SAYA datang untuk menetap di Jakarta pada akhir Maret yang suram di tahun 2000. Kantor saya di Jalan Proklamasi, Pegangsaan-Menteng, Jakarta Pusat. Dan dengan gaji minim, saya memilih indekos di satu bangunan reot seratusan meter dari seberang kantor.
Reot tapi istimewa: tepat di seberang Tugu Proklamasi, tempat dulu Soekarno berdiri dan membaca teks kemerdekaan. Jalan itu dulunya dikenal sebagai Jalan Pegangsaan.
Kamar saya sempit di bawah sayap bangunan tambahan. Bentuknya trapesium. Ujung luar 2,5 meter, ujung dalamnya tak lebih dari dua meter. Dan kamar saya itu, tepat di bawah ranjang di bagian kepala, masih ditumpangi pompa air otomatis.
Kawan saya Adi Prast di kamar sebelah rajin beribadah. Setiap kali mengambil wudhu untuk sholat malam di kamar mandi belakang, pompa air itu berbunyi, bergetar dan meninggalkan denging di kuping saya yang terbangun dari lelap di atasnya.
Kamar saya itu bersisian dengan pekarangan. Ada jendela nako yang kerap diketuk oleh peminta sumbangan yang bebas nyelonong ke halaman.
Kaca jendela kerap saya buka di dinihari jika kegerahan. Dari jendela itu pula, saya bisa memandang patung Soekarno dan Hatta di taman Proklamasi di seberang.
Suatu tengah malam, mungkin dinihari, hujan lebat mengguyur kawasan Pegangsaan. Tidurku lelap. Tidur penghuni kos lainnya juga. Penjaga kos entah di mana. Pagi harinya kami semua gempar: pintu pagar tua dari besi telah lenyap digondol maling.
Sejak itu, kamarku sungguh-sungguh bebas, jendela nakonya berbatas halaman tak berpagar ke keramaian Jalan Proklamasi.
Lalu satu per satu penghuni kos pindah tempat.
Mungkin karena itulah, saya tak pernah benar-benar mengenang masa tinggal yang indah di seberang Tugu Proklamasi, tempat Soekarno dulu memproklamirkan kemerdekaan bangsa ini.
Tinggal berseberangan dengan jejak bersejarah itu, saya malah belum merdeka. Setidaknya tak pernah bebas dari getar suara pompa air yang mengagetkan di tengah malam dan meninggalkan denging di telinga.
Dirgahayu Republik Indonesia. Merdeka, sekali lagi!
TOMI LEBANG