ZUL BAHRI
PILKADA, sebuah ajang kompetisi yang paling diunggu-ditunggu setiap daerah. Menurut pandangan masyarakat, itu adalah puncak dari kata demokrasi: mereka rasakan, mereka bisa ikut di dalamnya.
Di dalam Pilkada, ada tiga peran yang sering kita jumpai. Peran ini seperti sudah menjadi bagian dari pilkada itu sendiri.
Mereka akan bermunculan satu persatu dengan tugas yang berbeda beda.
Pertama, Pemeran Utama. Mereka adalah orang-orang yang bertugas mendeklarasikan dirinya sebagai calon peserta pilkada.
Kedua, Pemeran Pembantu (Figuran). Mereka adalah orang-orang yang bertugas menjadi ujung tombak untuk mengkampanyekan si pemeran utama atas kontrak politik yang disepakati antar pemeran utama dan pemeran pembantu. Namun peran ini hanya bersifat sementara karena ketika pilkada selesai mereka akan kembali menjadi penonton.
Ketiga, Penonton. Mereka adalah masayarakat biasa yang hanya mengandalkan hak suara mereka.
Peran pemeran utama akan muncul pertama kali ke permukaan dengan menampilkan versi terbaik dirinya. Wajah meraka akan banyak kita temukan di ruang publik (sepanjang jalan, jembatan-jembatan, di sudut- sudut kota, desa bahkan dusun.
Mereka seperti kuntilanak yang selalu meneror masyarakat seperti dalam film Suzanna. Padahal semula mereka adalah kaum rebahan dengan ponsel pintar miring di depan wajah, kini mereka muncul seakan-akan seperti Detektif Conan, yang selalu dapat memecahkan masalah, baik itu masalah pribadi maupun masalah dalam lingkup sosial.
Kemudian sang pemeran pembantu (figuran) muncul ke permukan dengan membawa kertas-kertas dengan berisikan nama-nama penduduk di tempat yang mereka tujuh. Entah dari mana data itu mereka dapatkan. Intinya data itu begitu lengkap nama, umur, serta di mana tempat Anda memilih nantinya.
Mereka akan mulai mencari mangsa dari rumah ke rumah, bahkan mereka akan mencari di mana tempat perkumpulan Anda.
Mereka akan mulai melakukan berbagai macam cara agar Anda masuk dalam catatan mereka, bahwa Anda termasuk anggota mereka.
Catatan ini kemudian akan diperlihatkan ke pemeran utama untuk ditindaklanjuti.
Kemudian, sang penonton. Peran ini sebenarnya tidak terlalu begitu sulit namun menjadi penentu bagi sang pemeran utama nantinya.
Mereka ini juga punya cara tersendiri dalam menghadapi fenomena pilkada nantinya. Mereka akan mulai memasang harga untuk diri mereka, bahkan sampai harga untuk 1 keluarganya. Seakan diri mereka ini seperti baju-baju cakar yang dijual di pasar Mambi.
Mereka tidak pernah mau melihat figur mereka, hanya akan tertarik ketika urusan perut mereka teratasi, seakan tidak ada lagi kepercayaan mereka terhadap pemimpin yang akan terpilih. Menurut mereka, pemimpin-pemimpin nantinya yang akan terpilih akan tetap berbuat hal yang sama.
Wajah-wajah inilah yang nantinya kita temui dalam pilkada seakan hal ini telah menjadi budaya dalam pilkada.
Lantas bagaimana ketika muncul peran baru dalan pilkada yang tugasnya memberikan ketakukan kepada masyarakat dengan memanfaatkan posisinya sebagai petinggi dalam suatu daerah?
Mereka menebarkan isu untuk kemudian melakukan mutasi ataupun pemecatan pada masyarakat ketika mereka tidak ikut pada perintah mereka.
Walaupun tugas ini hanya dapat dilakukan oleh petinggi atau orang-orang yang memiliki jabatan di suatu daerah, dan juga walaupun yang dapat mereka takuti hanya masyarakat-masyarakat yang pekerjaannya sebagai pegawai negeri sipil (PNS), tenaga honor, serta aparatur desa.
Namun hal ini begitu berpengaruh ketika dalam suatu desa dimana mayoritas penduduknya itu kerja sebagai PNS serta tenaga kontrak, dan yang pasti setiap desa memiliki aparat desa.
Peran ini begitu mirip dengan setan-setan dalam cerita rakyat yang membawa ketakutan atas kehadirannya.
Itulah mengapa peran ini saya beri nama SETAN SETAN PILKADA.
Penulis adalah Ketua GEMA-PUS