tamrin, orang kedua di bawah kepala kandep memberitahu kalau pimpinan sudah menunggunya.

Di depan Kepala Departemen (kandep) Kesehatan Dati II Polewali Mamasa, dr. Atjo Manaf, ia duduk takzim.

Di ruang kerja pimpinannya itu, Elypas ‘diadili’. Ia kisahkan, dr. Atjo Manaf menuduhkan sesuatu yang ia tak suka: membuat keresahan masyarakat di pegunungan. Ia membalas dengan mengatakan bahwa yang membuat resah di kampung-kampung terakhir ini adalah pencurian ora-ora (mayat).

Ia bilang, dalam adu argumentasi itu, Atjo Manaf selalu arahkan pembicaraan kalau dirinya dianggap pelaku onar itu adalah dirinya. Elypas marah. Ia berdiri sambil bersuara lantang. Dengan begitu membuat Atjo Manaf menurunkan tensi pembicaraan, tampak down.

Pimpinannya itu kemudian jujur, bahwa bupati titip pesan Elypas harus dipindahkan ke Puskesmas Wonomulyo. Katanya, ia dianggap terlalu vokal dan terlibat aktif dalam perjuangan pembentukan Kabupaten Mamasa.

Elypas tak habis akal. Ia terangkan kalau dirinya itu tak terlibat langsung dalam kepanitiaan penuntutan pemekaran kabupaten (Dati II Mamasa). Ia jelaskan usungan ide pemekaran kali ini merupakan lanjutan perjuangan yang telah dirintis pendahulu di pegunungan sejak dua dekade sebelumnya.

“Ini estapet belaka,” kilahnya.

Ia sampaikan di depan Atjo Manaf, “Saya tak terima pindah ke Wonomulyo.” Alternatifnya, “Saya dipindahkan ke Puskesmas Sumarorong.”

Seorang spesialis syaraf, dr. Idham Khalik dikirim ke Mamasa menggantikan posisi Elypas Palangi sebagai kepala RS Banua Mamase, Mamasa.

Sejak itu di benak Elypas ingin melanjutkan sekolah dengan mengambil spesialis Radiologi di Makassar. Hambatan berikutnya adalah rekomendasi, dan ini berarti akan bertemu kembali dengan Atjo Manaf. Ia timbang bakal sulit.

Beruntung ia bertemu dengan Zainuddin Condak. Di Kantor Wilayah (Kanwil) Kesehatan Sulawesi Selatan didapatinya kabar baik, tapi ia disarankan untuk kembali ke Polewali mengurus surat rekomendasi dari pimpinan tempatnya bertugas sebelumnya.

Zainuddin pun paham dengan kejadian tempo hari yang Elypas ceritakan. Ia temui Gubernur Sulawesi Selatan Professor Achmad Amiruddin. Permohonan pindahnya dan maksud ingin sekolah spesialis disetujui. Terbit rekomendasi dari Gubernur Sulawesi Selatan.

Surat itu kemudian ia bawa ke Polewali. Bupati Polewali Mamasa Andi Kube Dauda pun segera menerbitkan surat serupa. Klop. Yang jadi soal perlu tetap ada surat rekomendasi dari Kepala Kandep Kesehatan Polewali Mamasa.

Di depan Atjo Manaf, pimpinannya, ia perlihatkan dua surat rekomendasi dari gubernur dan kepala daerahnya sendiri. Dia tinggal tanda tangan.

Ilmu, Sumarorong dan Hari Tua

Setiap peristiwa menyimpan misterinya sendiri-sendiri. Setiap langkah, tungkai kaki dan tanah dipijak akan jadi penyaksi. Tak ada selembar daun kering yang jatuh tanpa izinNya semata.

TAHUN 1991 resmi pindah ke Makassar dan ditempatkan di Balai Pengobatan Paru-paru (BP4) Sulawesi Selatan. Sekolah program ilmu Spesialisasi Radiologi di Unhas pun ia mulai. “Di rumah sakit itu hampir 90 persen ilmu radiologi itu diterapkan.”

“Saya dapat Spesialisasi Radiologi di Unhas dan akan saya dapat Spesialisasi Radiologi Intervensi (RI) di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) di Gatot Subroto, Jakarta. Sebelum pandemi saya ikut test. Dan saat pandemi kami belajar jarak jauh lewat zoom,” kisah Elypas Palangi.

Di Fakultas Kedokteran, Unhas kerjasama dengan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Jawa Timur. Ia mengarungi lautan dihantarkan sebuah kapal laut di kelas ekonomi. “Unhas kirim kami ke Unair Surabaya, selama 6 bulan di sana,” kisahnya.

Mei 1998 berangkat ke Jakarta, tujuan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) di Depok. “Begitulah prosedur sebelum benar-benar dapat predikat spesialis di kedokteran.”

Ia lanjutkan, kebetulan waktu itu sedang demonstrasi besar-besaran yang dimotori mahasiswa di Indonesia. Sekalian itu, cerita Elypas, kami masuk barisan demonstran di Jakarta.

Tak lama di Jakarta, ia resmi lulus program spesialisasi. Di RSCM itulah beroleh keberuntungan lagi. Salah seorang dokter senior merekomendasikan namanya untuk kerja di RS Stella Maris, Makassar. Yang bersangkutan sebenarnya masih tercatat dokter ahli di RS Stella Maris, hanya karena pekerjaannya di Jakarta lebih banyak, “Makanya ia beri saya rekomendasi.”

Dengan setengah bercanda, “Beliau bilang, kamu gantikan tugas-tugasku di Stella Maris, hasilnya kita bagi dua,” kisahnya menirukan pesan sejawatnya itu.

Sejak itu, sebagai Dokter Spesialis Radiologi, Elypas juga bekerja di Rumah Sakit Dadi dan di klinik Budi Bakti, Makassar.

10 tahun telah ia jalani kerja professional di Makassar. Lalu, tersebutlah nama seorang dokter di Polewali Mamasa: dr. Ayyub Ali.

Tahun 2008.

Suatu waktu ia bertemu dr. Ayyub Ali, Kepala Rumah Sakit Umum (RSU) Polewali. Dokter Ayyub minta tolong kepada Elypas, mesin Ronsen yang ada di ruangan radiologi di RSU Polewali sudah tak berfungsi selama tiga bulan.

Dokter Elypas pun coba memeriksa alat medis itu, dengan pengalamannya 10 tahun di Makassar, hanya hitungan menit mesin ronsen itu normal kembali. Ayyub terkesan.

Kepala RSU Polewali itu membujuknya untuk mau pindah ke Polewali, bersamanya di rumah sakit.

“Saya dibujuk pak dokter Ayyub untuk pindah ke Polewali. Pak Ayyub jamin saya akan diberi insentif Rp10 juta tiap bulan, mobil dinas, dan disediakan rumah dinas lengkap segala isinya.” Ia bilang, “Pokoknya, pak dokter tinggal masuk.”

Jika setuju, “Soal pindah itu sudah urusan saya,” dr. Ayyub jamin. Sahabatnya itu telah tiada.

Bicara pindah, Elypas terngiang kerja nyaman di sejumlah rumah sakit di Makassar. Saat itu, siapa tak kenal RS Stella Maris, hanya RS Akademis yang menyamai. Terkenal. “Tidak semua orang bisa kerja di situ, saya mau tinggalkan?” Di wajahnya tampak berkerut saat ia ceritakan ini.

“Para senior-senior di Makassar coba memengaruhi istri saya ketika niat pindah itu saya sampaikan ke mereka. Kurang setuju.” Jalan hidup baru kemudian Elypas bersama keluarga dijalani di Polewali.

Jaminan Ayyub itu benar, bahkan saat di RSU Polewali pulalah ia baru tahu kalau ada penghasilan atau jasa medik. Misalnya, sebut Elypas, kalau sebuah rumah sakit beroleh pendapatan 1 miliar rupiah, 40 persen dari 1 miliar itu, itulah yang dikeluarkan sebagai jasa medik, dibagi kepada dokter dan perawat di rumah sakit tersebut. “Dan itu ada aturannya, permenkes kalau tidak salah.”

“Selama ini yang saya tahu hanya jasa profesi sebagai dokter Radiologi,” katanya sembari menyungging, tersenyum.

Berumah di Polewali. Besar. Tiga lantai. Tampak asri. Bertengger di tengah-tengah kawasan elit, Pekkabata. Dekat ke akses segala yang orang kehendaki: pasar, sekolah, jalan raya, pengamanan, ruang santai, dan seterusnya.

Tamannya yang menghijau masih teduh dengan rerimbunnya sebuah pohon di luar pagar pekarangan. Gemericik air mengalir di atas loteng, menambah rasa nyaman.

Ia beli secara sah. Dulu.

Kisahnya, pada 1966 Elypas pernah tandang ke rumah ini.

“Ini kan perumahan pemda Polewali Mamasa. Di sini dulu tinggal pak Yusuf Tumo, masih kerabat. Suatu waktu saya lihat ada label dipasang di depan rumah ini, mau dijual/disewakan. Pemiliknya mau lepas dengan harga Rp250 juta,” kenangnya.

Kalau di Mamasa saat ini, kan semua rumah dinas belum ada yang di-dom, masih asset pemkab, kecuali satu rumah dinas dekat sebuah SD Negeri di kota, itu kan sudah di-dom dulu. Yang lainnya itu mestinya tetap asset pemda.

Rumah itu telah berpindah tangan ke pak Tandi Puang. Karena beliau – pak Tandi Puang – bukan orang lain, “Ya, saya dekati secara kekeluargaan. Saya bilang, saya punya uang hanya Rp50 juta.”

Rumah itu memang ada surat dom-nya tapi belum disertifikatkan. “Jadi saya minta sama-sama beliau ke bank karena saya mau ambil kredit. Pihak bank kasi saya kredit Rp400 juta. Saya kemudian lunasi ini rumah, sisanya Rp200 juta uang saya pakai renovasi ini rumah kemudian saya tempati prakter dokter,” cerita Elypas.

Pilkada Mamasa 2013 yang ikuti tapi kalah, membuat rumah milikya di Polewali itu kian kinclong – artistik dan tampak mewah.

“Selesai Pilakada Mamasa, saya perbaiki ini rumah, jadilah kayak sekarang. Orang kemudian bilang, adaji pale ungnya pak dokter. Iya, memang ada, tapi kan saya memang tidak mau ikut Pilkada dengan cara kotor, mau beli suara anggota dewan,” bebernya.

Ia bersikukuh pada sikapnya, dan ini prinsip, “Saya tidak mau kasi makan anakku uang panas.”

Tak lama, ia desain lalu renovasi rumahnya. “Saya yang gambar ini model rumah dinda.”

Di rumah itulah 5 orang anaknya tumbuh dan berkembang. “Sudah tiga anak saya jadi dokter. Bahkan, anak sulung itu sudah raih dokter spesialis radiologi intervensi. Dia duluangi saya.”

Elypas bersyukur pada Tuhan, anak-anaknya bisa sekolah dan selesai perguruan tinggi. Ketiga anaknya yang dokter itu selesai pendidikan dokter Fakultas Kedokteran (FK) di Universitas Samratulangi, Menado, Sulawesi Utara.

Sedangkan spesialisnya selesai di FK Unhas, “Satu sudah selesai, dua orang lagi masih sementara berproses. Yang keempat sekarang masih kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta.”

Sekarang anak keempatnya itu masih sempat asyik main ikan KOI. Di rumahnya ada dua kolam Ikan dari Jepang tersebut. Bahkan di Sumarorong pun dibuat kolam khusus untuk pelihara ikan KOI.

“Dia tes air di Sumarorong, ia bilang hampir sama dinginnya dengan air yang ada di Jepang, cocok untuk ikan KOI,” ujar Elypas. Di sana juga ada kolam untuk ikan mas dan ikan gurami.

Yang bungsu? “Dia suka pelihara kucing.” Si bungsu ini mau kuliah di Universitas Sulawesi Barat (Unsulbar) di Majene. “Tapi ia mau masuk fakultas kedokteran, sementara yang ada sekarang baru Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM).”

Jika tak ada aral, tahun 2023 nanti sudah resmi dibuka Fakultas Kedokteran di Unsulbar, Majene.

“Saya masuk tim dalam proses pengusulannya ke Jakarta. Kebetulan ada yang saya kenal di bagian rekomendasi konsil kedokteran Indonesia dan Dewan Pendidikan dan Revisi Perizinan. Saya sering berhubungan dengan tim itu untuk pembukaan Fakultas Kedokteran di Unsulbar,” jelas Elypas.

Bersamaan dengan itu, katanya, ada juga satu perguruan tinggi di Kalimantan Tmur dan satunya lagi di Jawa. “Tahun depan buka tiga Fakultas Kedokteran di tiga provinsi di Indonesia.”

Sepotong kisah Sumarorong – tempat bepergian sekalian bertemu sanak family di Kabupaten Mamasa saban ada waktu senggang.

“Waktu saya di sana dulu, ada lokasi di depan kantor camat yang kami beli (1987) seharga Rp50 ribu. Saya beli dari seorang tetua, perempuan. Indik-indok. Ada juga beberapa sawah di belakang SMA Sumarorong. Ada kebun kecil yang kami tanami cengkeh.”

Di tahun 1987 itu, keluarga buat kebun di sana, ia tanami ubi jalar untuk kebutuhan makan ternak babi. Banyak warga yang kemudian tiru, bahkan tanaman ubi jalar itu sampai ke Pasapa. Ikan mas yang ia pelihara dibeli di Lakahang, Tabulahan, sewaktu hadiri pertemuan berkala Sidang Sinode GTM tahun 2021 lalu.

“Saya beli empat ekor 300 ribu. Besar indukannya. Tiba di Sumarorong saya kawinkan dengan ikan pejantan. Anaknya sudah banyak sekarang.”

Setiap kali tiba di Sumarorong, tak sedikit warga sering tandang ke tempat kami. Bahkan ada yang sudah mulai meniru apa yang kami lalukan di sana. “Artinya apa, masyarakat itu mau berbuat kalau ada yang dia lihat, beri contoh.”

Selain liburan ke Sumarorong, ia habiskan separuh waktunya di Rumah Sakit Bakti Kasih di Polewali yang dibangun dari uang tabungannya – puluhan tahun lamanya. “Sementara urus akreditasi karena tidak bisa layani BPJS Kesehatan kalau tidak ada akreditasi.”

Di penghujung cerita, ia sebut seorang nama: Victor Paotonan, seorang pejuang, mantan Wakil Bupati Mamasa. Beliau telah pergi pada 2016 lalu.

“Mamanya Victor itu kakak pertama saya, Yohana Palangi. Beliau sudah meninggal beberapa tahun lalu,” cerita Elypas.

Ketika disebut namanya begini, dr. Elypas Jusuf Dellumaya Palangi, Sp.Rad, Sp.Rad (K) RI, Elypas menimpali. “Belum bisa dikasi (K) RI – Kedokteran Radiologi Intervensi – karena, kalau Tuhan berkenan, nanti bulan Desember 2022 baru terima brevet sebagai Spesialis Radiologi Intervensi, sementara menjalani stase di RSPAD Gatot Subroto Jakarta selama 1 bulan (Oktober).”

Dokter Elypas Palangi tampak segar bugar mendiskusikan perjalanan pendek hidupnya, selama dua jam lima menit di Selasa pagi, pekan ini. Mengetik di whatsapp pun jemarinya seolah tak kenal umur.

Matanya memang sudah dibantu kaca lensa tak biasa. Juga saat berkendara ke Sumarorong – yang melintasi jalan berkelok nan mendaki terjal lalu menurun agar curam. “Ibu yang biasa setir mobil dinda, ia kuatir pada kakiku yang pernah kecelakaan. Ini bekas jahitannya.”

Ia sudahi obrolan, jam 09.15 Wita, mestinya sudah harus berada di rumah sakit pada Selasa pagi itu. Di ujung tangga, ia masih sempat bicara heroik: “Harapan saya untuk kampung kita, saya mau lihat Mamasa berubah.”

SARMAN SAHUDING

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini