Syahril, SPK alias SARING (kanan) 26 tahun jadi tenaga sukarela dan tenaga kontrak kesehatan di Puskesmas Mambi, Kecamatan Mambi, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. (Foto: Sarman Sahuding)

TRANSTIPO.com, Mambi – Posturnya kecil membuat gerakannya lincah. Berjalan setengah berlari. Saat ia berlari melaju sungguh kencang.

Sejak masa remaja dulu, ia salah satu pemain sepak bola yang cukup dikenal. Posisinya di lapangan hijau ada di sayap kanan.

Meski badan kecil dan pendek, penonton familiar padanya: larinya itu yang cepat saat mengejar dan menggiring bola.

Tak jarang ia menjemput bola di sepertiga lapangan lalu membalik badan dan berlari hingga mendekati garis lapangan lawan, bola kemudian ditendang ke tengah.

Si lincah ini dikenal pengumpan yang tepat. Tak jarang bola dilesakkan pemain striker ke gawang lawan berkat operan pemain sayap ini.

Antara tahun 1990 hingga 2000-an, namanya cukup familiar di seantero Mambi. Lapangan sepak bola Mambi, Kecamatan Mambi, Kabupaten Mamasa, adalah saksi kepopuleran namanya. Bahkan ketika sekolah di Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) Banta-Bantaeng, Kecamatan Mamajang, Kotamadya Ujungpandang, Sulawesi Selatan, namanya tak pernah alfa dalam catatan tim bola kaki sekolah.

Namanya Saring. Nama ini lebih akrab di telinga orang Mambi. Di sekolah nama formalnya Syahril. Ia lahir di Mambi 51 tahun silam.

Tamat SPK di Kotamadya Ujungpandang (kini Kota Makassar), Saring kembali ke kampung halamannya, Mambi.

Berbekal ijazah keperawatan — setara sarjana kesehatan Diploma III saat ini — Saring mulai bekerja di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Mambi sebagai tenaga sukarela.

“Saya belum digaji waktu itu. Namanya saja tenaga sukarela,” cerita Saring kepada Sarman Sahuding dari transtipo di Mambi, Senin, 21 Desember 2020, sekitar pukul 08.30 WITA.

Saring menyebut seorang nama: Dokter Rasidin. Pada 1994 itu, Saring berangkat ke Polewali, Ibukota Dati II Polewali Mamasa (Polmas), Sulawesi Selatan, untuk mengurus menjadi tenaga sukarela di Puskesmas Mambi, Dinas Kesehatan Kabupaten Polmas.

“SK pertama saya sebagai sukarela ditandatangani oleh pak Rasidin. SK-nya masih saya simpan. Namanya sukarela, ya tidak digaji,” kisah Saring.

Bertahun-tahun lamanya ia mengabdi sukarela. Saring diberi tugas di kampung-kampung yang jauh dari Mambi — ibu kota Kecamatan Mambi.

“Saya pernah ditugaskan di kampung Salubanua, kampung Indobanua, dan kampung Botteng. Saya perawat tapi merangkap bidan. Imunisasi juga saya kerja, termasuk merawat Ibu hamil,” kenang Saring.

Saring menjangkau tempat tugas di kampung-kampung itu cukup jauh, Indobanua misalnya, jaraknya dari Mambi 21 kilometer.

“Waktu itu masih jalan kaki. Jalannya belum bisa dilalui kendaraan motor. Nanti setelah terbentuk jadi desa baru bisa dijangkau pakai motor,” cerita Saring.

Kampung Salubanua, yang berbatasan dengan Kecamatan Tu’bi Taramanu dan Kecamatan Wonomulyo, Polmas, lebih jauh lagi. Jarak tempuh ke kampung ini 20-an kilometer, juga jalan kaki.

“Sudah biasa saya pulang malam hari, bahkan tiba di rumah (Mambi) sudah tengah malam,” cerita Saring.

Indobanua dan Salubanua kini atau sejak beberapa tahun lalu sudah menjadi desa, masih dalam wilayah Pemerintahan Kecamatan Mambi, Kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat.

Kabupaten Mamasa sendiri terbentuk jadi Daerah Otonomi Baru (DOB) pada 11 Maret 2002 — hasil pemekaran Kabupaten Polewali Mamasa (Polmas). Provinsi Sulawesi Barat berpisah dengan Provinsi Sulawesi Selatan (induk) pada 2004.

Di Botteng (kini masuk wilayah Kecamatan Mehalaan, Kabupaten Mamasa). “Botteng jauh sekali, kadang saya bermalam di sana,” kisah Saring.

