Palimping Mambi, Jejak Bisu 60 Tahun di Tanah Rantau

1460
Di antara sosok di foto ini adalah seorang lelaki kelahiran Mambi, Palimping Gani alias Abdul Azis Enang (Bandung). (Foto: Istimewa)

TRANSTIPO.com, Jakarta – Pesan itu terselip di kotak pesan saya, tertanggal 19 Januari 2021. Dari seorang perempuan bernama Yuni. Ia mengenalkan diri sebagai putri dari ayah yang berasal dari Mambie — nama yang benar dari Mambi, kampung kelahiran saya.

“Saya mencari kerabat atau saudara mendiang ayah saya yang meninggalkan Mambi tahun 1960-an,” tulisnya.

Ia tak menyebut nama ayahnya, juga tak tahu nama keluarga yang dicarinya. Dan saya juga sedikit ragu karena ia menyebut kampung yang dicarinya “Bugis Mambie”.

Hanya sebatas itu. Tak ada lagi pesan berikutnya, sampai kemarin malam — satu setengah tahun seusai perkenalan melalui kotak pesan itu — Yuni berkabar dengan gembira.

“Masih ingat saya yang dulu mencari keluarga saya yang di Mambi? Alhamdullillah, atas kebesaran Yang Maha Kuasa, saya sudah menemukan keluarga besar almarhum ayah.”

Dan inilah kisahnya. Kisah mencari kerabat di kampung yang jauh. Kisah seorang putri yang menyambungkan lagi tali kerabat yang pernah hilang.

****

Alkisah, menjelang tahun 1960, saat Mambi masih berupa kampung kecil di tengah hutan gunung belantara, pemuda Palimping Gani meninggalkan kampung halamannya ke negeri antah berantah. Ia meninggalkan Mambi yang saat itu masih begitu gelap, penduduk yang jarang, dan kerap diganggu gerombolan perompak kampung. Entah bagaimana awalnya, begitu merantau, pria kelahiran 1941 ini menanggalkan nama aslinya dan menjumput identitas baru sebagai Abdul Azis Enang.

Palimping alias Abdul Azis beruntung diangkat anak seorang tentara, bahkan ia juga masuk TNI Angkatan Darat. Pada tahun 1963, Azis diketahui tinggal dan bertugas di Tapin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Di sana pulalah ia menikah dengan perempuan asal Bandung yang memberinya lima anak, salah satunya Yuni — perempuan yang kelak saya kenal melalui media sosial ini.

Di tahun 1985, Azis pindah tugas dan memboyong keluarganya ke Bandung, Jawa Barat.

Selama perantauannya itu, istri dan lima anaknya tak pernah mendengar keinginan Azis untuk pulang kampung. Hanya Yuni seorang, putri keempatnya, yang kerap mendengar kisah-kisah dari sang ayah tentang Mambi yang terpencil nun di pedalaman Sulawesi. Desanya itu, kata Azis, begitu tidak aman, sering diganggu gerombolan, dan untuk mencapainya harus berjalan kaki berhari-hari lamanya menembus belantara.

“Pulang ke sana, mau datang ke siapa? Sanak saudara sudah tidak tahu di mana keberadaannya setelah peristiwa gerombolan menyerang kampung. Mereka semua bercerai berai entah ke mana,” begitu selalu jika ditanya mengapa tak pernah berniat kembali.

Mambi sungguh jauh, bahkan dalam lamunan Yuni sendiri.

Lalu tahun demi tahun pun berlalu. Masa berganti. Azis pensiun dan kian sepuh, anak-anaknya semakin dewasa.

Sampai suatu hari, di tahun 2010, Azis jatuh sakit. Dan dalam sakitnya itu, ia tiba-tiba menyampaikan kerinduannya pada kampung halaman.

“Bapak ingin pulang ke Mambi,” katanya, menerawang. Tapi ia tahu, dalam sakitnya, keinginan itu tak mungkin terwujud. Bagaimana hendak ke kampung nan jauh di gunung yang terakhir dijejak setengah abad silam, dengan sanak keluarga yang tak tahu rimbanya, dalam keadaan sakit di usia renta?

Kepada Yuni, ia berpesan, “kalau pun Bapak tak sempat pulang, suatu saat nanti kamulah yang ke kampung Bapak mencari sanak keluarga”.

Dua bulan kemudian, Azis berpulang. Yuni tenggelam dalam duka. Pesan ayahnya tinggallah jadi wasiat belaka, entah kapan bisa diwujudkannya.

“Bagaimnaa mungkin saya seorang perempuan bisa ke kampung Bapak yang jauh di seberang lautan sementara saya tidak tahu di mana itu Mambi, siapa siapa saja keluarga Bapak?”

Selain itu, ia tak tahu bagaimana harus bepergian jauh ke tempat tak tentu arah, “dengan keterbatasan ekonomi keluarga saya saat itu.”

Impian untuk mencari kerabat tetap dipendamnya dalam-dalam. Lagipula, bukti tentang keluarga ayahnya hanya berupa selembar foto hitam putih berukuran kartu pos yang sudah kusam. Di foto itu ada empat pria kakak beradik, salah satunya adalah ayahnya di masa muda. Nama-nama pria itu tertera di balik foto. Hanya itu.

Di lain waktu, Yuni menemukan sehelai ijazah sekolah ayahnya yang bertuliskan nama sekolah: Sekolah Rakyat Negeri 6 Mambie yang dikeluarkan tahun 1955.

Foto hitam putih dan ijazah itu kemudian dipajangnya di Facebook, berharap kalau-kalau seseorang dari Mambi akan mengenali dan menghubunginya.

Sekian hari, bulan, dan tahun, tak ada jawaban. “Semua masih bayang bayang. Saya hampir putus asa,” kata Yuni.

****

Begitulah. Lalu pandemi datang menghentak negeri. Yuni yang bekerja sebagai tenaga kesehatan di Bandung kian sibuk.

Saat pandemi kian melandai, tahun ini, ia mendapatkan cuti Lebaran. Kesempatan itu tak dibiarkannya berlalu begitu saja. Ini saatnya mencari kerabat ayahnya langsung ke seberang lautan.

Pada tanggal 3 Mei 2022, sehari setelah merayakan Idulfitri, dari Jakarta, Yuni terbang ke Makassar ditemani putranya semata wayang. Ia mengenal seorang keluarga tentara di Gowa, tak jauh dari Makassar sebagai tujuan pertama. Di sanalah ia dipertemukan dengan seorang polisi yang pernah bertugas di Mambi.

Dari Gowa, Yuni ke Mamasa, kota kabupaten terdekat ke Mambi.

Sang polisi inilah yang kemudian menelusuri kerabat Yuni melalui jaringan kantor polsek.

Pada 8 Mei 2022, Yuni mendapat kabar yang rasanya sudah seratus tahun dimimpikannya: “Keluarga saya sudah diketahui keberadaannya dan saya diminta segera ke Mambi.”

Saat itu perasaan tak karuan memenuhi dirinya, mengambang antara haru dan gembira. Kakinya seperti tak berpijak ke bumi. Ia tengah berada 48 kilometer dari kampung mendiang ayahnya. Dari kerabat dan sanak keluarga yang tak pernah dikenalnya semenjak lahir.

Hari itu, pukul empat sore, ia dan putranya pun berangkat ke Mambi. Perjalanan menembus gunung dan lembah, longsor di sana sini, sebagian jalan beton sebagian berupa kubangan lumpur, tak begitu dirasakannya lagi.

Pukul delapan malam, ia tiba di Mambi, langsung ke kantor Polsek. Di sana, orang-orang Mambi yang tak dikenalnya sudah menunggu. Keluarga ayahnya.

Dan selanjutnya adalah isak tangis bahagia. “Ingin rasanya menjerit sejadi-jadinya ketika saya bertemu dengan mereka,” kisah Yuni. Ia menangis. Saudara-saudaranya, sepupu-sepupunya, menangis. Mereka menemukan kembali serpihan darah daging yang hilang.

Ayah Yuni sudah berpulang 12 tahun lalu. Saudara kandung ayahnya pun sudah tiada. Tapi anak-anak mereka masih saling mengingat dan menyimpan dalam-dalam di memori tentang seorang paman yang meninggalkan Mambi jauh sebelum mereka lahir dan tak tentu rimbanya. Sampai Yuni datang dan menyambungkan kembali rantai yang terurai.

Hampir sepekan lamanya Yuni tinggal di antara keluarganya. Sepupu-sepupunya. “Semua ketemu.. Satu kampung keluarga saya semua. Sepupu satu kali, dua kali, tiga kali… semuanya.”

Di Mambi pula baru ia tahu, nama asli ayahnya bukanlah Abdul Azis, tapi Palimping Gani. Dengan begitu, nama Yoeni Azis yang disandangnya selama ini adalah Yuni Palimping Gani.

Tuntas sudah ia melaksanakan wasiat mendiang ayahnya.

*****

Kemarin, saat Yuni menyampaikan kabar gembira tentang keluarganya itu, saya bertanya, siapa gerangan nama-nama sepupunya di Mambi itu. Dan betapa sempitnya dunia, mereka adalah teman-taman kecilku. Saya mengenal mereka sebagai keluarga Tongguru Amri, ayah dari Aco Mea, Rukmita, sahabatku sedari kecil Rukmalati, Pane, dll….

Mereka adalah sepupu-sepupu Yuni. Sahabat-sahabatku sedari kecil. (Sumber FB Tomi)

TOMI LEBANG

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini