Oleh: Muhammad Zakir Akbar
Kekalahan selalu saja membawa luka dan duka. Tapi, setiap kekalahan sesungguhnya memberikan pelajaran tiada tara.
DALAM sejarah peradaban Islam, salah satu kekalahan paling menyakitkan terjadi ketika Perang Uhud (625 Masehi, 3 Hijriyah). Bukan hanya karena kematian paman Rasulullah SAW, Hamzah AS (Alaihi As-salam), melainkan pula karena syahidnya para penghafal Al Qur’an.
Kemenangan yang telah hadir di depan mata, tiba-tiba berubah menjadi kekalahan. Ketidakpatuhan atas perintah Rasulullah SAW agar para pemanah tak meninggalkan posisinya, dan godaan atas ghanimah (rampasan perang) dituding menjadi penyebab utama keberhasilan pasukan kaum Musyrikin yang dipimpin oleh Khalid Bin Walid memukul mundur pasukan Muslimin.
Meskipun belakangan hari kemudian, Khalid Bin Walid memeluk Islam dan diberi gelar “pedang Allah”.
Begitulah. Itu dalam sejarah.
Di dunia barat, salah satu catatan kelam tentang kekalahan adalah nasib yang menimpa John Milton, Gubernur Florida USA pada masa Pemerintahan Presiden Abraham Lincoln. Kala itu, penyerahan diri Jenderal Robert Lee yang memimpin pemberontakan negara-negara bagian di selatan USA tak disetujui oleh John Milton.
Dia juga tak bisa menerima kemenangan Abraham Lincoln pada pemilu berikutnya. Akibatnya, John Milton mengakhiri hidupnya dengan menembak kepalanya sendiri setelah sebelumnya menuliskan ketidaksetujuannya itu pada sepucuk surat yang ditujukan pada anaknya.
Sungguh banyak contoh yang dicatat oleh sejarah tentang sakitnya kekalahan. Tapi, sejarah juga menyajikan jamak kisah kebangkitan dari kekalahan demi kekalahan.
Kiranya belum lekang diingatan kita tentang sebuah peristiwa yang disebut sebagai “tragedi Istanbul”. Liverpool yang telah tertinggal 0-3 dari AC Milan pada paruh pertama final Liga Champion 2005, akhirnya dapat membalikkan keadaan.
Kemal Attaturk Stadium menjadi saksi kebangkitan dari kekalahan. Konon, di ruang ganti pemain, salah satu penggalan kalimat dari Rafael Benitez pada anak asuhnya adalah “… Jangan tundukkan kepala kalian. Kalian tak pantas menyebut kalian pemain Liverpool kalau kepala kalian tertunduk…”
Begitu pula ketika Hiroshima dan Nagasika dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat pada 1945 yang menewaskan sedikitnya 120 ribu jiwa penduduk Negeri Sakura. Kekalahan yang diderita Jepang memicu para pemimpin negeri itu untuk bangkit.
Sekitar 25 tahun kemudian, giliran Jepang yang “membom” USA dengan produk-produk teknologi tinggi seperti toyota, sony, toshiba, dan sebagainya.
Kalah dan menang adalah sungguh hal yang biasa. Kalah dan menang adalah siklus kehidupan yang akan selalu dihadapi. Kalah dan menang selalu memiliki resikonya sendiri-sendiri.
Lihatlah betapa banyak orang yang dapat menyatu dan bersatu dalam suatu periode kekalahan yang dideritanya. Tapi, tak sedikit cerita kemenangan yang berakhir lebih tragis dari kekalahan.
Mamuju, Senin, 5 September 2016