TRANSTIPO.com, Mambi – Sudah lama ingin menulis kampung tua Salubanua. Sejak rambut di kepala pemuda Sudirman masih tampak tumbuh normal — bertahun yang lalu.
Saat wawancara tadi malam atau Senin, 17 Juli, foto di WhatsApp-nya menunjukkan rambut yang di bagian depan kepalanya telah berubah: tampak kebotakan.
Sudirman adalah seorang pemuda Desa Salubanua yang terus gelisah melihat kampungnya terbelakang. Melalui halaman pada akun facebook miliknya, ia kerap suarakan kondisi ril di desanya, baik itu infrastruktur jalan maupun keadaan sosial ekonomi masyarakat.
Semakin sering ia bersuara di media sosial kegundahannya semakin bertambah. Seolah menyerah lantaran tak ada sambutan.
Saking seringnya ia mendengung di medsos, belakangan setiap postingannya malah disambut cemooh dan candaan netizen atau rekan-rekan medsosnya, di antaranya kawan-kawan dan warga yang ada di luar kampungnya.
Ia berharap apa yang ia nyanyikan di medsos tersambut, terutama kepada para pemangku kepentingan yang ia singgung setiap kali upload gambar dan segala rupa narasi kepedulian.
Namun apa lacur, harapan Sudirman menuai kehampaan. Seolah hambar. Pemuda pendek berisi yang lincah ini tak mau menyerah, salah satunya begitu ia cekatan menjawab dengan menjelaskan detail sekian banyak pertanyaan yang diajukan padanya.
Sangat sering ia mengeluh ke saya. Terus meminta datang ke kampungnya untuk memotret kondisi ril kampungnya. Ia pikir saya bisa berbuat apa.
Sejatinya tak lebih baik dari dirinya. Ia embeli memompa semangat dengan setengah bergurau bahwa penulis dengan jejaring media sosial yang banyak.
Padahal itu semua tak mungkin berdampak apa-apa. Saya juga bukan siapa-siapa, menghayal jika Anda kira saya ‘seleb’.
Terpanggil memenuhi keinginan pemuda Sudirman untuk wawancara dan menuliskannya melalui laman media online ini, paling tidak sekadar penghibur rasa gelisahnya, dan semoga rambutnya bisa tidak semakin mengilap atau mundur ke bagian tengah batok kepalanya.
Berdampak terhadap perubahan, belum terbayang pula sesungguhnya.
Semakin larut malam pada semalam, Sudirman kian bersemangat menjelaskan rentetan dan runutan pertanyaan. Termasuk ia kirimkan pula banyak foto-foto jalan dan bangunan sekolah dasar (SD) satu-satunya yang ada di kampung Salubanua.
DERITA KAMPUNG TERJAUH
Desa Salubanua adalah bagian pemerintahan Kecamatan Mambi, Kabupaten Mamasa. Desa ini berbatasan langsung dengan Desa Tubbi, Kecamatan Tubbi Taramanu (Tutar), Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulbar.
Kampung Salubanua dulu menjadi bagian dari Desa Rantebulahan, Kecamatan Mambi. Pada tahun 1999 masyarakat di beberapa dusun mengusulkan pemekaran desa, dan pada tahun 2021 secara definitif terbentuk Desa Salubanua, terdiri dari 6 dusun dan dihuni 140 kepala keluarga (KK).
Masyarakat desa ini banyak yang pergi merantau untuk mencari pekerjaan. Ada yang ke daerah Bugis, ke Malaysia, dan lebih banyak ke Kalimantan Timur (Kaltim).
Warga masyarakat Salubanua umumnya hidup dari bertani (berkebun). Pada 2003-2004 silam, nyaris lebih setengah penduduk desa mengungsi ke desa tetangga, umumnya memilih daerah Tutar yang dianggap aman saat terjadi konflik horizontal terkait pembentukan Kabupaten Mamasa pada tahun 2002.
“Masih banyak warga kami yang belum mau kembali ke desa. Itulah yang membuat penduduk desa ini sedikit,” kata Sudirman.
Terbentuknya desa sendiri tidak lebih baik seperti yang diharapkan masyarakat desa. Dana Desa (DD) yang diterima oleh pemerintah desa tidak berdampak terhadap pembangunan dan kemajuan Desa Salubanua.
Terkait jumlah dan penggunaan Dana Desa untuk Desa Salubanua, pemuda Sudirman menyilahkan menghubungi Nasrullah, Kepala Desa Salubanua saat ini.
Sudirman menulis panjang di WA-nya. Ia sebutkan kalau masyarakat Desa Salubanua hidup di bawah penghasilan yang layak.
“Penghasilan di kampung tidak cukup untuk menunjang masa depan,” kata Sudirman.
Desa Salubanua cukup jauh dari desa induknya. Jarak Salubanua dan Salumaka 12 kilometer. Jarak antara Salubanua ke Keppe, Rantebulahan sekitar 17 kilometer, sedangkan ke Kelurahan Mambi jauhnya sekitar 22 kilometer.
Gambaran umumnya untuk kondisi jalan, tulis Sudirman, jarak Salubanua dengan Salumaka sejauh 12 kilometer, 6 kilometer masuk wilayah administrasi Desa Salumaka dan 6 kilometer masuk wilayah administrasi Desa Salubanua.
“Sekitar 10 kilometer sama sekali belum pernah disentuh oleh dana pemda, kecuali pembersihan pada waktu terjadi longsor 2 tahun yang lalu. Pembukaan jalan ini pun dirintis dengan menggunakan dana PNPM tahun 2012-2014,” jelas Sudirman dalam keterangan tertulisnya.
Menurut Sudirman, baik perantau maupun warga desa yang masih menetap di pelbagai daerah di Sulbar dan Sulsel, sebenarnya mereka ingin kembali ke kampung. Hanya saja kondisi jalan antardesa yang sangat buruk.
“Inilah salah satu alasan keluarga kami yang masih bermukim di luar tidak mau pulang. Saya tau mereka mau kembali, pasti mereka rindu juga kebun dan lahan mereka untuk digarap, tapi inimi jalan kami yang bikin sakit kepala,” keluh Sudirman.
Selain perbaikan jalan antardesa, Sudirman juga berharap ada pembukaan jalan tani di desanya.
“Perbaikan infrastruktur jalan yang paling penting, karena ini menjadi penyebab warga kampung ini banyak yang memilih keluar sekalipun pinjam lahan di daerah lain karena tidak tahan dengan kondisi jalan yang sangat buruk,” tegas Sudirman.
Jaringan komunikasi internet ke Salubanua cukup lancar. Ada fasilitas wifi internet atas bantuan Pemerintah Provinsi Sulbar melalui program Marasa pada tahun 2022.
Dengan fasilitas inilah Sudirman bisa mengabarkan ke dunia apa yang terjadi di desanya.
SEKOLAH PRIHATIN 40 SISWA
Sudirman, 39 tahun, adalah satu-satunya guru di SDN 009 Salubanua. Selain sebagai guru, sejak 2018 ia diangkat selaku pelaksana tugas (Plt) Kepala Sekolah (Kasek) SD Salubanua.
Sudirman memiliki seorang istri yang bernama Suriyati dan telah dikaruniai 1 orang anak.
SD dengan bangunan tua yang dipimpinnya memiliki 40 siswa dengan rincian, kelas satu 9 siswa, kelas dua 8 siswa, kelas tiga 7 siswa, kelas empat 5 siswa, kelas lima 6 siswa, dan kelas enam 5 siswa.
Kasek Sudirman dibantu oleh dua orang perempuan sebagai guru kontrak. “Tapi belakangan dua guru kontrak ini sudah tidak aktif lagi karena sudah 1 tahun gaji kontraknya belum dibayar pemda. Makanya tinggal saya sendiri yang urus sekolah ini,” katanya.
SDN 009 Salubanua sebelumnya bernama SD Inpres 048 Salubanua. Berdiri tahun 1983.
Dua guru tenaga kontrak yang sudah tak aktif lagi membuat Sudirman memutar isi batok kepala.
“Saya coba merekrut 5 tenaga sukarela untuk membantu mengajar di kelas. Saya beri honor dari Dana BOS, disesuaikan kemampuan anggaran,” cerita Sudirman.
Tahun 2019 Pemkab Mamasa pernah mengucurkan anggaran untuk rehabilitasi 3 ruang kelas dan membangun 1 rumah dinas untuk guru.
“Masih ada 3 ruang yang rusak parah. Untuk bantuan penunjang lainnya hanya dana bos,” kata Sudirman.
Begitu cintanya pemuda Sudirman pada kampung halamannya, ia tak sampai berpikir dengan statusnya selaku ASN. Ia berceloteh sekehendak isi hati dan pikirannya.
“Saya tetap akan tinggal di Salubanua kanda. Makanya saya akan terus berjuang. Tolong bantu informasikan ini semua,” harap Sudirman.
Menabalkan dengan label kampung tua Salubanua sebagai kampung “ekstrimis” adalah cara paling ampuh untuk “membiarkan” kampung yang jauh itu merana dalam kondisi keterbelakangannya.
Stigma kampung “keras” dengan segala penderitaan masyarakatnya, adalah buah dari stigma keliru yang mesti dihapuskan sejak sekarang, karena kampung yang kaya sumberdaya alam ini adalah bagian tak terpisahkan dari NKRI, dan sungguh merindukan hakekat kemerdekaan Bangsa — seperti layaknya anak-anak INDONESIA lainnya.
SARMAN SAHUDING