‘The Founding Fathers’ Mamuju

2231
KOLONEL (PURN.) H. HAPATI HASAN (BUPATI MAMUJU (1969-1974, 1974-1979). (FOTO: ISTIMEWA)

Kolonel (Purn.) H. Hapati Hasan (Bupati Mamuju, 1969-1974, 1974-1979)

Meski ia bukan bupati pertama di Mamuju, tapi H. Hapati Hasan, B.A. merupakan peletak dasar pembangunan di Kabupaten Mamuju. Mungkin tak berlebihan kalau penulis menyebutnya “The Founding Fathers” in Mamuju —bukan menyejajarkan Bung Karno dan Bung Hatta— tapi paling tidak di tingkat lokal ia dikenal “Bapak Pembangunan” Mamuju.

TRANSTIPO.com, Mamuju – Ayahnya seorang warga Tapangkang, Tapalang (kini Tapalang Barat). Nama daerah ini sangat dikenal luas sebagai Kecamatan Tapalang, Kabupaten Mamuju. Kecamatan ini termasuk kecamatan tua di Kabupaten Mamuju, selain kecamatan lainnya seperti Kecamatan Kalukku’, Kecamatan Mamuju, Kecamatan Kalumpang, Kecamatan Pasangkayu, dan Kecamatan Budong-Budong.

Inilah kecamatan-kecamatan yang hadir seiring terbentuknya Mamuju sebagai sebuah daerah otonomi tersendiri. Ibunya bernama Hapati, warga Kampung Baturroro, Desa Tubo, Kecamatan Sendana, Kabupaten Majene. Hasan dan Hapati masih memiliki pertalian kekeluargaan.

Jarak antara Tubo dan Tapalang relatif dekat yang hanya diantarai Kecamatan Malunda. Keluarga Hapati Hasan menetap di Tubo, Sendana, kampung ibunya. Sejak kecil hingga menanjak remaja Hapati Hasan menetap di desa ini.

Di masa remajanya ia paling gemar main kecapi (sejenis gitar yang hanya berdawai dua) dan setiap memetik kecapi itu kerap diiringi lagu-lagu daerah Mandar, atau lebih populer dikenal paelong-elongan. Kenakalan di masa kecilnya masih terkait kecapi.

Rumah keluarga Hapati bentuknya loteng, bertingkat. Di atas loteng ia main kecapi di saat banyak teman-teman sepermainannya berkumpul di bawah kolong rumah. Hapati kemudian berdiri di loteng sambil (maaf) kencing yang air kencingnya diarahkan tempat banyak kawan-kawannya berkumpul.

Ia memang dikenal nakal dan pemberani. Saat berumur sekitar 15 tahun ia sering berangkat ke Kalimantan dengan perahu layar. Di atas perahu ia berdiri di depan selaku motoris yang meneropong arah perahu itu. Bahkan, pernah pula berlayar sampai ke Jawa.

Keluarga Hapati memiliki kebun kelapa di Tubo dan Tapalang. Barang dagangan kopra itulah yang ia bawa ke Kalimantan dan Jawa. Sejak menemani ayahnya berdagang kopra ia kemudian mahir dalam ilmu hitung.

Perjalanan Hapati Hasan muda, ia termasuk anggota Kris Muda, wadah pejuang di Mandar yang dipimpin Andi Depu. Ia juga aktif di perkumpulan Nahdlatul Ulama (NU). Ibunya juga tercatat sebagai salah satu pengurus Fatayat NU.

Bidang olahraga Hapati jago sepak takraw dan berkuda. Kalau sudah di atas kuda, jarak antara Tubo atau Tapalang ia tempuh singkat dengan berkuda. Memang dulu ayahnya mempunyai beberapa ekor kuda jantan. Ia menamatkan pendidikan SR/SD dan SMP di Majene. Setelah itu Hapati Hasan pergi merantau ke Makassar.

