Kiai Mamuju Raih Gelar Doktor dari Kampus UIN Alauddin

1405
DR. KIAI HAJI AHMAD MULTAZAM DI LOMBANG-LOMBANG, MAMUJU, SULAWESI BARAT, JANUARI 2025. (FOTO: SARMAN SHD)

TRANSTIPO.com, Makassar – Terentang waktu yang panjang dan jarak yang jauh dari eksistensi Rasulullah Muhammad SAW ke zaman kita kini di Indonesia.

Rasul Muhammad hidup bertempat tinggal di Mekkah, Arab Saudi (570 s.d. 632 M). Kita hari ini dengan masa kehidupan Baginda, sekitar 1.395 tahun yang lampau dari sekarang.

Jarak Indonesia — tempat kita, negeri kita — dengan tempat Rasul Khatam an-Nabiyyin (penutup para Nabi) di Mekkah tak kurang 5.215 mil atau 12.276 km.

Ajarannya Islam yang diterima dari Allah SWT lalu disampaikan ke seluruh dunia, dibantu para sahabat-sahabatnya (Khullafaur Rasyidin, khalifah yang dibimbing langsung oleh Rasulullah Muhammad sebagai Rasul, utusan Allah).

Kita di Indonesia, khususnya di Provinsi Sulawesi Barat, menerima ajaran Islam — yang kemudian menjadikan kita beragama — tidak langsung dari Baginda Nabi, tidak pula melalui para Sahabat-Sahabat beliau.

UJIAN PROMOSI DOKTORAL KIAI AHMAD MULTAZAM DI KAMPUS UIN ALAUDDIN, SELASA, 27 MEI 2025. (FOTO: SARMAN SHD)

Islam kita ketahui berkat suluh dan ajaran dari para Ulama-Ulama yang menyiarkannya ke daerah-daerah, hingga ke Lombang-Lombang dan kampung-kampung lainnya.

Ulama dikenal sebagai pewaris para Nabi. Dari merekalah kita tahu dan yakini Islam sebagai sebuah kebenaran mutlak.

Di kawasan Mandar, Sulawesi Barat, KH Muhammad Thahir atau Imam Lapeo (1839 s.d. 1952) dikenal seorang Ulama yang mendedikasikan hidupnya belajar Islam lalu mengajarkan Islam itu ke jazirah Mandar, dan banyak tempat di Pulau Sulawesi.

Imam Lapeo menuntaskan hidupnya di masa tua penganjur Qalam Tuhan. Membangun Masjid. Surau. Langgar. Mengajarkan Islam yang moderat. Santun. Teguh pada prinsip KeIlahian. Soal agama (sebagai kebenaran), Imam Lapeo berdiri tegak.

Beliau bersandar pada Mazhab Imam Syafi’i. Islam dengan karakter Ahlussunnah wal Jama’ah. Beliau menguasai ilmu Tassawuf, dengan Thariqah Syadziliyah dan Thariqah Naqsyabandiyah. Murid-muridnya tak terbilang, tak hanya di kawasan Mandar bahkan hingga ke Madura, Jawa Timur.

Doktor Qalam ke-1.420

Imam Lapeo bersama para istrinya lalu beranak pinak. Salah seorang anak-cucunya adalah Kiai Ahmad Multazam (40an tahun). Belasan tahun belakangan ia bermukim di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat.

DOKTOR KIAI AHMAD MULTAZAM. (FOTO: SARMAN SHD)

Tersebutlah sebuah kampung tua di bilangan pesisir pantai, Lombang-lombang. Berada di Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju. Hanya berjarak berpuluh langkah dari jalan poros Sulawesi di Lombang-lombang berdiri bangunan pesantren yang menempati lahan luasnya sekitar 1 ha.

Nama lembaga pendidikan bercorak keIslaman itu Pondok Pesantren Salafiyyah Attahiriyah Annahdhiyah, Jl Poros Kalukku, Lingkungan Lombang-Lombang.

Kiai Multazam — sapaan akrabnya — tak hanya berdiam di pondok. Ia keliling Indonesia ceramah agama. Waktu Ramadhan lalu misalnya, jadwalnya nyaris tak tersisa sehari pun untuk tinggal di rumah (Lombang-Lombang). Ia mengitari banyak Masjid di Sulawesi Barat untuk ceramah Tarwih.

Di tahun 2025 ini saya beberapa kali menemuinya di pondok itu. Beliau tak pernah cerita sedang sekolah Doktoral (S3).

Pada Sabtu malam, 24 Mei, sekitar pukul 20.00 Wita, saya mengirimkan kabar dalam pesan pendek, dan sejurus dengan itu Kiai Multazam balas disertakan undangan menghadiri Promosi Doktor yang akan dilaksanakan pada Selasa, 27 Mei, di Lt 1 Gedung Pascasarjana UIN Alauddin, Gowa, Sulsel.

Masih pagi ketika saya mengemas diri, berkegiatan di ujung Kota Makassar, dan setelahnya melintasi Jl Syekh Yusuf Al-Makkasari di mana di jalan itu terdapat Masjid Tua di Sulawesi Selatan: Masjid Katangka dibangun pada tahun 1603 atas prakarsa Waliullah Syekh Yusuf bersama para Raja di Gowa.

Setelah ibadah siang, saya telusur jalan hingga ke daerah Samata, tempat kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin berada.

Di depan lantai dasar gedung Pascasarjana UIN, tersampir berbilang jemari karangan bunga ucapan selamat kepada (Doktor) Kiai Multazam.

Saya tiba di ruang tempat ujian terbuka promosi doktor beberapa menit sebelum acara dimulai.

Tepat pukul 14.00 Wita, 7 orang penguji berpakaian sipil resmi dengan toga di kepala memasuki ruangan. Salah seorang di antaranya bertindak selaku pimpinan sidang.

DOKTOR SYAHRUL (KANAN). (FOTO: SARMAN SHD)

Terlebih dulu Kiai Ahmad Multazam diberi kesempatan selama belasan menit menyampaikan kajian hasil penelitiannya yang telah dirangkum dalam (buku) Disertasinya. Buku kecil bersampul warna merah pekat itu dibagikan kepada semua peserta yang ada di ruangan.

Lampu di depan seorang pemandu acara (MC) belum menyala selama Promovendus Ahmad Multazam mengelaborasi kajian akademiknya. Diteruskan puluhan pertanyaan dari penguji dan dijelaskan tuntas oleh Multazam.

Interupsi pertama dari penguji meminta agar Ahmad Multazam menerangkan sosok atau nama asli Imam Lapeo: KH Muhammad Thahir.

Dari sekian banyak pertanyaan, terdengar berat bagi Multazam seputar dimintanya menjelaskan hasil penelitian sebagai aktualisasi nilai-nilai Ajaran Imam Lapeo di tengah masyarakat. Walau begitu, yang tampak kerap memejamkan mata, ia urai perlahan dan mendalam.

Dari titik ini, dan seterusnya, meski pertanyaan masih terus berlangsung, lampu di atas meja MC telah menyala. Oleh pimpinan Sidang Promosi Doktor, Prof. Dr. Hasyim Haddade, M.Ag menyambut sinar terang dari cahaya lampu di ruangan itu: Anda telah lulus dan layak menyandang Doktor.

Di ujung sambutan penutupan acara di Selasa sore itu, salah seorang penguji menyebut bahwa Ahmad Multazam tercatat sebagai Doktor ke-1.420 di kampus UIN Alauddin Makassar, Sulsel.

Doktor Muda Syahrul dan Kiai Sahabuddin

Sekolah doktoral Ahmad Multazam sebenarnya kelar pada Senin, 13 Januari 2024. Ketika itu ia berhasil mempertahankan Disertasinya dalam Sidang Ujian Tertutup.

Disertasinya berjudul Aktualisasi Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Ajaran Imam Lapeo pada Majelis Zikir Attahiriyah Kabupaten Mamuju.

Sembilan figur akademik sebagai Promotor dan Penguji untuk Disertasi Kiai Multazam telah bubuhkan tanda tangan di lembar persetujuan (dan kelulusan).

Maka pada Selasa, 27 Mei di kampus Samata itu, Kiai Multazam diuji secara terbuka atau Ujian Promosi untuk gelar doktoralnya secara resmi.

Sang Promovendus ketika dipersilakan duduk di tempat ujian, selanjutnya berdiri di podium pakai mic, ia diminta menghadirkan seorang pendamping.

Kiai Multazam lalu menyilakan seseorang maju mendampinginya. Sosok muda bertubuh kecil yang duduk di belakang saya berdiri lalu maju ke meja yang dimaksudkan sang penguji.

Pemuda ini adalah Doktor Syahrul. Masih muda kisaran 30an tahun. Gelar akademik yang disandangnya seolah melampaui bobot visual badannya, itu yang hadir di benak saya ketika mendengar nama dan gelarnya disebut.

KIAI HAJI SAHABUDDIN KASIM (KANAN).

Saat acara promosi doktoral Kiai Multazam, terdapat puluhan orang yang hadir, ada kerabat yang datang dari Sulbar dan yang di Makassar. Semua takzim menyaksikan kiai yang cucu Imam Lapeo itu mempertaruhkan kemampuan akademiknya di ruang perpendingin pada Selasa petang itu.

KH Sahabuddin Kasim, Kepala Kemenag Sulbar yang pertama hadir dan diminta secara khusus oleh pimpinan sidang penguji menyampaikan testimoni pendek kepada Multazam. Kiai Sahabuddin pun berbicara singkat.

“Saya bangga pada ananda (Multazam), saya dulu yang angkat dia jadi PNS (di lingkungan Kemenag Sulbar),” puji kiai Sahabuddin.

Ia menilai Multazam mampu mengembangkan ilmu agama (Islam) lebih luas lagi. Ia juga seorang Muballiq yang kondang.

Di saat ini, apalagi setelah gelar doktornya itu, Sahabuddin bilang bahwa Multazam adalah seorang doktor yang mengajar di sekolah Madrasah (MTs).

Secara jujur kiai Sahabuddin, yang menyaksikan seksama proses ujian terbuka ini, mengakui bahwa anak cucu Imam Lapeo ini lulus dari ujian oleh penguji secara obyektif, dijawab tuntas, mendalam.

Selamat, pak Kiai Multazam.

SARMAN SHD

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini