TRANSTIPO.com, Mamuju – Tak banyak kamera yang sempat membidik ketika Ali Baal Masdar (ABM) berdiri di atas panggung pemenangannya di Anjungan Pantai Manakarra, Mamuju, Jumat sore, 23 September 2016.
Tak terkonfirmasi kepada ABM mengapa ia sampai menangis sesegukan ketika ia berdiri di hadapan massa yang banyak itu. Entah ia terharu atas tumpahan banyak orang yang menghampiri panggung ‘kehormatan’ itu, ataukah karena kerinduannya yang telah lama membuncah.
Atau bahkan ABM telah tahbiskan dalam relungnya bahwa, ‘inilah awal perjanjian moral dan spritual’ kepada khalayak ramai, untuk jadi pengganti Anwar jika kelak ia menang?
Semuanya serba teka-teki. Hanya ABM dan Tuhan yang tahu. Apa yang terkandung di lubuk hatinya ketika tiba-tiba ia sesegukan di sore itu—di tepian ke sini Pulau Karampuang, yang diapit ‘selat kecil’ dengan ayunan ombak yang perlahan.
Hanya kameramen laman ini—Zulkifli Darwis—yang dengan setia berdiri di tengah massa—di sore Jumat itu—untuk menunggu momen-momen penting dari atas panggung, tempat deklarasi itu diadakan, dan tempat sumber berita itu mengalir.
Sayang, bidikan ketika ABM tersedu (baca: menangis) yang kedua lengannya diangkat tinggi-tinggi, separuh di ujung lengannya tak dijangkau kamera Nikon D7 bertele panjang ini.
Hal ini bisa dipahami sebagai sebuah momen super yang hadir separuh detik saja.
Kami di laman ini, seolah ingin bertaruh, “Tak ada kamera lain yang sempat membidiknya, atau bahkan jika kami terlampau berbangga padahal ada yang lain yang lebih sempurna dan tampak hebat mengharukan.”
Tugas kameramen itu memang unik dan berat: tapi lebih berat duduk di depan keyboard sebab sang kameramen pun ditulis.
Sementara sang kameramen tak mampu menjangkau sang Penulis ketika sedang duduk bersarung di depan mesin tik modern itu.
SARMAN SHD