Tahun 1950 ia mendaftar masuk tentara dan lulus kemudian ia mengikuti pendidikan kemiliteran di Pakkatto’. Usai pendidikan ditempatkan anggota batalyon di Kabupaten Bantaeng. Dan, di Bantaeng jugalah bertemu pendamping hidupnya: seorang dara Jeneponto yang juga sedang bertugas di Bantaeng selaku guru Sekolah Dasar Negeri. Keduanya lalu menikah.

Dari Bantaeng pindah ke Kabupaten Bone dengan pangkat kapten dan dipercaya selaku Pemegang Kas Militer (PKM). Dari Bone Hapati Hasan pindah ke Kodam XIV Hasanuddin. Situasi Kota Makassar saat itu membutuhkan kehadiran Hapati Hasan.

Tahun 1965 Partai Komunis Indonesia (PKI) akan melancarkan kudeta terhadap kekuasaan pemerintahan yang sah, Hapati Hasan bekerja keras membina para pemuda di Makassar. Di Bontorannu, Kecamatan Mariso tempat tinggalnya dibentuk semacam Pam Swakarsa untuk menghalau gerakan dan aktivitas PKI di Makassar. Kekuatan rakyat saat itu bersatu padu dengan kekuatan tentara. Hapati Hasan juga dipercaya membina teritorial di Kecamatan Mariso, tetapi dengan peran gandanya itu PKI malah mengincarnya, ia dijadikan target utama untuk dibunuh di Kecamatan Mariso manakala kudeta PKI berhasil.

Selain Hapati Hasan, target lainnya Musri Hamdan, tokoh agama di Kecamatan Mariso. Kekuatan militer dan pemuda berhasil menumpas pemberontakan PKI di Kecamatan Mariso. Tahun 1969 Kabupaten Mamuju sedang berduka. Salah seorang anak daerah yang segera dilantik sebagai Bupati Mamuju meninggal dunia setelah ditembak oleh sekelompok orang tak dikenal di hutan Tande, Majene.

Dugaan menyeruak bahwa Kapten Abdul Wahab Azazi ditembak oleh gerombolan sisa-sisa pasukan DI/TII. Kekosongan pemimpin formal Kabupaten Mamuju pasca-sepeninggal Wahab Azazi membuat Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Mamuju (Hipermaju) di Makassar bergerak.

Gaus Bastari, tokoh lokal Mamuju, memimpin sebuah delegasi menemui Gubernur Sulawesi Selatan Achmad Lamo untuk menyampaikan pernyataan sikap dukungan kepada H. Hapati Hasan, B.A. menjadi bupati Mamuju.

Tahun 1969 H. Hapati Hasan, B.A. resmi dilantik sebagai Bupati Mamuju. Hapati Hasan kembali ke Mamuju sebagai penguasa tunggal mendapati kampungnya sungguh tertinggal untuk semua hal: penduduknya sedikit, tampak bagai gugusan kampung kumuh, sarana transportasi apalagi.

Bahkan, ketika Hapati dilantik jadi bupati, akses transportasi darat antara Majene dan Mamuju masih tertutup untuk kendaraan bermesin. Dari Rangas Majene ke Mamuju ditempuh pelayaran laut dengan naik perahu. Dan rombongan Hapati Hasan naik kapal lending—sebuah kapal yang biasa dipakai mengangkut pasukan perang tempo dulu menyusuri pulau-pulau.

Ada memang jalan setapak berlumpur antara Majene dan Mamuju yang hanya bisa dilalui dengan kendaraan tradisional kuda. Inilah gambaran isolasi Mamuju yang akan dibenahi Bupati Hapati Hasan. Program pertama bupati mengajak warga Mamuju yang tinggal di pegunungan, yang masih di tempat pengungsian untuk kembali ke Mamuju.

Pergolakan yang terjadi sebelumnya membuat ribuan warga Mamuju ketakutan. Tapi Hapati seorang tentara. Perlahan tapi pasti, rasa takut warga pulih seiring waktu dan mereka berangsur-angsur kembali mengisi kota mereka, dan pembangunan fisik pun dimulai.

