TRANSTIPO.com, Topoyo – Kampung tua ini tak tampak secara kasat mata saat melintas di jalan nasional, Mamuju – Palu. Di luar pagar pada pojok bangunan terlindung sebuah pohon, terdapat papan kecil yang diwarna diterakan tanda panah dan tulisan nama desa. Juga jarak ke desa itu: kurang lebih empat kilometer.
Dari arah selatan, Anda belok kiri menyusuri jalan berdebu yang padat dari timbunan tanah bebatuan. Datar, hanya beberapa ratus meter di awal yang lubangnya menganga tapi tak begitu dalam. Terlihat bergelombang saja, dan lebih panjang tampak rata.
Jika ditelisik dari dasarnya, jalan yang cukup dilalui kendaraan roda empat ini labil, air yang meluap dari selokan di dua sisi merendam basah jalan tanah lalu berlumpur dan licin. Begitulah kondisi jalan ini dulu atau sebelum pandemi Corona datang. Sebelum si lelaki tambun merubahnya.
Desa Kambunong
Mencapai desa ini saat ini hanya butuh 5 s.d. 10 menit. Jauh berbeda sebelum beberapa bulan yang lalu. Bisa sampai 30an menit, padahal jaraknya — dari jalan besar ke desa itu — kurang dari empat kilometer.
Sebelum sampai di pintu gerbang wisata salah satu desa tua di jazirah Mamuju ini, pandangan lebih dulu menangkap birunya laut. Rumah-rumah penduduk menyebar beraturan, mulai dari dekat pantai hingga di kaki bukit dengan pepohonan kelapa tinggi menjulang.
Di sepanjang jalan timbunan baru itu bersisian pemandangan yang kontras: di sisi kiri terhampar luas berpetak tambak ikan. Di bagian kanan tumbuh pohon sawit yang oleh penduduk sedang mengangkut buahnya dan ditumpuk di titik jalan yang lapang berdempet selokan.
Dari kejauhan, tampak rumah bertingkat berbilang jari dan separuhnya jadi rumah singgah burung walet.
Sabtu menjelang siang, 5 Desember 2020, sekitar pukul 11.00 WITA. Jalan desa ramai. Hampir di setiap halaman dan separuh jalan depan rumah penduduk desa, terpal kecil memanjang tergelar untuk mengeringkan rumput laut.
“Baru kali ini saya melihat langsung bentuk rumput laut yang masih basah. Baunya masih bau air laut,” kata Saiful (23 tahun), pemuda Mambi yang juga ikut tamasya ke destinasi Desa Kambunong, Kecamatan Topoyo, Kabupaten Mamuju Tengah (Mateng).
Hartati, seorang Ibu paruh baya, sedang membersihkan rumput laut miliknya yang tergelar di atas tempat pengering. Kepada transtipo, Ibu Hartati tersenyum seraya memberi keterangan pendek.
“Kalau panas begini, rumput laut bisa kering disiangi selama tiga hari. Tapi kalau cuaca tidak baik atau musim hujan, bisa sampai satu minggu baru kering.”
Magister Subri
Lelaki tambun berperawakan pendek ini sudah mulai matang, terlebih umurnya kini 31 tahun. Ia telah menikah sejak 9 September 2019.
“Saya menikah terbilang unik, dari segi waktu,” kata Subri seusai bertukar salam dan perkenalan pendek dengan kru laman ini.
Sabtu pagi itu, Subri sedang kedatangan tamu dari Dinas PUPR Pemerintah Kabupaten Mateng. Ia menyinggung kalau Kambunong akan diganjar dana pembangunan tak sedikit untuk pengembangan pariwisata desa, juga infrastruktur jalan.
“InsyaAllah tahun depan (2021) kami dapat program pembangunan dari kabupaten,” katanya.
‘Keunikan’ waktu pernikahan Subri yang serba ‘9’ itu, yang ia maksud karena dalam penanggalan Islam atau Hijriah, “Saya menikah itu tepat juga 9 Zulhijjah. Saya menikah di Masjid Syekh Yusuf Kabupaten Gowa.”
Perempuan pendamping Subri itu adalah seorang dara Bugis dari Gowa, Sulawesi Selatan (Sulsel). “Ia PNS di Kementerian Agama di Mamuju,” kata Subri menerangkan profesi istrinya.
Sejak sekolah di MAN Mamuju, Subri telah menggeluti aktifitas dakwah. Sepulang sekolah, ia habiskan waktu sore hingga malam mengajar mengaji anak-anak sekolah dasar dan lanjutan pertama.
Saban hari Jumat, Subri rutin jadi Khatib — baca Khutbah Jumat di pelbagai Masjid di Kabupaten Mamuju. Selepas MAN Mamuju, ia melanjutkan pendidikan strata satu (S1) di STAIN Parepare, Sulsel. Di kota niaga pula itu, ia meneruskan kuliah ke jenjang strata dua (S2) tepatnya di Universitas Muhammadiyah Parepare.
Gelar magister menjadikan aktifitas dakwah dan mengajar di sejumlah sekolah di Mamuju kian meningkat beberapa tahun belakangan ini. Lalu, menjelang pandemi datang, hidup Subri berbelok yang seolah melangkahi cita cintanya sebagai Guru — Guru Agama.
Sekitar Maret 2020, ia dipercaya sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Desa Kambunong. “Pas Covid-19. Jadi saya memimpin desa ini pas kencang-kencangnya covid,” cerita Subri.
Subri menyambut kru laman ini di atas batu karang yang indah. Di bawah teduhan daun kelapa, gemericik air laut menyelingi obrolan berbilang belasan menit belaka di Sabtu jelang siang itu. Setelah itu, ia kembali ke kerumunan orang — tetamunya dari Dinas PUPR Mateng yang berjarak hanya sepelemparan batu dari tempat wawancara singkat itu.
Subri datang membangun. Jalan berundak berlumpur sekitar tiga kiloan meter itu, ia telah timbun.
“Beberapa bulan lalu saya timbun jalan itu dari Dana Desa tahun 2020. Biayanya Rp270 juta. Panjang 2,8 kilometer. Dulu jalan itu rusak sekali. Parah. Seandainya belum ditimbun kak, bisa setengah jamki naik motor kesini,” urai Subri.
Ia melepas pandang ke tengah laut di Pantai Kambunong ketika pertanyaan mengenai ternak sapi yang berkeliaran di pantai.
“Banyak sekali PR-ku di sini. Perdesnya tidak ada, tapi drafnya sudah ada mengenai teknak. Supaya tidak liar begini.”
Dana Desa Kambunong tahun 2020 sebanyak Rp1.061.000.000 (satu miliar enam puluh satu juta rupiah). Ini diluar Alokasi Dana Desa (ADD).
Besar dana itulah yang akan dipakai Subri membangun 900 KK, 3.000-an jiwa, 1.800-an pemilih dengan hamparan potensi alam Kambunong yang luar biasa, masih terpendam. Budidaya rumput laut salah satunya. Ternak sapi dan kambing juga tak sedikit. Kebun kelapa dan sawit apalagi.
Terkait rumput laut, Subri bilang, “Harga rumput laut sekilo saat kering di sini main-main 14 ribu sampai 15 ribu. Ada pengumpul yang datang, lalu dibawa ke Makassar.”
Penduduk Desa Kambunong memanen rumput laut setiap 35 hari atau 40 hari. Desa ini tersebar di enam dusun.
Desa Kambunong memiliki potensi wisata yang beragam. Ada gunung batu — batu yang menyerupai kapal. Ada wisata reliji yakni Masjid bersejarah yang dibangun oleh Annangguru Imam Lapeo atau KH Muhammad Thahir.
Pantai Kambunong sudah familiar bagi banyak orang. Air terjun Kabbaja.Tanjung Patagang dengan pasir putihnya yang indah. Dari tempat wawancara, meski jauh, pasir putih yang dimaksud Subri tampak mengilap di bibir pantai seberang. Pohon Bakau juga ada di mana-mana.
Batu karang jangan ditanya. Unik, bisa dijadikan tempat berkumpul bersama keluarga sambil melepas pandang ke laut.
Sayang sepanjang pantai ini berserakan sampah — sampah dari bahan plastik terutama.
Pelaksana tugas tentu tak bakal lama. Tapi pemilihan kepala desa tak lama lagi digelar. “Mungkin pertengahan tahun depan. Tepatnya saya belum tau,” singkat Subri.
Pekerjaan rumah Subri memang bejibun. Lelaki tambun ini mesti kerja keras, selain agar lemak di badannya berkurang, juga harus memenangi Pilkades nanti.
Kambunong bersyukur. Subri telah pulang. Bukti nyata telah dimulai. Ini belum apa-apa.
Selamat bekerja penyiar Qalam yang damai dan sejuk, yang di atas kepala menumpuk impian prospek untuk daerah dan masyarakat pinggiran di dekat laut yang berombak landai.
SARMAN SAHUDING