ARMIN MUSTAMIN TOPUTIRI
MASAKO Owada, lahir di Tokyo, 9 Desember 1963. Ia adalah permaisuri seorang raja, kerajaan dengan monarki tertua di dunia selama 2.600 tahun. Masako kini duduk di singgasana mendampingi suaminya, Naruhito. Kaisar Jepang ke-126 ini naik tahta pada 2019 lalu. Ia penerus ayahnya, Akihito, yang mundur di usia 87 tahun akibat terserang kanker.
Ben Hills, seorang jurnalis Australia pada kurun 1992-1994 yanh ditugasi media “Fairfax” sebagai koresponden di Jepang. Selama itu, sekitar dua tahun lebih, ia mengulik liku hidup dan “benturan peradaban” yang dilalui Masako di balik dinding istana kuno yang didirikan pada abad pertengahan. Hingga kini, tetap ketat dalam tradisi konservatif.
Di buku berjudul “Princess Masako; Prisoner of the Chrysanthemum Throne” ini, Ben Hills menulis, Andai dilema hidup dihadapi Masako mau dipersandingkan dilema Lady Diana di lingkungan istana kerajaan Inggris, hampir dipastikan tak sebanding — tak ada apa-apanya.
Masako perempuan modern, brillian, alumnus Harvard University, khatam pada enam bahasa dunia. Namun tragis, sisa usianya diwakafkan untuk berada di dalam tembok istana kuno. Tiap kali harus membungkuk 60 derajat. Pun berjalan meski tak lebih tiga langkah di belakang suaminya yang raja di Jepang itu.
Sebuah ironi. Buku yang dilengkapi data hasil wawancara 500 orang dekat Masako, dilarang terbit dan beredar di negeri Sakura. Justru diterjemah, terbit, beredar di banyak negara. Di Indonesia, sejak pertama terbit 2008 hingga 2010, buku setebal 340 halaman ini telah lima kali diterbitkan oleh peberbit Pustaka Alvabet.
Lazimnya, kian buku dilarang, kian menuntut adrenalin membacanya. Anehnya, buku “Madame Syuga” misalnya yang berisi foto-foto vulgar Dewi Soekarno, tak dilarang naik cetak, dan beredar di Jepang. Malah — tau saya saat berada di sana — di warung waralaba saja, tabloid berisi foto sensual, dijual bebas. Lalu, kenapa buku “Princes Masako” ini dilarang?
***
Masa kanak-kanak, Masako mukim dan bersekolah di Moskow, Rusia, ikut ayahnya yang diplomat. Lalu, sekolah dasar dan menengah di Jepang. Tapi dikala ayahnya kembali dapat tugas di Kedubes Jepang, di Amerika, Masako ikut serta, dan kuliah di sana, di Harvard university, perguruan tinggi kelas wahid di dunia.
Usai kuliah, predikat “magna cum laude”, Masako balik ke negerinya. Diterima bekerja di biro Gaimusho, calon diplomat Kemenlu Jepang. Ada 300 pelamar, tetapi hanya 18 orang diterima termasuk hanya tiga perempuan, salah satunya Masako. Maka, terkabul sudah cita-citanya sejak muda, ikut jejak ayahnya sebagai diplomat.
Dari kantornya ini, Masako dapat beasiswa studi ke Oxford University, Inggris. Tapi, gelar magister belum ia raih, Masako keburu dilamar Naruhito, putra mahkota kekaisaran Jepang. Pasca tujuh tahun, kali ketiga menolak cinta calon Kaisar itu, Masako pun luluh. Terbayang olehnya, jika kelak jadi permaisuri, karir diplomat yang diidamkan sejak usia muda, pasti tammat.
***
Mulanya, sekian gadis teristimewa Jepang dikenalkan pada Naruhito, dan inilah responnya: “lebih baik saya tak menikah selamanya, jika saya tak menikahi Masako.” Sang Pangeran kala itu telah berusia 33 tahun. Usia tertua dalam histori putra mahkota dengan masih berstatus bujang.
Meski ditentang keluarga istana, musabab Masako turunan Samurai, bukan bangsawan. Tapi di awal 1993, pertunangan dimaklumatkan. Di acara itu, Masako mulai mendapat tekanan, dinilai tak elok bicara depan umum, melampaui 11 detik saat tunangannya berbicara.
Sejak pertunangan itu, kontroversi mencuat di tengah publik. Satu pihak di kalangan konservatif, tak rela jika Naruhito menikahi Masako “Dia Perempuan modern yang tak tau tentang Jepang.” Satunya lagi kaum moderat, malah bersuka ria. Kelompok ini berharap Masako kelak dapat berkonstribusi merestorasi tatanan kekaisaran Jepang. Lebih moderat dan inklusif seiring perubahan zaman.
Di puncak kontroversi, 9 Juni 1993, pesta pernikahan dihelat. Hadir 800 tamu, juga disaksikan 500-an juta pasang mata di penjuru dunia. Hanya, apes, pasca tujuh tahun menikah, rahim Masako tak kunjung berbuah janin. Rakyat, lebih lagi keluarga kekaisaran, galau. Sebab, dari rahim Masako itulah diharap janin (mesti) laki-laki, pewaris tahta kekaisaran.
Tujuh tahun Masako stress. Mertua, serta keluarga kekaisaran, tiada henti menuntut. Terlebih publik, di media massa tak henti menuntut permaisuri segera hamil. Tetapi Masako tiada daya, selain mengurung diri. Tak tampil depan umum. Pula, tak lagi mendampingi suaminya melawat ke manca negara, seperti sebelumnya.
Alhasil, di tahun 1999, setelah perawatan ekstra, Masako hamil, namun bala, keguguran. Publik, bukannya iba, malah mencaci. Dua tahun kelak, 2001 Masako hamil lagi. Lahir bayi perempuan dinamai Aiko Naishinno. Di buku Ben Hills, diungkap jika Putri Aiko adalah buah rekayasa IVF (Bayi Tabung).
Aiko, perempuan. Tak mungkin bisa mengganti posisi ayahnya kelak sebagai Kaisar ke-126. Musabab pasca restorasi Meiji 1868, diatur perempuan tak berhak jadi Kaisar. Juga, pasca Jepang kalah Perang Dunia II, atas kendali Dougles MacArthur 1945-1951, konstitusi Jepang direformasi. Hanya turunan laki-laki dari Kaisar Taisho berhak jadi keluarga istana. Turunan perempuan, usai menikah diharuskan hengkang dari istana. Menjadi rakyat biasa.
***
Kala Ben Hills menuntaskan buku ini 2006, Masako telah berusia 43, cara medis telah sulit mengharap rahimnya membuahi janin. Dengan sendirinya, mustahil lagi berharap dari rahimya terlahir calon penerus takhta di kekaisaran Jepang.
Tragis, kekaisaran Jepang bakal punah akibat kehilangan pewaris. Terkecuali, Masako lari dari istana, lalu Hirohito menikah lagi. Ataukah Hirohito mengambil istri selir, tapi meski tak verbal diatur dalam konstitusi pasca restorasi Meiji, serta reformasi McArthur, aib dan tabu bagi Kaisar mengangkat selir.
Kekaisaran Jepang benar-benar di posisi gamang. Tak ada pilihan lain, konstitusi Jepang sekali lagi butuh diamandemen. Perempuan kembali dibolehkan menduduki singgasana kekaisaran. Andai terlaksana, maka Aiko Naishinno — putri semata wayang pasangan Hirohito-Masako — kelak yang akan mewarisi takhta ayahnya. Mengikuti jejak delapan buyut perempuannya, dulu Kaisar di era Tokugawa, pra-restorasi Meiji.
Demi menyelamatkan “Dai Nippon Teikoku” dari kepunahan, amandamen konstitusi dinilai opsi terbaik. Namun, 2006, saat wacana amandemen disiapkan, Kawashima istri Fumihito — adik kandung Naruhito — hamil. Melahirkan anak ketiga, laki-laki dinamai Hisahito. Kekaisaran bersuka ria, akhirnya datang jua lelaki penyelamat dari kepunahan.
Kelahiran Hisohito, menjawab semua teka teki lebih dari satu dekade, tentang siapa gerangan pewaris takhta kekaisaran Jepang berikutnya. Rencana amandemen konstitusi, pun tak berlanjut. Lalu, ditetapkanlah bahwa pewaris takhta pasca Naruhito, adalah adik kandungnya, Fumihito. Urutan kedua, siapa lagi, pastilah Hisahito.
Hisahito, hadir tak semata menutup celah punahnya kekaisaran, tetapi sekalian menyelamatkan Masako dari pusat timpuk kekesalan semua pihak. Akibat ketakberdayaannya melahirkan sosok yang tak hanya calon penerima tongkat estafet kekaisaran, tapi sekalian simbol “ketuhanan” rakyat Jepang yang dominan penganut agama Shinto.
***
Terakhir, sekira apakah dalih buku “Princes Masako” ini dilarang cetak dan beredar di Jepang? Dari berbagai sumber, salah satu musababnya. Diksi dipakai penulis Ben Hills, menyebut Masako “Stress dan Depresi”. Diksi itu, bagi pihak istana ditafsir “sakit jiwa”. Padahal Masako hanyalah terserang “adjustment disorder”, gangguan penyesuaian.
Apapun dalihnya, Princes Masako yang brillian itu, dulu ubahnya Elang yang gagah, terbang bebas ke Moskow, lalu Cambridge USA, hingga Oxford Inggris. Tapi sayang, di ujungnya tragis. Dia dicebloskan ke dalam sangkar kuno, serba kaku, demi mengerami ovarium, indung telurnya untuk memenuhi hajat besar. Melahirkan calon Kaisar Jepang ke-127.
Namun, takdir berkata lain, gagal. Duh..!!
Makassar, 20 Juli 2024