Awal tahun 1970 Pemda Mamuju mulai membangun kantor yang representatif. Tanggul pantai kota di Mamuju dibangun, bahkan rintisan Bandara Tampak Padang dimulai. Hamzah Hapati Hasan, anaknya yang ketujuh, masih kecil ketika ayahnya menjadi bupati Mamuju.

Hamzah dekat dengan ayahnya bahkan dialah yang paling sering tidur menemani ayahnya. Hamzah banyak memotret selama bersama-sama ayahnya di Mamuju. Kalau Hapati berkeliling ke kecamatan-kecamatan, dua kecamatan yang paling berat dilalui Bupati Hapati, yakni Kecamatan Kalumpang dan Kecamatan Pasangkayu. Jalannya masih parah.

Di masa-masa awal memimpin Mamuju, dengan kondisi jalan saat itu, kalau bepergian ke Makassar melalui darat membutuhkan waktu selama dua sampai tiga hari. Pada tahun 2005, Hamzah Hapati Hasan bercerita kepada penulis.

Tahun 1976 ia diajak ayahnya berangkat ke Jakarta untuk mengurus dana proyek infrastruktur pembangunan Kabupaten Mamuju. Di Jakarta mereka menginap di Hotel Indonesia, hotel paling mewah di Jakarta pada masanya. Bupati berhasil mendapatkan dana bantuan dari pemerintah pusat sebesar Rp600 juta dan dana itu diantar langsung ke Mamuju.

“Apa yang dikerjakan dari dana hasil perjuangannya di Jakarta itu, inilah hasilnya pembangunan Kota Mamuju yang ada sekarang,” kata Hamzah Hapati Hasan.

Hapati Hasan juga mengembangkan sumber daya manusia di Mamuju. Ia mencetak kaderisasi di tingkat pemuda potensial, salah satunya Almalik Pababari sebagai kader terbaik Bupati Hapati. Waktu itu Almalik Pababari sedang menempuh pendidikan Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN).

Gaus Bestari, tokoh pemuda yang paling dekat dengan Hapati Hasan, memilih mengabdi di jalur Partai Golkar atas arahan Hapati Hasan. Dan masih banyak kader-kader yang kini memegang jabatan penting di pemerintahan.

Niat Bupati Hapati mempersiapkan kader 20 sampai dengan 30 tahun lalu itu terbukti berhasil kini. Dulu kalau bupati ke Makassar, ia sempatkan waktunya yang agak lama datang menemui mahasiswa Mamuju (Hipermaju) yang ada di Jalan Beruang, Makassar. Ia mendengar masukan mahasiswa. Begitu pula dengan Persukma (organisasi masyarakat Mamuju yang ada di Makassar).

Hapati Hasan adalah kader Golkar Sulawesi Selatan. Pemilu tahun 1971 —pemilu pertama di masa Orde Baru— perolehan suara Golkar di Kabupaten Mamuju mencapai 99,9 persen, yang kemudian menempatkan Kabupaten Mamuju bersama Kabupaten Wajo sebagai kabupaten peraih suara tertinggi di Indonesia.

Ketika itu Bupati Hapati menuai protes dari sejumlah kalangan di Mamuju dengan menilai bahwa bupati tidak membuka ruang gerak partai-partai selain Golkar. Kritikan itu sampai ke Makassar: pemerintah provinsi dan petinggi militer. Bupati Hapati pun dipanggil ke Makassar.

Di depan Litsus Kodam ia menjelaskan kemenangan Partai Golkar di Mamuju tanpa memasung demokrasi di Mamuju. Tapi apa mau dikata, jangankan aktivitas partai-partai politik, kantor sekretariatnya saja tidak ada.

Dulu, sebut Hamzah, Kota Mamuju panjangnya hanya dua kilometer, sebelah kiri laut dan sebelah kanan hamparan empang yang ditumbuhi pohon nipa. Pokok Kota Mamuju hanya yang berada di dekat laut. Termasuk rumah jabatan bupati sekarang itu masih rawa-rawa.

Hapati Hasan kemudian bangun Pasar Sentral Mamuju yang dibangun kolaborasi antara rakyat dan pemerintah. Rakyat yang mengangkut pasir dan batu sementara pemerintah menyiapkan bahan-bahan bangunan, termasuk pembiayaan pasar tersebut. Gaji guru-guru dan pegawai biasa tiga bulan baru terima gaji, betapa susahnya cari uang di Mamuju saat itu.

Sumber pendapatan berupa retribusi daerah belum ada. Kalau keadaan terlalu parah dan sudah tidak bisa ditunda pembayaran gaji guru-guru dan pegawai pemda, Bupati Hapati mengambil jalan pintas dengan mengontak koleganya, ayahnya Wilianto, untuk menalangi beban pembayaran gaji tersebut.

Tokoh ini adalah partner bupati membangun Mamuju. Hapati Hasan juga membuka jalur ekonomi ke Kalimantan, Makassar dan Pulau Jawa. Mamuju dulu mengandalkan kopra di perdagangan regional.

Sebetulnya Mamuju memiliki sumber daya alam yang melimpah hanya belum dikelola maksimal. Hasil hutan seperti rotan dan kayu sudah mulai dipasarkan sehingga membuat para pengusaha dari Jawa datang ke Mamuju. Hubungannya dengan petinggi-petinggi di daerah Mandar sangat dekat.

Kalau Hapati dari perjalanan Makassar ke Mamuju biasanya singgah dulu di Majene atau di Polmas, biasanya bermalam dan besoknya baru dilanjutkan perjalanan ke Mamuju. Kabupaten Mamuju memiliki garis pantai sepanjang 300 kilometer.

Inilah yang harus dijaga oleh Bupati Hapati. Pada periode kedua Bupati Hapati Hasan memimpin Mamuju, pembangunan mulai tampak. Ia sudah mulai memperkuat maritim dengan penyediaan pelabuhan Mamuju.

Meski pelabuhan di Mamuju belum memadai aktivitas perdagangan antarpulau sudah digalakkan. Membuka jalur ke Kalimantan, ke Gresik, Jawa Timur. Banyak orang Mandar bolak-balik Mandar–Jawa Timur dan sudah banyak yang memilih menetap di Gresik setelah melihat peluang pekerjaan di sana.

Kantor Bupati Mamuju dulunya berdinding papan diperbaiki secara permanen. Dan seterusnya, dibangun Kantor Bupati Mamuju yang terletak di pinggir pantai Mamuju. Jalur hubungan darat antara Mamuju–Majene sudah terbuka. Betapa sulitnya orang mencari warung makan yang layak bagi tamu dan pejabat di Mamuju.

Pada periode keduanya warung-warung makan tampak bak jamur tumbuh di musim hujan. Ketika mau makan tinggal memilih warung mana sesuai selera. Jarak daerah yang jauhnya dari Mamuju kota misalnya di Tarailu juga diperhatikan. Diperkenalkanlah transmigrasi lokal (translokal).

Warga dari daerah Bugis misalnya mulai berbondong-bondong datang ke Tarailu. Tarailu terbuka kepada siapa saja yang kelak menjadi komunitas yang padat penduduk.

“Kalau bukan beliau (Hapati Hasan) mungkin kami tidak akan pernah ke sini (Tarailu),” kata Hamzah Hapati Hasan menirukan pengakuan warga Tarailu.

Jalan Hapati Hasan kemudian menjadi nama sebuah jalan di Tarailu, salah satu bukti keeratan hubungan antara Bupati Hapati dengan warga Tarailu. Bupati sangat menghargai kearifan-kearifan lokal yang bersumber dari akar historis Mamuju.

Pemangku adat Mamuju, Andi Maksun Dai diposisikan sebagai Ketua DPRD Kabupaten Mamuju. Termasuk Gaus Bastari pernah jadi Ketua DPRD Kabupaten Mamuju ketika Hapati Hasan Bupati Mamuju. Bahkan, Gaus Bastari tercatat sebagai Ketua DPRD Kabupaten termuda di Indonesia pada waktu itu.

