Oleh : Dr. Muslimin, M.Si
PILKADA serentak 2018 akan digelar di 171 daerah di Indonesia—termasuk pemilihan gubernur di 17 provinsi. Pelaksanaan pilkada hanya satu putaran dan tidak ada pemungutan suara ulang terkait dengan perolehan suara.
Ketua KPU Arif Budiman menyebut bahwa hanya provinsi DKI Jakarta yang memiliki aturan berbeda; dalam aturan di pilgub DKI, putaran kedua bisa terjadi apabila suara calon kepala daerah tidak di atas 50%. Hal itu tercantum dalam PKPU Nomor 6 Tahun 2016.
“Pilkada 2018 satu putaran. UU sudah putuskan 1 putaran,” kata Arif Budiman di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis, 11 Januari 1 2018. (Andhika prasetia.detikNews)
Dari pernyataan dan regulasi yang disampaikan di atas, maka persaingan para kompetitor dalam mendulang suara pemilih akan semakin ketat dan bukan tidak mungkin gesekan-gesekan antarpara pendukung bisa saja terjadi.
Untuk kesekian kalinya kita menyeruakan agar pilkada yang akan digelar nanti betul-betul menjaga esensi dan roh demokrasi dengan mengedepankan kepentingan masyarakat dan menjauhi kampanye yang berbau SARA.
Masyarakat harus mampu menggunakan hak pilihnya secara cerdas dengan melihat rekam jejak karakter serta visi misi calon kepala daerah.
Para calon kepala daerah dan tim pemenangannya bertanggung jawab untuk memilih dan merumuskan tema kampanye yang mengedukasi para calon pemilih dengan tema-tema yang produktif—substansi yang berkaitan langsung dengan nilai manfaat hajat hidup masyarakat dan menjauhkan tema-tema yang bisa memancing unsur-unsur SARA yang justru membahayakan tatanan sosial masyarakat secara umum.
Semua pihak harus menyadari bahwa pilkada yang akan datang sejatinya adalah melahirkan pemimpin yang berkualitas, di mana setiap kandidat dalam proses kampanye akan selalu menghadirkan perang program serta adu visi misi.
Dengan cara ini, tentu masyarakat akan mendapatkan informasi lengkap mengenai siapa yang dianggap pantas dan mampu menjadi kepala daerah.
Menjadi Pemilih Cerdas
Pemilih cerdas adalah pemilih yang rasional, obyektif—memilih berdasarkan penilaian dirinya, bukan karena dorongan uang, saudara, suku, agama, dll.
Dengan menetapkan diri sebagai pemilih cerdas tentu memilih bukan sekedar asal memilih, tapi berdasarkan kriteria pilihan, seperti bagaimana integritasnya, komitmennya, dedikasinya dan menguasai berbagai masalah rakyat dan bertanggung jawab pada daerah serta aspiratif terhadap rakyatnya.
Pemilih cerdas, rasional dan obyektif itu adalah pemilih yang memiliki hubungan emosional, bukan hubungan transaksional. Maka pemilih cerdas itu pasti akan memelihara, melindungi dan menyayangi bahkan tidak membebani calonnya.
Untuk menjadi pemilih cerdas, obyektif dan rasional tentu tahu apa yang harus diperbuat jika calonnya menang dan akan mengawal agar janji-janji politiknya dapat dilaksanakan dengan baik.
Kemudian bagaimana masyarakat memilih dengan cerdas?
Memilih dengan cerdas berarti memilih dengan menggunakan akal sehat dan hati nurani. Memilih dengan akal sehat berarti kita memilih dengan penilaian yang obyektif tanpa dipengaruh oleh faktor yang lain.
Memilih dengan hati nurani berarti kita memilih dengan bertanya pada hati nurani kita siapa sebetulnya calon yang betul-betul serius untuk membangun rakyatnya, bagaiman moral dan etikanya, bagaimana kualitas intelektualnya dan keterampilan profesional yang di milikinya.
Kesadaran pemilih tentang perlunya mencermati secara cerdas para kandidat adalah kunci utama terpilihnya pemimpin yang akan bisa mengatasi persoalan rakyat. Pemilih cerdas tentu akan melahirkan pemimpin yang berkualitas, pemimpin yang mampu mengantarkan ke kehidupan yang lebih baik.
Memilih pemimpin yang berkualitas sejatinya adalah memilih pemimpin untuk perbaikan nasib dari pemilih itu sendiri.