Lambang Partai Golkar. (Foto: Net.)

BENDERA-bendera kuning berkibar-kibar di pinggiran jembatan layang Kuningan, Senayan, Pancoran, dan sejumlah tempat di ibukota hari-hari ini. Ratusan bendera yang diikatkan ke batang-batang aur dan dipasang berjejer di pagar jalan.

Entah kenapa Partai Golkar terasa begitu jumawa akhir-akhir ini. Seusai menyatakan dukungan dini kepada Presiden Joko Widodo, partai ini kembali ke posisinya yang biasa: hanya bisa berasyik-masyuk dengan kekuasaan.

Rasanya baru kemarin, partai ini hampir bubar bersama inang yang membesarkannya: Soeharto dan segenap tentakel Orde Baru. Reformasi 1998 sejatinya menguburkan Golkar ke dalam kenangan sejarah masa lalu bangsa Indonesia.

Di tahun 1999 tim sebelas — yang dibentuk seusai diundangkannya paket undang-undang politik baru dan bertugas mempersiapkan penyelenggara pemilihan umum — bahkan membahas rencana pembubaran Golkar.

Tim sebelas yang di antaranya Nurcholis Madjid, Miriam Budiardjo, Adi Andojo Soetjipto, Andi Alifian Mallarangeng, dan Adnan Buyung Nasution bahkan harus menempuh voting.

Gagasan ini semula dikemukakan Adi Andojo dan didukung Adnan Buyung. Menurut Buyung, Golkar harus dibubarkan mengingat kesalahan dan dosanya di masa lalu yang telah mendukung dan melegitimasi demokrasi Pancasila Soeharto yang diktator, otoriter dan represif.

Namun, gagasan itu terhenti. Adi dan Buyung kalah voting 2 melawan 9.

Dua tahun kemudian, Presiden Abdurrahman Wahid bahkan hampir saja mengeluarkan surat pembubaran Partai Golkar. Di Jawa Timur bahkan ada pembakaran kantor partai. Pada 15 Juli 2001 massa mahasiswa berkumpul di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Mereka meneriakkan tuntutan kepada Presiden Gus Dur untuk membubarkan Partai Golkar, dan mempercepat pemilu tanpa keikutsertaan partai itu.

Begitulah. Kendati berjumpalitan, partai ini selamat sampai kini. Bangsa ini sungguh pemaaf dan juga pelupa. Presiden Jokowi juga lupa: Partai Golkar begitu sarat dengan cerita pengingkaran.

Menjelang bulan Maret tahun 1998, Ketua Umum Golkar, Harmoko, menyatakan partainya telah bertanya kepada seluruh rakyat Indonesia dan menerima jawaban: rakyat menghendaki Soeharto kembali menjadi Presiden RI.

Tapi kurang dari seratus hari kemudian, Harmoko pula yang meminta Soeharto untuk berhenti. Dan sang pendiri partai yang sudah bertahta 32 tahun lamanya pun mengakhiri kekuasaannya.

Masih terngiang-ngiang sumpah setia petinggi Partai Golkar untuk seiya-sekata dengan pemerintahan SBY periode 2009-2014. Tapi SBY tak sepenuhnya menuai ikrar itu. Dalam sejumlah hal Partai Golkar malah berseberangan dengan dirinya.

Jokowi sendiri telah mengalaminya dalam peristiwa kebetulan yang kecil. Di tahun 2003, dua tahun sebelum jadi walikota Solo, ia berhaji ke tanah suci. Pada sebuah foto yang beredar dua tahun lalu Jokowi mengenakan pakaian ihram di tenda Padang Arafah bersama rombongan, satu di antaranya Tantowi Yahya yang kelak jadi anggota DPR dari Partai Golkar.

Sebelas tahun kemudian, saat kampanye pemilihan presiden sedang sengit-sengitnya, beredar isu bawah tanah bahwa Jokowi adalah non-muslim, anak keturunan Cina Singapura, putra komunis, dan sebagainya.

Isu itu begitu santer dan dipercayai banyak orang, tapi Tantowi Yahya yang juru bicara koalisi lawan Jokowi sama sekali tak bersuara. Ia jauh dari kerelaan seorang John Mc Cain yang menegur pendukungnya yang meragukan agama yang dianut sang seteru, Barack Obama, saat persaingan mereka pun sedang di puncak sengitnya. John McCain menegur seorang pendukung hanya karena menyebut Obama dengan nama lengkapnya — Barack Hussein Obama, berbau Islam — dengan menyatakan hal itu sebagai “kurang tepat”.

Begitulah. Jokowi menjadi presiden, dan Partai Golkar pun lompat pagar. Seusai perseteruan yang sengit Aburizal Bakrie dan Agung Laksono, kini Partai Golkar seolah lahir kembali di bawah Setya Novanto — lelaki yang selalu berkibar di setiap zaman, yang namanya kerap disebut dalam banyak kasus, dari yang terang sampai yang remang-remang.

Nama Setya Novanto terungkap di pengadilan — oleh saksi dan terdakwa — karena terlibat di kasus besar seperti cessie Bank Bali dan korupsi dana penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional XVIII di Riau, dan KTP elektronik.

Lalu terakhir, ia dipanggil kejaksaan dalam kasus Papa Minta Saham, kasus yang menjungkalkannya dari kursi Ketua DPR. Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto selamat dari semua perkara itu kendati khalayak mencium aroma bau sangit perselingkuhan hukum.

Sodara-sodara, sebangsa dan setanah air. Perjalanan Partai Golkar dan orang-orangnya menunjukkan, partai ini sungguh mapan dan licin. Di dua tahun periode jabatan Presiden Jokowi, Partai Golkar dan sisa kekuatan Orde Baru kini kembali dengan sifat dasarnya: menempel dan menjadi benalu di kekuasaan orang lain.

Partai Golkar hendak berkuasa kembali melalui Presiden Joko Widodo, kader PDI Perjuangan, partai yang puluhan tahun tersisih di era gemilang Orde Baru dan bertahan lalu jadi pemenang berkat keteguhan sang ketua umum untuk melawan dan tetap berdiri di luar gelanggang.

Mungkin itu sebabnya ketika Joko Widodo hendak datang dan menerima ikrar dukungan di Rapimnas Partai Golkar akhir Juli 2016, Megawati Soekarnoputri perlu turun sendiri mengawal sang presiden. Agar kadernya itu tak terbuai janji-janji politisi, tak hanyut oleh derasnya puja-puji, tak silau oleh kemilau warna kuning, tak terlelap oleh sepoi-sepoi angin dari celah pohon beringin.

Politik di negeri ini ibarat samudera luas dan Megawati telah mengarunginya. Ia sungguh kenyang asam garamnya. Ia tahu benar rupa-rupa sandungan, terutama dari orang-orang Partai Golkar!

TOMI LEBANG
Jakarta, 10 Agustus 2016

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini