Masa kecil yang peluh. Mengayuh hidup di empat tempat yang berjauhan: Suppiran, Sepang-Messawa, Mambi, dan Tabulahan.
Siapa itu sosok RA?
TRANSTIPO.com, Mambi – Satu rumpun keluarga, pakai bahasa Ibu yang sama bahkan kerap bertemu di pasar yang sama, tapi dipayungi pemerintahan yang beda.
Di ujung kampung Suppiran terdapat tugu dengan tulisan benderang. Tuga ini tanda batas pemerintahan Suppiran dan Sepang.
Desa Suppiran masuk wilayah pemerintahan Kabupaten Pinrang, Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), sementara Desa Sepang adalah bagian Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar).
Suppiran dan Sepang memiliki panorama alam yang indah. Kebun dan sawah seolah tersampir di lekuk gunung yang tiada bosan memandanginya.
Dari Kelurahan Messawa, perjalanan sungguh menantang hingga ke Desa Sepang. Menyisakan waktu sekitar satu jam dengan jarak 10 kilometer.
Betonisasi tua yang telah menganga, jalan bebatuan dan berlumpur. Tapi kehidupan terus berputar.
Melintasi Desa Malimbong dan Desa Sipai untuk sampai ke Sepang — salah satu kampung tua di Messawa.
Cerita tentang perjalanan ke Suppiran pada Rabu, 17 Maret 2021, akan tersaji kemudian.
Tabulahan
Tabulahan dikenal dalam sejarah di pegungan bagian Barat Sulawesi. Masa lalu di wilayah Pitu Ulunna Salu (PUS), Tabulahan adalah nama yang memiliki arti penting, baik peran maupun eksistensinya sebagai Petaha Mana’ (otoritas penentu pembagian wilayah setiap komunitas warga yang hendak bermukim di suatu tempat di pegunungan)
Puluhan tahun silam, seorang perempuan bertubuh pendek lahir di Tabulahan. Ia lalu hijrah ke Mambi, sekitar 50 kilometer dari Tabulahan.
Di Mambi ia menuntut ilmu di sekolah formal pemerintah hingga ia melanjutkan pendidikan di sekolah Keguruan di kota.
Sebagai lulusan sekolah guru, ia kembali ke Mambi dengan status Guru Negeri jurusan Bahasa Inggris.
Namanya Maria Dorce Nongkang. Kini sudah pensiun dan menetap di dua tempat: Sudiang, Makassar dan Tabulahan, Kabupaten Mamasa.
Leluhur Ibu Dorce Nongkang berasal dari Salurinduk, Aralle.
Ia menikah dengan seorang pengelana berani penunggang kuda. Lelaki tambun dengan intuisi dagang yang kuat.
Bersama dengan beberapa ekor kudanya mengelana sampai ke Mambi. Ia menjual minyak — minyak tanah dan minyak kelapa — juga membeli kopi untuk dijual kembali ke pedagang pengumpul.
Di Mambi beliau ini menemukan kenyamanan dan kejayaan.
Di Mambi pulalah ia bertemu jodohnya yang baru, yakni seorang Ibu Guru muda bernama Maria Dorce Nongkang.
Keduanya bersatu dari latar yang berbeda: pedagang dan guru. Keduanya membangun mahligai rumah tangga di Mambi terbilang sukses, secara ekonomi misalnya.
Rumahnya besar di atas tanah yang lapang, persis di tengah kampung Mambi tua. Ukuran dulu, rumah ini terlampau besar dan mewah.
Pemiliknya adalah Paulus Tarru alias Ambe’ Linggi. Semua orang lebih mengenal nama panggilannya, Ambe’ Linggi.
Orangnya pendek berkulit putih. Selama hidupnya, tak sekali pun teedengar ia bertikai dengan siapa pun juga. Ia lurus dan tekun bekerja.
Hanya terbatas orang di Mambi dan Tabulahan yang memanggilnya Papa Rudy. Kalau Ibu Dorce — istri Ambe’ Linggi — lebih akrab disapa Mama Rudy. Ini panggilan familiar untuknya.
Rudy dimaksud adalah anak lelakinya yang bernama lengkap Rudy Alfonso, kini 56 tahun.
Mambi
Rumah loteng milik Ambe’ Linggi bersama Mama Rudy ini selalu ramai. Di luar dinding depan bagian bawah hingga di halaman depan rumahnya, banyak drum minyak tergeletak. Di sampingnya ada kandang kuda.
Banyak orang tinggal di rumah ini. Kerabat Mama Rudy dari Aralle dan Tabulahan yang sekolah lanjutan pertama di Mambi, memilih tinggal di rumahnya.