Ini artinya, bahwa Bupati Hapati memberi ruang gerak kepada potensi-potensi muda untuk berkembang, bersama-sama membangun Kabupaten Mamuju. Di periode lima tahun kedua Hapati Hasan hanya dijalani maksimal tiga tahun, sebab memasuki tahun keempatnya ia jatuh sakit dan sakitnya itu yang membawanya menghadap Tuhan.

Hapati benar-benar mengabdikan dirinya untuk Kabupaten Mamuju. Begitu besar semangatnya membangun Mamuju. Ia tak kenal lelah. Ia tak pernah memikirkan hal-hal yang sifatnya mewah-mewahan.

Prinsip yang ditanamkan kepada anak-anaknya bahwa rezeki itu sudah ada dalam diri kita masing-masing tinggal bagaimana kita mengelolanya. Hapati Hasan tidak menitipkan warisan berupa harta yang banyak kepada anak-anaknya.

Hapati bersih, jujur. Meski ia seorang bupati dua periode Hapati Hasan hanya memiliki satu rumah di Jalan Anggrek, Makassar, Sulawesi Selatan dan di rumah inilah tempat berkumpul 11 (sebelas) orang anaknya.

Ia rela anak-anaknya berdiri di atas nol dengan titipan pesan, “Hapati Hasan telah membuka Kabupaten Mamuju. Saya mau menjadikan Mamuju sebagai sebuah kota transit di kawasan timur Indonesia.” Atau paling tidak, cerita Hamzah Hapati Hasan, kalau trans Sulawesi terbangun biarlah Mamuju menjadi tempat singgah semua orang.

Sebetulnya ada satu terobosan besar yang akan mengubah Mamuju seperti disulap dalam pembangunan. Kisahnya, pada tahun 1974 seorang peneliti dari negara Filipina datang menemui Bupati Hapati. Niat peneliti hendak menyurvei potensi tambang yang ada di Bonehau, Kalumpang.

Selama penelitian ditemukan emas putih yang bentuknya seperti lilin dan kalau diolah akan menjadi emas. Setelah berkali-kali dilakukan pemeriksaan dengan saksama di rumah jabatan bupati, sang peneliti ini pamit kembali ke Filipina.

Pemerintah Filipina sebetulnya tertarik datang untuk mengembangkan lebih jauh tambang emas yang ada di Kalumpang, tapi regulasi nasional yang menghambat. Yang pasti, hingga hari ini harta itu masih tertimbun di dasar tanah Kalumpang. Dengan itu Mamuju disebut “raksasa yang sedang tidur, dan raksasa itu harus dibangunkan”.

Belum terjamah memang tapi paling tidak Bupati Hapati telah meletakkan dasar pemikiran bahwa pertambangan di Mamuju sangat prospek bisnis. Bupati Hapati Hasan juga pernah mengundang peneliti dari Prancis untuk penelitian bahasa dan kebudayaan yang dimiliki Mamuju. Saat gencar-gencarnya membangun Mamuju, ia jatuh sakit pada 1978.

Tahun 1982 sempat pulih kembali dan sejumlah pihak menggadanggadang Hapati untuk maju memimpin Kabupaten Majene, tapi Hapati sendiri menolak karena mau istirahat. Tak berapa lama ia jatuh sakit lagi, lalu Innalillahi Wainna Ilaihi Raojiun.

Selamat jalan sang pembangun. Hapati Hasan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Panaikang, Makassar, sebagai Pejuang Veteran Golongan A, eks Kris Muda Mandar.

Andi Mattalatta hadir di pemakamannya dengan sambutan: “Prajurit yang baik, Hapati Hasan dikenal sebagai prajurit yang gigih dan konsisten dalam melaksanakan tugas.”

Sumber: Buku Jejak Langkah dan Pemikiran Bupati di Sulawesi Barat, 1960-2023 (Penerbit Buku Kompas, Desember 2023).

SARMAN SAHUDING

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini