SUATU hari di penghujung tahun 1996, semasa masih mahasiswa di Kota Makassar, saya tiba-tiba punya keinginan untuk membuat sebuah penerbitan. Sebuah media yang isinya hanya cerita-cerita tentang kampung kelahiran.
Saya menghubungi beberapa sahabat masa kecil, adik-adik mahasiswa lain dari Mambi, yang saya perkirakan punya bakat dan bisa menulis. Ada nama Sarman Sahuding, Nurmawansyah Rahman Enang, Rahmat … dll.
Begitulah awalnya Mambie lahir. Ya, nama medianya Mambie. Terlalu mewah jika saya sebut sebagai majalah. Ini hanya sebentuk jurnal tipis 16 halaman yang dirancang sekadarnya berbekal satu komputer di rumah kos saya di kawasan Perumnas Toddopuli, Makassar.
Isi Mambie benar-benar hanya cerita, kabar-kabar dari kampung kelahiran, mungkin sebentuk upaya untuk mengekalkan kenangan masa kecil. Kendati begitu, rubriknya tertib: ada laporan utama tentang kabar terbaru dari kampung, profil tokoh orang-orang biasa, sampai ulasan mengenai kampung Mambi.
Media ini terbit tak teratur. Pernah dua pekan sekali, pernah juga dua bulan baru muncul. Dicetak terbatas hanya ratusan eksemplar dan diedarkan tangan ke tangan. Sebagian dikirim ke Mambi.
Tak sampai setahun setelah Mambie terbit, Indonesia memasuki era reformasi. Penerbitan tiba-tiba begitu bebas, tak perlu izin terbit segala. Tabloid berita menjamur.
Tapi Mambie malah ngos-ngosan kehabisan ongkos.
Suatu hari, saya iseng mengirimkan beberapa lembar jurnal ini ke Jakarta, mengikutkannya ke sebuah lomba penerbitan alternatif. Beberapa pekan kemudian, kejutan datang: Mambie meraih ISAI Award tahun 1997.
Pemberitahuan sebagai pemenang itu datang disertai undangan kepada pengelola untuk mengikuti pendidikan jurnalistik di Jakarta, di bawah para empu jurnalis yang sudah karib di telinga kami: Goenawan Mohamad, Atmakusumah, Amarzan Lubis, dll.
Saya pun memilih Sarman Sahuding, Pemimpin Redaksi Mambie untuk ke Jakarta. Ia bersedia. Tentu gembira nian. Ini pertama kalinya ia hendak ke ibu kota — sebuah tempat nan jauh dalam impian masa kecilnya di Mambi. Sarman pun berangkat ke Jakarta. Saya dengar ia mengikuti kamp jurnalistik singkat dan padat di Wisma Tempo Sirnagalih di kawasan Puncak, dilanjutkan dengan magang singkat di sebuah koran ibu kota.
Sepulang dari Jakarta, Sarman kian bersemangat meneruskan karir sebagai jurnalis dan penulis. Sekarang pun ia masih mengelola sebuah media online di Mamuju, Sulawesi Barat. Mambie sendiri tinggal kenangan. Saya bahkan tak punya arsipnya sama sekali.
Pekan kemarin, Sarman memberi kejutan untuk saya melalui kiriman buku karyanya ini: Jejak Langkah Bupati di Sulawesi Barat (1960-2023).
Penerbitnya wah: Harian Kompas dengan logo gembala dan kerbaunya yang khas.
Ini buku sejarah yang bercerita tentang para bupati yang pernah memimpin daerah-daerah di Mandar — sekarang jadi Sulawesi Barat — semenjak tahun 1960 hingga 2023. Tentu tak mudah mengumpulkan bahan dan cerita yang terserak tentang para penguasa daerah dari masa ke masa. Entah berapa tokoh yang harus ia temui, dokumen lama yang ditelisik, dan riset bahan yang harus ia tekuni. Sarman menuliskannya di sela waktu mengurusi kebun kopi, sawah, dan ladangnya di Mambi. Ia memang sudah lama kembali menetap di kampung.
Sebelum membaca cerita-ceritanya, saya haturkan selamat kepada Sarman Sahuding, kawan dan tetangga saya di masa kecil dulu di kampung halaman. Dari jurnal kenangan Mambie di pojok Toddopuli itu, ia kini menembus penerbit besar Kompas. Sekali lagi selamat.
TOMI LEBANG