Rudy Alfonso lahir di Mambi tepatnya 15 September 1965.
Saat Rudy lahir, Ibunya aktif mengajar Bahasa Inggris di SMP Negeri 01 Mambi sementara bapaknya sedang giat-giatnya berdagang dan mattekek (angkut barang pakai kuda).
Ayah Rudy berasal dari Sepang (Messawa) dan Suppiran (Pinrang) — dua kampung tua yang bertetangga dengan nilai hidup dan budaya yang sama.
Hidup kecil Rudy telah mengenalkannya perjalanan yang panjang di tempat yang jauh: Tabulahan dan Sepang-Suppiran dengan jarak yang sungguh jauh, puluhan kilometer.
Dalam data disebutkan bahwa jarak antara Messawa dan Tabulahan sepanjang 100 kilometer.
Masa kecil Rudy Alfonso diceritakan oleh beberapa kerabat, salah satunya Haji Ruslan Badaruddin. Ia tinggal di Kelurahan Mambi, persis bersebelahan rumah dengan keluarga Rudy.
“Rudy itu lahir di Mambi. Bahkan menikah di sini juga,” kata Haji Ruslan di Mambi pada Selasa, 23 Maret 2021, sekitar pukul 20.15 WITA.
Ruslan Badaruddin bercerita banyak seputar kehidupan Rudy Alfonso pada masa kecilnya di Mambi.
“Sirra-sirra beluhakna, kadakke-dakke Rudy nenge barinnik,” ujar Ruslan Badaruddin diselingi tawa.
Ruslan tahu persis si bocah Rudy, sebab katanya, “Kan, saya tetangga, satu dinding pemisah saja, jadi saya tahu persis dan sudah saya anggap anak sendiri.”
Dapariu
Dapariu itu artinya anak kesayangan yang bermukim di tempat jauh yang kerap dirindukan pulang, dan ketika pulang ia dielus sembari disapa, dapariu… dapariu-ku datang.
Di Tabulahan, Rudy kecil dirindukan. Seorang lelaki telah menua yang Rudy sapa Papa’ Ayi’. Ia tinggal di Lakahang, Kecamatan Tabulahan.
Pada Selasa, 16 Maret 2021, sekitar pukul 12.00 WITA, transtipo berbincang di rumah Iwan Tiyong (72 tahun).
“Salam sama Papa’ Ayi’ ya, dinda. Semoga Pua’ku sehat-sehat,” Rudy Alfonso berkirim pesan melalui WhatsApp, beberapa puluh menit sebelum tiba di Lakahang.
Tampak wajah Sudung Polopadang (62 tahun) berseri-seri ketika diminta mengenang kembali hidup Rudy Alfonso di masa belia.
Salah seorang paman Rudy ini juga menjalani masa tua sebagai pensiunan pamong Negara.
Sesekali ia menyeduh kopi hangat yang dibuat oleh Mama Rani — istri Gerson, adik kandung Rudy — di teras rumah Ibu Dorce di Lakahang pada Senin siang.
Sudung tak kuasa menceritai kehidupan Rudy, anak ponakannya sendiri. Bersama Gerson dan seorang pemuda kerabat Rudy, menyilakan kepada transtipo untuk menemui seorang tokoh — tetua mereka yang terpandang di Lakahang dan Tabulahan.
“Pua’ Tiong lebih pantas ditanya jika menyangkut ananda Rudy. Nanti beliau yang ceritakan, rumah beliau dekat dari sini,” kata Sudung.
Berbilang menit kemudian, di kolong rumah Iwan Tiong alias Papa Ayi’ terbilang ramai. Lebih setengah kursi duduk sejumlah orang, termasuk Sudung, Gerson dan pemuda Lakahang lainnya.
Iwan Tiong mengingat kembali masa kecil Rudy Alfonso.
“Rudy itu lahir di Mambi, dan besar di sana. Tapi setiap libur sekolah pasti ke sini (Lakahang),” Iwan Tiong mulai bercerita.
“Sisule tea mane lekbak i mamekang,” kata Iwan, mengenang ketika Rudy kecil datang di Tabulahan biasa ikut ke sawah sambil memancing ikan.
Kakek yang rambutnya telah memutih ini bangga pada Rudy Alfonso, terutama dari sisi pendidikan.
“Dia selalu juara I di sekolah. Ukda deeng nacalla tau. Bassak makbaluk aka mampasolai tobarakna, bassak toi mekguru.”
Iwan akui ketekunan Rudy Alfonso dalam belajar selama sekolah. Juga rajin membantu ayahnya sebagai pedagang. Ia tak pernah berselisih paham dengan orang lain.
“Khusus kita keluarga, kita anggap dia mulus terutama di sekolah. Sabar. Jujur. Selalu dicari karena memang dibanggakan,” ujar Iwan Tiong.
Mengingat masa kecil Rudy dengan ketekunan dan kejujurannya, “Saya ingat pak Baharuddin Lopa,” kata Iwan Tiong.
Ia bilang, kelebihan Rudy aka madomik mangkuasai bahasa asing — cepat menguasai bahasa asing.
Terkadang Iwan Tiong terdiam lalu mengepulkan asap cerutunya sembari memandang jauh keluar pintu. Ia tak bicara. Mimiknya serius.
Lalu, ia menutup cerita singkat ini dengan ungkapan luhur, “Pepairan mandang teakitak. Nabahangkik sanga bottota,” pesannya selaku orang tua dalam bahasa Tabulahan yang kental.
“Mudah-mudahan lancar. Salama’ lako kampungna tau,” Doa Iwan kepada anak ponakannya itu.
Ia tutup dengan ini: “Kelasisuleng aka makpepasangtea mai.” Setiap kali Rudy Alfonso mau ke Tabulahan, ia kirim pesan terlebih dulu ke tokoh yang ia hormati ini.
Kuda
Seorang ayah dengan kuda yang banyak sebagai alat transportasi di masa dulu, membuat Rudy Alfonso kecil berjibaku dengan di pematang sawah.
Saban pagi dan sore Rudy bersama adeknya Gerson punya tugas wajib kasi makan kuda dengan rumput yang segar.
Buriak alias kalamata (sejenis keranjang berbahan rotan yang diraut) dan sebuah sabit tajam pemotong rumput adalah “teman akrabnya”.
Di persawahan belakang kampung Mambi tempatnya mengumpulkan rumput dan setibanya di rumah, rumput dalam buriak tersebut disimpan di dekat kandang kuda.
Di saat malam atau sebelum waktu tidur, ia harus kasi makan kudanya dulu. Begitu seterusnya di masa belia, bertahun-tahun lamanya.
Tamat di SD Negeri Mambi pada 1976, Rudy melanjutkan pendidikan menengah di SMP Negeri Mambi.
Di sekokah ini, Rudy diajar oleh guru-guru yang salah satunya Ibunya sendiri yang spesifikasi mengajar Bahasa Inggris. Dari sinilah kian terpola kelebihannya sehingga ia dengan cepat mahir berkomunikasi Bahasa Inggris.
Rudy murid bintang di SMP Mambi. Meski ia tamat di sini, tapi di sekolah ini ia hanya tempuh selama satu tahun di bangku kelas III. Kelas I dan II ia tempuh di SMP Katolik, Messawa.
Kawan Buana
Buana Sumampow (56 tahun) tahu persis siapa Rudy Alfonso di sekolah SMP Katolik Messawa, Sumarorong.
Buana adalah seorang pamong Negara di Pemerintah Kabupaten Mamasa yang ditempatkan di Kecamatan Messawa.
Pada 17 Maret 2021, sekitar pukul 21.00 WITA, Buana menceritakan sekilas masa sekolah Rudy selama dua tahun di SMP unggulan itu.
“Rudy itu pintar di kelas. Saya heran karena dia itu jarang menulis di kelas, bahkan jarang bawa buku tulis ke sekolah, tapi setiap guru kasi pekerjaan rumah, semua bisa dia kerja,” cerita Buana.
Bahkan, kata Buana, pada saat ujian kelas Rudy itu mampu menjawab semua soal ujian dengan benar.
“Saya akui, jago memang bahasa Inggris. Dia itu sudah mampu bercakap Bahasa Inggris sejak SMP,” aku Buana.
Buana bilang, memang di sekolah kami itu, ada khusus guru Bahasa Inggris yang didatangkan dari Makassar, dari SMP Frater (induk).
“Salah satu spesifikasi kami, ya memang penguasaan pada Bahasa Inggris,” katanya.
Kehidupan masa remaja Rudy di Messawa, juga dikisahkan Buana. “Dulu kami tinggal di asrama sekolah, tapi karena pernah Rudy sakit perut, muntah-muntah, jadi dia kembali ke rumahnya.”
Buana juga ingat, ia dan Rudy sering pergi ke sawah. “Bapaknya punya sawah, tak jauh dari sini. Rumah mendiang bapaknya masih ada. Kerabat dekat bapaknya yang tempati.”