Sembilan tahun lamanya Saring mengabdi sebagai tenaga sukarela. Sedikit peruntungan baginya pada 2003. Waktu itu Kabupaten Mamasa baru terbentuk sebagai kabupaten sendiri. Konflik politik menyertainya, walau tak lama, 2 – 3 tahun saja. Pemekaran daerah di pegunungan ini dilanda konflik sosial — imbas dari politik itu.

Dengan suasana politik daerah baru itu yang tak kondusif benar, seiring terbentuk jadi provinsi, Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat kemudian ikut campur tangan dalam urusan pemerintahan di Mambi.

Di Puskesmas Mambi, peruntungan bagi Saring itu datang. Statusnya sebagai tenaga sukarela dinaikkan satu level sedikit menjadi tenaga kontrak.

“SK saya sebagai tenaga kontrak derah ada,” kata Saring.

Lama Saring mengabdi dengan gaji sebagai tenaga kontrak di bawah standar yang manusiawi.

“Waktu itu gaji saya hanya Rp200 ribu. Lama saya terima. Tapi apa boleh buat, saya sudah memilih mengabdi di dunia kesehatan,” kisahnya, pilu.

Di tengah menjalani status sebagai tenaga kontrak, Saring juga kerap memperjuangkan nasibnya untuk bisa jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Selalu gagal.

Waktu terus berjalan. Kini, di penghujung 2020 ini, genap 26 tahun lamanya Syahril, SPK alias Saring tetap bekerja dengan status tenaga kontrak di umur 51 tahun.

“Saya sudah jenuh. Bosanma’. Tapi saya akan terus berjuang untuk bisa jadi PNS,” kukuh Saring.

Di saat ia berkisah, Saring tak lupa nasib seorang kawannya di Puskesmas Mambi. Namanya Nurjannah (45 tahun).

“Satu tahunji bedaku kodong. Dia dari SPK juga. Dia sudah mengabdi sebagai tenaga kontrak selama 25 tahun,” kata Saring, ikut beri empati kawan kerja senasibnya.

Sehari-hari Saring bekerja di Unit Gawat Darurat (UGD) Puskesmas Mambi. “Saya biasa dikasi program. Saya bilangmi sama pimpinan, ini terusmi saya kerja sejak dulu. Saya sudah hafal mati.”

Di tengah wawancara, Saring menyetop cerita terkait urusan kantor. Ia mengingat ketika masa konflik di Mambi dulu, ia mengaku berkerja sebagai perawat merangkap bidan “solo karir”.

“Dulu dinda, saat konflik itu, saya sendiri melayani perawatan kesehatan di Kecamatan Mambi. Hampir semua kampung saya kelilingi. Mau diapa. Ini sudah tugas. Teman-teman yang lain keluar semua,” ujar Saring.

Saring baru ingat menikah di umur 42 tahun. “Ponakanta’ sudah dua orang. Saya menikah 7 tahun lalu.”

Dengan keluarganya inilah tempat Saring menyandarkan keluh dan kesah. “Saya kalau tiba di rumah bahagia sekali saat liat anak-anak. Saya kadang mulai bosan, tapi kasyukuran muncul seketika. Ini harus saya terima.”

Beruntung Saring punya lahan yang lumayan. Saban sore hari sepulang kantor, ia pergi ke kebun dan sawah.

“Saya juga ternak sapi. Jadi banyak kesibukan membuat lupa kapan bisa jadi PNS,” katanya mengiring tawa yang jenaka.

Saring bukan “orang biasa”. Kini, atau sejak Haji Anwar Buda berpulang, ia dipercaya sebagai Perangkat Hadat Rante Mambi.

Jalur darah Saring kental seorang Tomakaka. Terkait Hadat dan kaTomakaka-an, Saring banyak cerita ke laman ini.

“Saya ini Todipaondong (pemegang pesan formal dari leluhur/Hadat Rante Mambi,” katanya.

Bahkan, aku Saring, pesan tertulis dari Nenek Demmatana — leluhur masyarakat Mambi tempo dulu — masih tersimpan di rumah.

Cerita seputar Hadat Mambi, Saring tampak begitu serius. Suaranya kadang meninggi, ia abai orang sekeliling yang menyaksikan wawancara berlangsung.

Bicara soal Hadat, di ujung diskusi, Saring seolah lupa lagi nasibnya: kapan bisa jadi PNS — sebelum masa pensiun sebagai tenaga kontrak tiba.

SARMAN SAHUDING

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini