Spanduk penolakan masyarakat terhadap rencana panambangan Logam Tanah Jarang (LTJ) atau Rare Earth, di tiga kecamatan di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. (Foto: Istimewa)

TRANSTIPO.com, Mamasa – Tiga kecamatan di wilayah Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat (Sulbar), akan dilakukan panambangan Logam Tanah Jarang (LTJ) atau Rare Earth.

Rencana penanganan LTJ tersebut akan menyisir sejumlah desa di tiga kecamatan di Kabupaten Mamasa. Tiga kecamatan dimaksud yakni, Kecamatan Aralle, Kecamatan Buntu Malangka (Bumal), dan Kecamatan Mambi.

Rencana penambangan ini menuai penolakan dari berbagi kalangan lantaran dinilai berpotensi merusak tatanan sumberdaya alam (SDA) di daerah tersebut.

Bukan tanpa alasan, penolakan yang dilakukan oleh sejumlah pihak karena dikhawatirkan akan merusak ekosistem lingkungan.

Berdasarkan papan pengumuman dari PT. Monzanite San, untuk sosialisasi dalam tahap penyusunan mengenai Analisis Dampak Lingkungan (Amdal), diketahui luasan area yang akan ditambang sekitar 9.390,8 hektar.

Dalam pengumunan tersebut, pihak perusahan tidak menampik dampak negatif yang akan ditimbulkan terhadap lingkungan seperti dampak fisik, kimia, biologi, sosial budaya, dan kesehatan masyarakat.

Area penambangan ini tersebar di beberapa daerah di tiga kecamatan di antaranya, Kecamatan Mambi, Aralle, dan Buntu Malangka’

Berkaitan dengan hal tersebut, legislator Partai Nasdem Kabupaten Mamasa, juga merupakan wakil daerah pemilihan (Dapil) Mamasa III, Arwin Rahman Tona meminta kepada pihak terkait agar rencana penambangan tersebut tidak dilanjutkan.

Arwin mengatakan, rencana penambangan itu akan berdampak buruk di tengah masyarakat, sehingga selaku wakil dari wilayah tiga pihaknya menegaskan agar tambang tersebut tidak dilanjutkan.

“Ini berdasarkan kesepakatan beberapa desa di Salutambun, Kecamatan Buntu Malangka, bahwa mereka menolak dengan keras rencana penambangan itu,” kata Arwin via telepon selluler, Selasa, 18 Agustus 2020.

Hal ini juga, kata Arwin, berdasarkan apa yang disepakati anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Mamasa tahun 2015 lalu. Ketika itu masyarakat Salutambun mengadukan persoalan tersebut kepada pihak DPRD Kabupaten Mamasa.

Sehingga, DPRD Kabupaten Mamasa secara sah mengeluarkan surat untuk memfasilitasi masyarakat menolak tambang tersebut.

“Jadi mewakili masyarakat Salutambun saya menolak tambang itu,” tandasnya.

Hal serupa datang dari Direktur Jaring Community (J-Com) Kabupaten Mamasa, Erick, dengan tegas menolak upaya eksploitasi alam tersebut.

Menurut Erick, bagi masyarakat Mamasa secara keseluruhan, hutan bukan hanya sebagai tempat kehidupan banyak habitat, baik flora maupun fauna, tetapi merupakan bagian dari peradaban budaya masyarakat.

“Yang harus dipahami, hutan di wilayah Mamasa ini adalah bagian dari penyangga paru-paru dunia,” kata Erick.

Erick menyebutkan, luas keseluruhan wilayah Kabupaten Mamasa sekitar 3.005,88 kilometer persegi atau 300.588 hektar. Jika area penambangan itu seluas 9.390,8 hektar, maka ada sekitar 3,124143 persen area tambang LTJ di Kabupaten Mamasa.

Jika wilayah tambang itu semua berada di kawasan hutan. Maka dari 144.929, 02 hektar kawasan hutan Mamasa baik hutan primer maupun sekunder, ada sekitar 6,5 persen kawasan hutan yang jadi area tambang.

“Dampak negatifnya di masyarakat mesti dipikirkan jauh sebelumnya,” kata Erick.

Kata Erick, meski dampak ekonomi mungkin tinggi, tapi mengancam keberlangsungan suber daya alam utamanya penghidupan masyarakat, mengancan ekosistem alam yang luas, mengancam peradaban budaya dan sosial masyarakat, maka tidak ada kata lain, tolak rencana penambangan rare earth itu.

“Saya mendorong agar seluruh komponen masyarakat, hingga pemerintah daerah dan wakil rakyat agar membangun komunikasi intensif dan komprehensif untuk serius membicarakan rencana eksploitasi alam ini,” pungkasnya.

Sementara itu, Kepala Desa Salutambun Barat, Ikabod mengatakan lima desa yang berada di wilayah Salutambun dengan keras menolak terhadap rencana penambangan tersebut.

Kades Ikabod, secara tegas menyakatakan menolak rencana penambangan tersebut yang akan mengeksplorasi tanah warisan leluhur.

Yang pasti kami masyarakat wilayah salutambun menolak kegiatan ini dan kami sementara menjalin kerjasam dengan organisai-organisasi yang mau membantu kami dalam mempertahakan tanah leluhur.

“Kalua ini dilanjutkan, seakan-akan kami masyarakat kecil tidak diperdulikan, tidak pernah sosialisai. Kami merasa diusik dengan tidakan itu,” kata Kedes Ikabod.

Pihaknya berharap kepada seluruh elemen masyarakat dan pengambil kebijakan dapat membantu sehingga rencana penambangan tersebut dihentikan.

“Saya tidak ingin terjadi konflik karena kegiatan ini, saya terus terang menagis mendegarkan keluh-kesah masyarakat kecil yang telah mendiami tanah leluhur kami dengan aman damai dan saat ini terancam keberadaanya,” katanya.

Ia menambahkan di wilayah Salutambun ada lima desa yang sepakat menolak penambangan tersebut. Bahkan Asoaiasi Pemerintah Desa Kecamatan Buntu Malangka’ sudah menyatakan dukungan untuk membantu perjuangan masyarakat.

“Dampak positifnya menurut kajian kami sangat sedikit. Tetapi dampak negatiflah yang akan banyak karena merusak lingkungan yang sudah kami anggap sebagai surga dunia,” kata Kepala Desa Ikabod.

Berdasarkan informasi yang dihimpun dari laman Wikipedia, Logam Tanah Jarang atau unsur tanah jarang adalah kumpulan 17 unsur kimia pada tabel periodik, terutama 15 Latanida ditambah Skandium dan Yttrium. Skandium dan Yttrium dianggap sebagai logam tanah jarang karena sering ditemukan pada deposit-deposit bijih Lantanida dan memiliki karakteristik kimia yang mirip dengan Lantanida.

Pada umumnya, unsur tanah jenis ini ada dilapisan kerak bumi. Sehingga jenis tambang ini adalah tambang terbuka, bukan tambang tanah dalam.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada konfirmasi dari pihak terkait.

WAHYUANDI

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini