Bagian III
SALAH satu yang menjadi alasan untuk menulis jejak Maemuna ini adalah untuk memberi kabar kepada generasi negeri ini tentang sosok wanita pejuang pada bulan November 1945 ikut terlibat bersana rakyat Mandar melaksanakan Rapat Raksasa yang juga dihadiri oleh para raja-raja Pitu Ba’bana Binanga yang terdiri dari Mara’dia Balanipa, Andi Baso Pabisseang; Mara’dia Sendana, Andi Pawelai; Mara’dia Banggae, Majene, Rammang Pattalolo; Mar’dia Paamboang, Andi Tontra Lipu; Mara’dia Tappalang, H. Abd Havid; Mara’dia Mamuju H. Djalaluddin Ammana Inda dan Mara’dia Benuang, La Mattulada.
Dalam Rapat Raksasa tersebut disampaikan pernyataan bahwa, “Rakyat Mandar tidak mau lagi dijajah oleh Belanda dan mulai saat itu rakyat Mandar adalah bagian dari rakyat Kesatuan Republik Indonesia”.
Pernyataan tertulis tersebut disampaikan kepada pembesar sekutu di Parepare. Dalam hubungan dengan pelaksanaan tugas pemerintah secara sah menurut hukum di atas landasan Undang-Undang Dasar Proklamasi 1945 itu, maka sebagai pegangan adalah ketentuan yang termuat di dalam Aturan peralihan pasal 11 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Segala Badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang- undang dasar ini.” (Sanyi).
Mengingat peran peran Maemuna dalam proses merebut dan mempertahankan kemerdekaan, tentu saja kita merasa miris, sebab hari ini kadang lebih banyak kita meneriakkan slogan JASMERAH (jangan melupakan sejarah) tapi kenyataannya pejuang yang layak diusulkan jadi pahlawan ini tak sedikirpun diberi ruang untuk sekedar dibincang khusus dan menuliskan jejaknya untuk bacaan generasi hari ini, esok dan nanti.
Miris memang, mengingat Maemuna adalah sosok guru dan pendidik yang juga terlibat dalam perlawanan terhadap NICA yang pasca Proklamasi 17 Agustus 1945 justru menjadi awal perlawanan itu dikawal dengan leleran darah pejuang dan sejumlah nyawa harus melayang demi satu kata: MERDEKA. Kata merdeka bagi Maemuna menjadi alasan mengapa ia harus beranjak dari profesi yang digelutinya dari tahun 1935 beralih ke organisasi perjuangan melawan Belanda.
Istri dari Djud Pance ini rupanya terinspirasi dari salah satu tokoh pejuang perintis kemerdekaan, I Calo Ammana Wewang atau yang lebih dikenal dengan gelar Topole di Belitung. Bagi Maemuna, Ammana Wewang adalah teladan baginya sehingga ia dengan ikhlas menghibahkan seluruh yang ada dalam hidupnya halal demi perjuangan. Bayangkan, sekelas Maemuna saja mengidolakan Amnana Wewang, padahal Maemuna sendiri adalah sosok teladan yang tak satupun bisa mengingkari itu.
Selain diinspirasi oleh Ammana Wewang, kondisi yang melatarinya saat itu memaksa ia untuk terjun langsung dalam merebut dan mempertahankan kermerdekaan. Menjelang akhir tahun 1945 tentara Sekutu (Australia) mendarat di Sulawesi, dan mulai kerja sama dengan NICA. Mereka ini menyatakan bahwa sementara status Sulawesi tidak boleh berubah-ubah sambil menunggu perkembangan di Jawa.
Dengan demikian Provinsi Sulawesi sebagai bagian dari Republik Indonesia Proklamasi tidak dapat disinkronkan dengan sikap NICA dan sekutu sehingga terjadilah pertentangan-pertentangan. Pada tanggal 5 April 1946 kira-kira jam 21.00 Belanda mengadakan penangkapan terhadap Dr. J. Ratulangi bersama beberapa pejabatnya. Mereka diam-dim diangkat dengan kapal terbang Serui Irian Jaya dalam dua rombongan.
Rombongan pertama menggunakan pesawat Ampibie langsung ke Serui dan rombongan kedua dengan pesawat biasa melalui Ambon Morotai dan Biak. Tindakan ini diambil oleh pemerintahaan NICA sebagai usaha untuk mengakhiri Pemerintah Republik Indonesia di Sulawesi yang berada ditangan Dr. J. Ratulangi.
Menurut catatan, pemerintah Sulawesi dibawah pimpinan Dr. J. Ratulangi ini langsung mulai tanggal 17 Agustus 1945 s.d. 5 April 1946. Pada tahun 1946 sampai 1949 suatu kenyataan bahwa pemerintah Hindia Belanda sejak Letnan Gouvermeneur General Van Mock tiba kembali di Jakarta, 20 Oktober 1945 telah dapat menguasai secara defacto beberapa wilayah di Indonesia Timur yang meliputi wilayah administrasi pemerintah Provinsi Sulawesi untuk mewujudkan kembalinya kekuasan Belanda (NICA) di Indonesia.
