OLEH: ARWIN RAHMAN, SH, C.L.A.
Pansel telah menyerahkan hasil seleksi dan penilaian Job Fit Pejabat Eselon II Pemkab Mamasa. Selama empat bulan bekerja, asesmen justru di ujungnya memantik silang pendapat publik: setuju, netral, dan menolak keras. Apa yang terjadi sesungguhnya?
GADUH di ruang publik digital hasil Job Fit Pejabat Eselon II Pemkab Mamasa 2025. Proses seleksi yang diampuh Panitia Seleksi (Pansel) bentukan Pemkab Mamasa (baca: Bupati Mamasa).
Pelaksanaan job fit itu dilakukan di Makassar, Sulawesi Selatan, sejak Juni 2025. Pansel telah menyerahkan hasilnya ke Pemerintah Daerah Mamasa pada awal Oktober ini. Rentang empat bulan lamanya, dari asesmen hingga penyerahan hasil, inilah yang menimbulkan penilaian kritis publik Mamasa.
Proses kerja pansel dan hasilnya yang dianggap terlampau lama menimbulkan sak wasangka. Makanya itu ada baiknya menilik regulasi di bawah ini sebagai landasan formil pelaksanaan job fit itu.
UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, PP Nomor 11 Tahun 2017 jo. PP Nomor 17 Tahun 2020, Permenpan RB Nomor 15 Tahun 2019, dan SE KASN Nomor B-56/KASN/1/2021. Semua aturan ini menegaskan pentingnya asas objektivitas, integritas, dan transparansi.
Namun di Mamasa, idealisme hukum itu seperti kehilangan arah kompasnya.
Ada ‘Nama Tuhan’ Dalam Asesmen
Salah satu anggota Pansel, Miten Lullulangi, ketika diwawancarai awak media pada 6 Oktober 2025, menyatakan bahwa hasil job fit “dipertanggungjawabkan kepada Tuhan.”
Pernyataan ini langsung viral di Mamasa. Sebagian menganggapnya bentuk kesalehan, sebagian yang lain menilai itu pelarian moral yang membingungkan.
“Hasil ini kami pertanggungjawabkan kepada Tuhan. Pak Bupati sendiri belum tahu siapa ditempatkan di mana,” ujar Miten di depan Kantor Bupati Mamasa.
Namun publik makin tercengang ketika Miten mengakui memiliki hubungan keluarga dengan salah satu peserta job fit.
“Itu keluarga saya. Tapi saya tidak buka saat pelaksanaan, baru saya sampaikan setelah hasil dilakban dan kami makan malam perpisahan,” ungkapnya polos.
Sebuah pengakuan yang jujur, tapi juga membuka luka lama: konflik kepentingan yang kerap disembunyikan di balik meja birokrasi.
Profesionalisme yang Tertunda
Dalam sistem pemerintahan modern, job fit sejatinya alat ukur untuk memastikan pejabat publik ditempatkan berdasarkan kemampuan, bukan kedekatan. Maka ketika hasil asesmen baru diserahkan setelah empat bulan, sulit menepis kecurigaan publik bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Empat bulan adalah waktu yang panjang untuk proses yang mestinya berbasis data dan indikator kinerja. Bahkan Mahkamah Konstitusi yang mengadili sengketa pemilihan presiden pun tidak membutuhkan waktu selama itu untuk memutus perkara nasional.
Publik berhak bertanya: apakah Pansel bekerja dengan prinsip meritokrasi, atau sekadar menjalankan ritual administratif untuk melanggengkan status quo?
Transparansi yang Hilang di Tengah Jalan
Sampai hari ini, belum ada satu pun pihak Pansel yang mempublikasikan nilai hasil job fit dari setiap peserta. Padahal, keterbukaan data merupakan bagian penting dari akuntabilitas publik.
Tanpa transparansi nilai, sulit menilai sejauh mana obyektivitas diterapkan. Yang muncul justru kesan bahwa hasil job fit disimpan rapi seperti resep rahasia keluarga: hanya segelintir orang yang tahu, sementara publik dibiarkan menebak-nebak.
Publik Tertawa Pahit
Masyarakat Mamasa kini menyikapi persoalan ini dengan humor getir.
Ada yang berseloroh, “Di Mamasa, job fit bukan soal siapa yang paling kompeten, tapi siapa yang paling kuat hubungannya—dengan Tuhan dan dengan keluarga.”
Di satu sisi, humor itu jadi cara bertahan di tengah kekecewaan. Tapi di sisi lain, ia adalah sinyal paling jelas bahwa kepercayaan publik terhadap proses seleksi pejabat mulai terkikis.
Profesionalisme Tak Bisa Didoakan
Dalam urusan publik, profesionalisme tidak bisa digantikan dengan doa. Integritas tidak cukup dengan niat baik, dan akuntabilitas tidak bisa didelegasikan ke langit.
Job fit seharusnya menjadi instrumen meritokrasi: alat ukur objektif untuk membangun birokrasi yang bersih dan berdaya saing.
Ketika hasilnya lebih banyak dipertanggungjawabkan ke Tuhan ketimbang kepada rakyat, maka job fit telah kehilangan makna dasarnya.
Yang dipertaruhkan bukan sekadar jabatan, tapi kepercayaan publik terhadap tata kelola pemerintahan yang berintegritas.
Dan di tengah hiruk pikuk ini, rakyat Mamasa hanya menuntut satu hal sederhana: Hasil yang bisa dipertanggungjawabkan dengan jujur, bukan hanya di surga, tapi di bumi yang mereka pijak.
Penulis adalah Wakil Ketua DPRD Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat