TRANSTIPO.com, Mamasa – Proses tender sebagian pengadaan barang dan jasa pada Layanan Pengadaan Secara Eletronik (LPSE) Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) telah memasuki tahapan sanggahan.
Pada masa sanggahan ini, pihak yang tidak puas terhadap hasil proses tender yang dilakukan dapat mengajukan keberatan.
Salah satu item yang ditenderkan dan menuai sanggahan adalah Pengadaan Benih Kopi Arabika Siap Tanam dengan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) Rp. 999.200.000. Pada proses tender pengadaan barang tersebut diduga sarat dengan manipulasi untuk memenangkan pihak tertentu.
Hal tersebut disampaikan petani penangkar tanaman kopi, yang juga merupakan Sekretaris Perkumpulan Penangkar Benih Tanaman Perkebunan Sulbar, Roi Jordi.
Ia mengatakan, proses tender atau lelang pada LPSE Sulbar semantara dalam tahapan, namun pihaknya melihat Kerangka Acuan Kerja (KAK) yang didorong Kepala Dinas Perkebunan Sulbar sebagai Kuasa Pengguna Anggaran melalui Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) ke Kelompok Kerja LPSE Sulbar diduga cacat hukum dan mengindikasikan adanya peluang kompetisi tender yang tidak sehat.
Menurut Roi Jordi, terdapat beberapa poin yang dianggap janggal dan bertentangan dengan Keputusan Menteri Pertanian(Kepmentan). Dugaanya, apakah PPK tidak paham dengan aturan yang harus digunakan atau kemungkinan ada unsur kesengajaan yang dilakukan untuk mengarahkan rekanan tertentu sehingga aturan teknis yang dibuat ini dapat mencekal pihak lainnya.
Roi Jordi menerangkan, sejumlah kejanggalan yang dimaksudkan seperti dalam KAK aturan yang digunakan adalah Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 70 Tahun 2011, harus kata dia, yang digunakan sebagai acuan adalah Kepmentan Nomor 88 Tahun 2017.
Kata dia, berdasarkan hasil klarifikasi ke Unit Pelaksana Teknis Daerah Perbenihan Sulbar, Permentan 70 ini bukan soal bibit kopi namun soal pupuk. Sementara, Permentan 88 Tahun 2017 itu tentang pedoman produksi, sertifikasi, peredaran, dang pengawasan benih tanaman kopi (coffea sp).
Selain itu, Ia menjelaskan standar polybag untuk kopi siap salur adalah minimal 12×20, tetapi dalam KAK yang disyaratkan 12×17, lebih kecil dari yang disyaratkan Kepmentan Nomor 88 Tahun 2017.
“Dasarnya PPK membuat syarat KAK tersebut terkesan mengada-ada dengan mengambil standar yang tidak jelas, terkesan penuh manipulasi,” kata Roi Jordi Rabu 1 Juli 2020.
Hal paling janggal kata dia, adalah dipersyaratan teknis penawaran hanya mengsyaratkan sepuluh persen bibit yang ditenderkan harus ada di Sulbar. Ia mengungkapkan syarat tersebut terkesan melonggarkan pihak tertentu dari luar Sulbar untuk mengikuti proses lelang tersebut.
Sementara, terdapat komitmen awal bersama Dinas Perkebunan Sulbar saat pembentukan Perkumpulan Penangkar Benih Tanaman Perkebunan yakni pemberdayaan penangkar lokal.
Ia membenarkan jika proses lelang, dapat diikuti siapa saja dan dimana pun, hanya saja dinas terkait harus mempertimbangkan nasib penangkar lokal yang selama ini mereka bina.
“Kami penangkar yang ada di Sulbar masih merasakan dampak dari relokasi anggaran karena Covid 19, di tambah lagi dengan ketidakberpihakan Dinas Perkebunan Sulbar kepada kami penangkar lokal,” ungkapnya.
Ia menambahkan dengan kondisi tersebut membuat nasib penangkar benih perkebunan Sulbar semakin tidak jelas.
“Jika kondisi ini dibiarkan, maka kami akan menempuh jalur hukum untuk mendapatkan keadilan,” tandasnya.
WAHYUANDI/KLP