RASANYA sudah cukup lama tak terdengar kabar buruk dari seputar Sungai Ciliwung, Jakarta.
Dulu, setiap kali penjaga bendungan Katulampa, Bogor, mengirim informasi status ketinggian air melalui radio, media sosial, atau kantor-kantor lurah, warga di Kampung Melayu, Kampung Pulo, Jatinegara, dll yang kampungnya dibelah Ciliwung was-was: segera memindahkan barang elektronik ke lantai atas atau memindahkannya ke rumah tetangga, mengungsikan kendaraan ke jalan besar di Jatinegara, dan menanti datangnya air besar.
Banjir memang masalah klasik Jakarta yang tak pernah terselesaikan dari zaman ke zaman. Kian tahun kian meluas.
Biangnya bukan hanya Ciliwung atau 12 sungai lain, tapi juga saluran air yang tak teratur, sebagian warga ibukota yang masih menjadikan sungai sebagai tempat membuang sampah, dan tentu saja karena penggundulan hutan-hutan di hulu sungai di kawasan Bogor dan sekitarnya.
Penanganan banjir, selain macet, selalu menjadi janji kampanye para calon gubernur, caleg-caleg DPRD dan DPR, serta calon senator Jakarta. Tapi semua ucapan itu menguap oleh kemarau atau tersapu air banjir di musim penghujan.
Hari ini, satu kerja besar yang nyata selesai. Proyek Sodetan Kali Ciliwung – sebuah terowongan kembar yang bisa diatur untuk membelokkan sebagian limpahan air Sungai Ciliwung ke Kanal Banjir Timur (KBT), sudah selesai.
Dua terowongan bawah tanah berdiameter masing-masing 3,5 ini telah tersambung dari satu ceruk Sungai Ciliwung di Jalan Otto Iskandardinata ke KBT sepanjang 1,2 kilometer.
Dalam hitung-hitungan para ahli, terowongan kembar ini dapat membelokkan air Sungai Ciliwung hingga 33 m3 per detik pada saat status banjir siaga empat dan 63 m3 per detik pada status banjir siaga satu.
Setidaknya, kata presiden yang datang meresmikan proyek ini tadi pagi, empat kelurahan padat penduduk di pinggiran Ciliwung yang puluhan tahun jadi pelanggan banjir, kini terbebas dari tamu tahunan yang menyengsarakan itu.
Oh ya, sebelum air dari hulu memasuki Sodetan Kali Ciliwung, sebagian sebenarnya sudah ditahan di dua bendungan kering besar di kawasan hulu yaitu Bendungan Ciawi dan Sukamahi di Kabupaten Bogor. Dua bendungan ini sudah selesai pula.
Letak kawasan langganan banjir Jakarta ini tak jauh benar dari rumah saya. Bahkan titik paling rawannya di Kelurahan Kebon Baru, hanya beberapa ratus meter dari Tebet.
Saya mengenal beberapa tetangga yang menghuni kawasan itu dengan baik. Saya berbahagia untuk mereka – semoga tak lagi dihantui mimpi buruk tahunan.
TOMI LEBANG