Di akhir obrolan, Buana kemudian mengajak transtipo berjalan dari teras samping rumahnya menuju ke jalan raya Messawa melihat dari dekat rumah Ambe’ Linggi — ayahanda Rudy Alfonso.
Malam itu, rumah itu hanya berpenerang lampu listrik di bagian kiri depan. Di loteng, lantai dua, tampak gelap. Di bawah bagian depan, dipermak seperi gardu tempat jualan.
Rumah yang Rudy tempati selama sekokah dua tahun di SMP Katolik Messawa gampang dilihat karena berada di pinggir jalan utama. Agak di pendakian setelah jembatan besar di tengah Messawa, di sebelah kanan jika menuju ke kota Polewali, Polman.
Tentang kawannya ini, Rudy ceritakan, “Saya sering berguru kepada bapaknya Buana, Om Dinand (Ferdinand Sumampow, dulu Kepala Desa Messawa). Saya selalu diajak makan bersama di rumahnya. Om Dinand orang yang sangat berwibawa, tak banyak bicara dan sangat dihormati. Kami sangat mengidolakan Beliau.”
Becce’
Di ujung Kelurahan Messawa ada belokan di sebelah kiri jalan utama, mula-mula sedikit menurun lalu datar, mulailah telusur jalan leluasa mobil di atas betonisasi tua yang sudah berlubang, sampai ke Sepang — sekitar 10 kilometer jauhnya.
Matahari sudah mulai turun di ufuk barat pada 17 Maret 2021. Cuaca bersahabat. Melintasi kelokan jalan, kadang menurun dan sesekali menanjak.
Di Desa Malimbong, sekitar 5 km dari Messawa, di antara lintasan di desa ini ada jalan sekitar sepanjang 300 meter berada di pinggir sungai bersisian dengan persawahan warga.
Memasuki Desa Sipai, jalannya menanjak-menurun. Di lereng bukit padi barakbak (gogoh) lagi menguning. “Manusia boneka” yang sengaja ditancap di tengah “kebun” padi, daun-daun dan bulir padi gunung yang keras bergoyang mengikuti hembusan angin.
Panorama alam yang indah sekali. Ingin berlama-lama melepas pandang ke sekeliling di tengah hawa sejuk.
Di seberang sungai yang agak jauh, petak-petak kecil sawah bersusun rapi. Batu-baru besar tertanam di antara garisan pematang.
Di atasnya, gunung menjulang tempat awan tipis seolah berkejaran.
Dua orang anak gadis Mama Rani sedang sibuk di dapur rumahnya di kampung pertama Desa Sepang.
Agak di dataran. Di depan rumah sebuah Gereja besar. Di sampingnya terdapat bangunan mirip aula pertemuan dengan halaman yang luas.
Suara Rani terdengar dari ruang tengah menyambut transtipo. “Dengan sae orang Mambi, pesuanna ade’ Pua Rudy,” Rani bicara pada bapaknya.
Tak lama kemudian, seorang lelaki tinggi besar muncul dari arah belakang mobil truk, di samping rumah.
“Mamaknya Rani ada di Suppiran. Tadi saya antar ke pasar Suppiran lalu terus liat mamanya karena lagi sakit,” kata kakak ipar Rudy Alfonso ini.
Remaja Ferdi (16 tahun) — warga Desa Malimbong yang masih sekolah di SMK Messawa bertindak selaku penunjuk jalan — harus tinggal sejenak menungu di rumah Becce’ alias Mama Rani.
Untuk bertemu Becce’, kakak sebapak Rudy Alfonso, Papa Rani bersedia membonceng ke Desa Suppiran, sekitar 9 km dari Sepang.
Tepat pukul 15.45 WITA, kemudi roda dua bermesin besar milik Papa Rani dikebut. “Tidak jauhji. Paling 20an menit sampai miki di Suppiran,” kata lelaki bersahaja ini di atas sadel motor.
Berada di daerah bagian pemerinahan Kabupaten Pinrang, tapi papa Rani dan warga desa ini berkomunikasi sama dengan warga Sepang lainnya.
Satu rumpun keluarga barnaung di dua desa dalam provinsi yang berbeda: Sulsel dan Sulbar.
Lepas dari pintu gerbang perbatasan provinsi, rumah masih sambung menyambung. Dari pintu gerbang “pemisah”, sebuah kantor desa bermotif cantik. Atap depannya melengkung ke atas, warna cet-nya masih baru.
Kantor Desa Suppiran yang baru berbentuk Rumah Adat Toraja. Bukti yang sahih bahwa warga Desa Suppiran “bukan orang lain” — corak budaya yang sama dengan umumnya warga Kabupaten Mamasa.
Melewati perkampungan Suppiran, terdapat tiga rumah kayu berbentuk loteng (dua tingkat). Pada sebuah rumah loteng, Becce’ turun dari tangga setelah mendengar panggilan suara suaminya — pengendali kemudi yang lincah selama perjalanan dari Sepang.
Becce’ alias Mama Rani menyilakan naik ke rumah Ibunya. Di ruang tengah rumah itu, sinar mentari petang masih menyilau saat jepretan dimulai.
Obrolan — lebih tepatnya wawancara — singkat berlangsung. Seputar hidup masa silam Rudy Alfonso, adiknya.
“Waktu kecil, adekku itu biasa pergi ambil kayu bakar di hutan. Rudy itu peklo (lemah), biasai makragi-ragi (rewel). Simapikdik mi baakna (sakit kepala), mapikdik tambukna (sakit perut),” cerita Becce’.
Seperti cerita Buana, saat Rudy sekolah di Messawa, ia tinggal di asrama. “Pernah sekali waktu muntah-muntah, maklum tidak kuat kerja jadi dikasi kembali ke rumah.”
Becce’ ingat persis, masa kecil Rudy sering ikut sama bapaknya mattekek kopi (angkut barang dengan kuda). Selama di perjalanan jalan kaki di belakangnya kuda.
Santai? Mana bisa! Jika kuda tidak dalam pengawan ketat, bisa terjatuh di jalan berlubang atau belok ke jalan yang bukan dituju.
Menjadi kurir kuda mesti cekatan mengawasi jalannya kuda. Jika ada tangkai kayu merembet ke jalan setapak, dua tumpukan barang — entah biji kopi dalam karung atau bungkusan minyak dalam jerigen — di atas punggung kuda, maka harus gerak cepat menghalau tangkai kayu tersebut, jika terlambat jalannya kuda oleng dan bisa jadi terjatuh ke jurang.
Hujan, juga persoal pelik yang lain. Lupa menyertakan kain penutup berupa terpal atau plastik bening, tekean (bawaan) di punggung kuda bisa basah dan tambah berat, si kuda melambat jalan termasuk karena kedinginan.
Ini keadaan paling berat dijalani seorang pattekek. Tapi Ambe’ Linggi dan Gerson sudah pengalaman soal beginian, dan tak sekali pun ia gagal di perjalanan.
“Sama-sama bapak dan Gerson dari Suppiran ke Pasapa. Nanti di Pasapa baru ada mobil yang teruskan barang teke’an ke Messawa.”
Becce’ atau Mama Rani kerap menyebut nama Gerson, adek Rudy yang tinggal dan “menjagai” Lakahang sampai sekarang.
Ia bilang, adek Gerson itu yang paling sering temani bapak mattekek. Kalo adek Rudy memang kuat sekolah.
“Jangankoak kasi begitu i Gerson le, aka tekkoak too sarjana kelataia Gerson,” Becce’ beri empati begitu luhur pada adiknya itu, yang ini semacam pesan khusus ke Rudy Alfonso.
Becce’ kini 59 tahun. Posturnya pendek lagi tambun. Suaranya lantang. Ingatannya masih begitu kuat, terutama dalam mengisahkan keadaan adek-adeknya di masa kecil hingga remaja.
“Saya dulu yang urus adek-adekku,” katanya. Ia sering ke Mambi dan kerap tinggal sesaat menamani ibu tirinya — Ibu Dorce Nongkang.
Becce’ bilang, “Tandana kusayang itu mamaku di Mambi. Tidak kupandang saya itu mama tiriku. Kusayang, kayak lebih dari mamakku.”
Hidup Becce’ juga berliku. Ia pernah merantau ke Malaysia. Makanya, Haji Ruslan sebut, “Becce’ itu dipanggil Indona Malindo (Malaysia – Indonesia).”
Rudy tinggalkan Messawa saat naik kelas 3 SMP. Ia kembali ke Mambi sampai tamat sekolah pada 1980.
Lulus di SMP Negeri Mambi, tempat Ibunya mengabdikan diri mengajar Bahasa Inggris hingga pensiun, Rudy Alfonso perlu segera ke Messawa untuk menemui ayahnya.
Rudy minta petunjuk, termasuk kepada kakak sulungnya, Linggi. Cerita Becce’, ia minta pendapat kepada bapaknya yang kebetulan lagi di Messawa.
Ayahnya sarankan, cerita Becce’, bisa lanjutkan sekolah di SMEA Polewali kalau masih ada lowong, tapi kalau sudah full (penuh), ya, harus menunggu satu tahun lagi.
“Lebih baik sekolah ke Parepare,” kata Becce’ mengulang kata-kata ayahnya, Paulus Tarru.
Jadilah Rudy sekolah di SMA Negeri Parepare, Sulsel. Selama tiga tahun di kota niaga, Rudy tinggal di rumah salah seorang kerabatnya di Jl Pancasila.
Sandi Negara
Tentang sekolah ikatan dinas, Akademi Sandi Negara di bawah Lembaga Sandi Negara, saat lulus SMA tahun 1984, Rudy Alfonso mendapat informasi dari kerabatnya, Any Tamadjoe bahwa ada rekrutmen melalui Kodam XIV Hasanuddin untuk mengikuti test bagi lulusan SMA jurusan IPA.
Test tahap pertama berhasil lulus 2 orang dari ratusan pendaftar untuk wilayah Sulawesi Selatan.
Tahap selanjutnya harus ke Jakarta untuk ikut test psikologi, kesehatan dan interview.
Tahap akhir yang diterima hanya 15 orang dari seluruh Indonesia, dan Rudy adalah satu di antaranya.
“Sedih, kawan saya berangkat bersama naik kapal laut milik Pelni, Kerinci, yaitu saudara Abd Azis harus pulang karena tidak berhasil diterima,” tutur Rudy mengingat kawannya asal Bulukumba yang tak lulus dalam ujian tersebut.
Saat ini Akademi Sandi Negara berubah menjadi Sekolah Tinggi Sandi Negara (STTSN) dan Lembaga Sandi Negara menjadi Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Tak ada penjelasan mulai sejak awal, apa dan bagaimana tentang akademi sandi negara itu. Rudy Alfonso seolah tak bersedia mengumbarnya.
Hal ini karena terikat sumpah serta rahasia jabatan yang tetap dipegangnya ketika diterima di institusi tersebut.
Pengetahuan Becce’ pun hanya berangkatnya yang diceritakan kepada transtipo di Suppiran, Pinrang.
Buana pun — kerabat sekaligus sahabat Rudy — hanya mengetahui keadaan Rudy selama di Parepare.
“Meski sudah pisah dengan kita, ia masih juara kelas. Pintar orangnya,” puji Buana pada karibnya ini.
Setelah lulus di SLTA Parepare, Rudy memilih angkat koper jauh-jauh ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan di Akademi Sandi Negara.
“Kami sedih sekali waktu adekku pergi ke Jakarta. Ia naik kapal laut ke Jakarta,” kisah Becce’ perlahan sembari mengangkat telapak tangannya untuk mengelap air yang menetes ke pipinya.
Rudy Alfonso lulus di Akademi Sandi Negara, Jakarta pada 1987.
Setahun kemudian, 1988, Rudy diangkat jadi PNS Lembaga Sandi Negara Republik Indonesia — pegawai diperbantukan ke Departemen Luar Negeri (Deplu), sekarang Kementerian Luar Negeri (Kemenlu).
Hanya setahun lebih, Rudy dipanggil atasannya untuk penempatan di Kedutaan Besar RI di Vienna, Austria. Dia kemudian bertugas selama 5 tahun di sana.
Pekerjaan
Pejabat Sandi Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (1988-1989).
Home Staff pada Kedutaan Besar Republik Indonesia di Vienna, Austria merangkap Republik Slovenia dan Perutusan Tetap RI pada Kantor PBB di Vienna, Austria (1989-1995).
Pejabat Fungsional Sandi, Pusat Komunikasi Kementerian Luar Negeri (1995-1997)
Sekretaris Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri (Otorita) Batam, Provinsi Riau (1997-2001).
Direktur Eksekutif Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI) (2001-2010).
Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Kabupaten Indonesia (APKASI) (2010-2011).
Pendiri dan Pimpinan Law Firm Alfonso, Jakarta (2008 – sekarang).
Penugasan
Advance Team of Indonesian President State Visit to Zagreb, Croatia (1995).
Advance Team of Indonesian President State Visit to Pnom Penh, Cambodia and Yangoon, Myanmar (1996).
Participant of Indonesian of President State Visit to Kingdom of Saudi Arabian, Switzerland, Czech Republik, United Kingdom, Belgium, Netherland, Germany, India, Thailand and Korea Participant of Expert Meeting (2000).
Association Capacity Building, IULA, Madrid, Spain (2003).
Participant of Third Assembly, World Movement for Democracy, Durban, South Africa (2004).
Participant of Second United Cities and Local Governents World Congress, Jeju, South, Korea (2007).
Participant of I World Congress, Organization of World Heritages Cities, Kazan, Federation Republik of Rusia (2007).
Participant of Regional Conterence Asian Development Bank, Investing in Asia’s Urban Future, Manila, Philippines (2007).
Participant of Unido Global Investment Fotum, Nanning, China (2008).
Participant of Regional Congress, UCLG Asia Pacific, Pattaya, Thailand (2008).
Participant of UN-Local Government Climate Change Leadership Summit, Copenhagen, Denmark (2009).
Organisasi
Anggota Dewan Penasehat DPD Partai Golkar Provinsi Sulawesi Barat (2008-2009).
Sekretaris Badan Hukum, Hak Asasi Manusia dan Otonomi Daerah, DPP Partai Golkar (2007-2014).
Anggota Departemen Hukum dan HAM DPP Partai Golkar (2009-2014).
Wakil Sekjend Bidang Hukum dan HAM DPP Partai Golkar (2014-2015).
Ketua Bidang Hukum dan HAM DPP Partai Golkar (2014-2017).
Wakil Ketua Mahkamah Partai Golkar (2014-2015).
Ketua Mahkamah Partai Golkar (2015-2018).
Ketua Bidang Ekonomi Pedesaan (2018-2019).
Pendidikan Non Formal
Workshop on Decentralized Wastewater Treatment Systems and Community Based Sanitation, Yogyakarta (2003).
Seminar Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANAS) (2005).
Pemantapan Nilai Kebangsaan dan Kepemimpinan LEMHANAS, Jakarta (2006).
Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), Jakarta (2008).
International Conference on the Coalition of Cities Against Discrimination UNESCO, Bandung (2009).
Pendidikan Kurator dan Pengurus IKAPI Indonesia, Jakarta (2009).
Bimtek Penyelesaian Perkara Perselisihan Hasil Pemilu Legislatif 2014, Mahkamah Konstitusi (MK) RI (2013).
Prakonferensi I: Etika Berbangsa dan Bernegara, Diskursus Integrasi Sistem Kode Etik dan Penanganannya, DKPP RI (2017).
Prakonferensi II: Etika Berbangsa dan Bernegara, Diskursus Integrasi Sistem Kode Etik dan Penanganannya, Komisi Yudisial RI (2017)
Litigasi dan Non Litigasi antara tahun 2009 hingga 2020, juga pengalaman penting Rudy Alfonso yang terurai panjang.
Rudy Alfonso rengkuh gelar strata satu (S1) pada Bidang Hukum di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, 2008. Gelar Magister Ilmu Hukum ia peroleh di universitas yang sama pada 2011.
RA
Pada 12 Maret lalu, laman ini melayangkan sejumlah pertanyaan melalui aplikasi WhatsApp (WA) kepada RA di Jakarta.
“Saya ingat tahun 70-an, pertama kali saya ke Lakahang. Dari Mambi sehari lamanya perjalanan ke Tabulahan. Hanya ada tiga KK di sana, saat itu,” tulis RA.
Setibanya di Lakahang, sambung RA, “Pua’ Tiong dan Pua’ Sura’ yang kami temui di sana.” Ia ingat, “Waktu itu saya masih kelas 4 SD.”
Dan, terhadap Iwan Tiong dan Sundung Polopadang yang ditemui pada 16 Maret 2021, RA menyebut, “Beliau itu adalah orang yang paling tau derita masa kecilku secara detail.”
RA mengenang masa kecilnya. “Ketika di Messawa, pernah tidak punya bekal lagi untuk dimakan, terpaksa pergi ke keluarga (almarhum) Bapak di Suppiran, minta kopi untuk dijual buat beli beras,” tulis RA dalam WA.
RA membukanya secara jujur, apa adanya, “Sedih kalau diingat-ingat, tapi itu benar terjadi.”
Ruslan Badaruddin memotretnya lebih dekat. “Simekaju. Mekurra. Ambena makbaluk minnak anna bau.”
RA sering ke sawah, siola Ambena. “Selain menengok sawahnya, juga sekalian ambil rumput untuk makanan kudanya dan melewati kayu bakar,” kata Ruslan Badaruddin.
Dulu, sambung Haji Ruslan, indoo dio banuanna naalli Ambena lako di Sidame — seorang Tomakaka dari Bambang.
“Kan, bukdak Doikna Ambe’ Linggi aka padagangkaiko. Bahkan, beliau beli sawah di Pada (Talippuki) tiga petak, kondo. Luas sekali,” ujar Haji Ruslan Badaruddin.
Ia akui, “Buda umanna nenge magassimpi Ambe’ Linggi,” ujar Ruslan.
Ruslan akui jika Rudi dan adek-adeknya rajin bekerja. “Sisiola Gerson mampakande ajarang (kuda). Sama-sama ambil rumput.”
“Tandana, sungguh, keras dan disiplin sekali itu bapaknya Rudy soal didikan kepada anaknya.” Ruslan bilang, “Najanjiang Ambena samaindee kalamata mubaha sule. Ukda napebai jolok ummande keukdai lekbak mekurra.”
Bapaknya itu didik keras, menurut yang Ruslan lihat secara kasat mata.
RA tak akan diizinkan sentuh makanan sebelum ambil rumput makanan kuda. Kalamata atau buriak (keranjang tempat rumput) harus penuh baru diizinkan makan, sarapan pagi sebelum pergi ke sekolah.
Setelah kembali dari luar negeri, RA memilih menetap di Jakarta. Ia membangun “Home” bersama Evi Novianti, istrinya, yang Tuhan anugerahkan buah hati sepasang: Erwin Agustian Alfonso (Laki-laki) dan Anggita Reina Alfonso (Perempuan).
Kedua anaknya ini telah mulai tumbuh menginjak dewasa yang sedang berjuang di dunia pendidikan tak tepermanai.
Bersama keempatnya, RA telah mendirikan “House” — rumah fisik yang sebenarnya.
Di Ibu Kota Indonesia itu, keluarga RA tinggal di Jl Taman Radio Dalam Nomor 30, Gandaria Utara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Calon Dubes Portugal
Informasi terkini di Jakarta, beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo telah mengirim surat ke Komisi I DPR RI terkait nama-nama calon Duta Besar Luar Biasa Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Negara Sahabat dan Organisasi Internasional.
Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid membenarkan surat dari Presiden terkait 32 nama calon Dubes dan Organisasi Internasional.
Nama Rudy Alfonso termasuk salah satu dari 32 nama yang tertera dalam surat Presiden tersebut.
Dilansir di laman VOI, Jumat, 25 Juni 2021, “Komisi I DPR direncanakan akan menggelar uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test pada Juli mendatang.”
“Kami jadwalkan fit and proper test minggu kedua Juli,” ungkap Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid, laman VOI.
Menjawab pertanyaan Wartawan di Jakarja, Jumat, 25 Juni 2021, malam, Rudi Alfonso mengatakan, “Saya baru dicalonkan, mudah-mudahan kepercayaan bapak Presiden kita bisa memberikan kontribusi.”
Laman VOI menulis, “Apa pun tugas Negara yang diarahkan Presiden Joko Widodo kepada saya adalah anugerah tak ternilai. Tugas Negara adalah tugas mulia di mana pun untuk kejayaan Negara dan Bangsa menuju Indonesia maju.”
Becce’, Pua’ Tiong, Pua’ Sudung, Haji Ruslan mengaku kaget, seolah sulit percaya ketika mendengar kabar bahwa Rudy Alfonso calon Dubes RI untuk Portugal.
Buana malah tanggapi santai, “Wajar, sudah kelasnya memang.”
TL di Jakarta, santai tapi menajam. “Dilantik nanti itu. Kak Rudy memang sudah beres sejak kecil.” Kutipan ini cuitan Guru TL dalam perbincangan santai di WAG mambiE.
Hari ini, Rabu, 14 Juli 2021, tepat pukul 10.00 WIB s.d. pukul 12.00 WIB, Rudy Alfonso berada di Ruang Rapat Komisi I DPR RI, Gedung Nusantara II Paripurna DPR RI Lantai I, Jl Jenderal Gatot Subroto, Jakarta.
Rudy Alfonso hadir memenuhi surat undangan Pimpinan DPR RI dengan agenda Uji Kepatutan dan Kelayakan dalam rangka pemberian pertimbangan terhadap Calon Duta Besar (Dubes) Luar Biasa Berkuasa Penuh (LBBP) RI untuk Negara-negara Sahabat.
Rudy Alfonso sendiri akan menyampaikan Visi dan Misi selaku Calon Dubes LBBP RI untuk Republik Portugal di Lisabon.
Lelaki kelahiran di pegunungan Provinsi Sulawesi Barat ini juga akan menjawab serangkaian pertanyaan dari para Legislator di Senayan, Jakarta.
Jika tak ada aral, beberapa pekan — atau mungkin berbilang bulan — setelah agenda formal di DPR RI ini, Rudy bersama para calon Dubes untuk Negara-negara Sahabat lainnya, akan dilantik oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, sekaligus pelepasan ke tempat tugas masing-masing — jauh dari kampung halaman, ribuan mil jaraknya dari Indonesia.
Kurru’ Sumanga’ Pole Paraja
SARMAN SAHUDING