TRANSTIPO.COM, Mamuju – Rabu pagi, 16 september kalah itu berdiskusi sesama Wartawan seputar pendidikan di salah satu warkop favorit kami di kota mamuju, Sulawesi Barat.
Tiba-tiba saya teringat tentang postingan salah satu junior di media sosial yang masih aktif sebagai aktivis, tentang sebuah sekolah di perbatasan Sulawesi Barat-Sulawesi Selatan, tepanya di Kecamatan Kalumpuang.
Yang mana pada postingan itu memperlihatkan foto dengan sejumlah siswa berseragam biru putih, dengan begitu ceria berfoto bersama dengan latar sebuah bangunan sekolah yang terbuat dari papan dan bertapkan rumbia (dalam bahasa daerah kami disebut Loda).
Seketika niatan saya untuk menghubungi pihak terkait muncul, syukur junior saya itu kebetulan orang yang berasal dari lokasi sekolah itu, di Dusun Mopo, Desa Siraun, Kecamatan Kalumpang, Kabupaten Mamuju.

Kami lantas membuat janji dengan kepala sekolah SMP Negeri 6 Kalumpang, Ibu Monalisa. Ibu ini bersedia diwawancarai secara ekslusif di kediamannya yang berada di kota Mamuju. Dengan permintaan Liputan saya tidak terkait dengan politik, kebetulan Kabupaten Mamuju akan melangsungkan pesta demokrasi: Pilkada serentak tahun 2020.
Kepala sekolah dengan latar pendidikan Magister Pendidikan itu lantas menceritan sejumlah keluh kesahnya tahun tiga tahun ia mengabdi sejak tahun 2017 lalu, sebagai kepala sekolah di SMP Negeri 6 Kalumpang.
“Selama tiga tahun lebih saya mengabdi, cukup banyak kisah-kisah yang jadi ingatan saya, termasuk perjuangan saya merintis sekolah hingga akses jalan yang cukup ekstrim,” ucapnya.
Ibu dua anak itu menuturkan, sekolah yang dipimpinnya itu bermula sejak tahun 2015 dengan meminjam gedung SDN Mapo karena belum adanya bangunan sekolah, sehingga secara bergantian siswa SDN Mapo di pagi hari dan Siswa SMPN 6 Kalumpang pada siang hari.
“Awal saya masuk itu belum ada bangunan kita menumpang di gedung SD, kita belajar-mengajar pada saat siswa SD sudah pulang,” lanjut dia.
Lebih lanjut, Ibu Mona sapaan akrabnya, mengatakan jika sekolah itu hampir saja tutup pada tahun 2017 lalu dikarenakan kendala gedung yang tidak ada.
“Pada tahun 2017 hampir tutup, karna gedung tidak ada,” katanya.
Melihat kondisi itu, perempuan berumur 41 itu lantas bersama warga berisiatif membuat bangunan darurat menggunakan bahan seadanya, satu bangunan beratap rumbia dan berdiding papan akhirnya terbangun tahun 2017.
“Karena kami melihat semangat belajar anak-anak sangat tinggi, akhirnya pada tahun 2017, setelah saya ditempatkan bertugas saya dan warga sepakat untuk membuat bangunan darurat, karena kami melihat semangat belajar anak-anak sangat tinggi,” urai perempuan 41 tahun itu.

Setelah terbangun, Monalisa mengungkapkan semangat siswanya belajar semakin tinggi, bahkan jumlah siswa pun ikut bertambah menjadi 60 orang dari sebelumnya hanya 40 siswa.
Dikediamannya, Monalisa mengisahkan perjuangannya mengabdi yang harus melintasi sungai Karama yang dikenal cukup berarus deras, (Sungai Karama salah satu sungai yang cukup besar dan berarus deras di wilayah Kalumpang, beberapa kali telah memakan korban akibat kecelakaan perahu).
“Awal saya ditempatkan disana, jujur saya frustasi, tapi belakangan setelah melihat semangat siswa yang begitu tinggi saya melawan kedilemaan saya itu, bahkan awalnya ada jembatan darurat menuju sekolah berlantai kayu bundar,” kata Mona.
Sejumlah kendala yang dihadapi turut diceritakan, termasuk fasilitas seadanya yang dipergunakan untuk keperluan belajar-mengajar belum didapatkan hingga kini.
Beruntung pada tahun 2019, Manalisa mengikuti program Kementerian Pendidikan untuk kepala sekolah berdedikasi, sehingga pada tahun 2020 ini Kementerian Pendidikan memberikan bantuan pembangunan gedung baru.
“2018 belum ada perhatian pemerintah, tapi beruntung pada tahun 2019 ada program kepala sekolah berdedikasi yang saya ikuti, akhirnya setelah beberapa kali ikut seminar, kementerian pendidikan memberikan bantuan satu gedung permanen yang saat ini sedang dibangun,” ujar Monalisa.

Monalisa berharap ke depan, pemerintah dapat memberi perhatian kepada sekolahnya, terutama fasilitas olaragah, buku bacaan ruang lab untuk mengenalkan siswa pada dunia teknologi yang masih awan di wilayah itu.
“Kami juga ingin sekali mengenalkan kepada siswa tentang teknologi, biar siswa bisa mengetahui seperti apa itu komputer dan lainnya, fasilitas olaragah belum ada, buku bacaan juga masih sementara kami kumpulkan, sedikit demi sedikit,” kata Mona.
Di tengah pandemi, saat ini proses belajar-mengajar secara tatap muka ditiadakan, dan mewajibkan siswa belajar dirumah dibekali buku dengan kontral dari 4 guru kontrak yang dimiliki.
“Sesuai himbauan dari pemerintah proses belajar siswa kini di rumah dibekali buku yang dibagikan, dan dikontrol tenaga kontrak yang berjumlah 4 orang, ASN baru saya saya.”
Setelah 5 tahun berdiri sejak tahun 2015 lalu, SMPN 6 Kalumpang kini telah tiga kali mencetak lulusan, sejumlah lulusan pun kini tercatat lanjut keperguruan tinggi.
SUGIARTO