Hari Ulang Tahun (HUT) Pasangkayu di 2018 ini, menyisakan cerita ‘bersambung’: bukan pada meriahnya pameran. Tidak pula karena ramainya saat seremoni. Dan, bahkan tak berkesan apik saat napak tilas yang lalu.
Lalu, kisah pendek apa yang ‘bersambung? Tentang, ada yang seolah dilupakan. Merasa ditinggalkan dalam mengayuh biduk berkemajuan Pasangkayu kini.
Tapi tidak bagi lelaki yang telah memasuki periode ketiga duduk di DPRD Pasangkayu, Sulawesi Barat, yang saat ini sebagai wakil ketua dewan.
“Saya tidak merasa ditinggalkan. Tidak pula dilupakan. Toh, saya hadir di sini, di tempat keramaian ini. Saya bersenda gurau dengan sekalian warga Pasangkayu,” katanya, enteng.
Ia tak ingin risau. “Mungkin, ada yang keliru saat gelaran HUT ini, iya, itu biasa. Lumrah. Atau, mungkin pula ada yang sengaja menyetir jalannya napak tilas, kita tak perlu berprasangka lain-lain,” begitu jawaban ‘Narasumber’ ini ketika kru laman ini melayangkan pertanyaan melalui layanan WhatsApp pada puncak HUT Pasangkayu, 18 April 2018.
TRANSTIPO.com, Mamuju – Masih ingat buku Sinar Terang dari Utara?—goresan Sarman Sahuding, 2015. Ah, itu mungkin tidak penting. Anda semuanya sudah membacanya—warga kabupaten paling utara di Pulau Sulawesi ini.
Jika memang belum melihatnya, membacanya bisa melalui sajian singkat yang sederhana ini.
Nun jauh di sana, di sebuah pelosok kampung tua terhampar ilalang tumbuh suburnya. Diselang selingi pohon-pohon menjulang, seolah hendak merengkuh tumit angkasa.
Tak ada lumut merayap di batangnya yang kukuh, keras. Di ketinggian yang tampak jamak yang menjadikannya majemuk. Dedaunnya yang tunggal bertulangan menyirip. Ia sekadar bisa meneduhkan seluasan tempat berpijak dari akar-akar serabutnya yang padat menyusup ke tanah yang kering berpasir.
Dari batangnya yang umumnya tunggal, bukanlah tempat berteduh yang nyaman. Cukup datang dipanjat, buah-buahnya kemudian berjatuhan. Itulah kelapa. Sebuah tanaman yang mengakrabi perkampungan Bambaloka—tempo dulu.
Padang ladang yang terhampar luas itulah narasumber laman ini mengelanakan separuh hidupnya di masa silam—ketika masih kanak-kanak dan remaja.
Tentang kelapa dan Musawir Azis Isham, dua hal yang menyatu dalam kampung tua Bambaloka.
Dulu, ketika kampung Bambaloka masih menjadi salah satu desa tua di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Selatan, tersebutlah seorang punggawa kampung yang pesohor.
Siapa beliau? Dia adalah Haji Azis Isham. Seorang kakek berpostur tinggi padat berisi itu adalah Kepala Desa Bambaloka sepajang masa—jabatan baru berpindah peran ketika ia telah berpulang, beberapa tahun lalu.
Azis Isham inilah ayah kandung Musawir, lelaki 44 tahun. Potensi pemimpin dalam diri mendiang Haji Azis Isham seolah menurun secara alamiah kepada anak lelakinya itu: Musawir Azis Isham.
Salah satu ‘kekayaan’ tokoh Azis Isham adalah luas kebun, yang di dalamnya ada kelapa dan berekor-ekor ternak sapi. Berkat inilah pula Musawir kecil merasakan ‘nikmatnya’ menjadi anak dari seorang ayah yang terpandang di kampung Bambaloka itu.
Tentang kekayaan akan buah sawitnya, tidak dibahas dalam sajian tulisan kali ini.

“Musawir adalah the rising star,” tulis indonesiana.TEMPO.CO, Minggu, 14 Juni 2015. Memang, dalam perjuangan pembentukan Kabupaten Mamuju Utara—kini Kabupaten Pasangkayu—Musawir layak disebut bintang.
Ia rajin menggalang banyak pihak, dari sebayanya hingga tokoh besar, menyatu dalam perjuangan pemekaran daerah tempo itu.
Talentanya sebagai pemimpin tidak datang begitu saja. Sejak remaja, ia telah tunjukkan kemampuannya mengayomi banyak rekan-rekan sekolah dan sepermainannya.
Di kampus ia menimba ilmu, Musawir adalah sosok yang selalu dirindukan kawan-kawannya. Tak salah ketika mahasiwa Mamuju yang berhimpun di Makassar, Sulawesi Selatan, menunjuknya selaku ketua.
Bahkan, Hipermaju—nama lembaga berhimpun itu—seolah kehilangan pamor sepeninggal Musawir.
Di kabupaten paling utara itu, Musawir betul-betul mampu membuktikan jika dirinya seorang memimpin: ia mampu duduk di legislatif untuk tiga periode secara beruntun dengan perolehan suara pribadi yang layak diacungkan jempol.
Pada Sabtu, 20 April, kemarin malam, Musawir begitu cerewet di ujung telepon ketika berbicang dengan transtipo.com.
Bukan semata soal HUT ke-15 Pasangkayu yang ia luruskan dari perdebatan di medsos dan beragam portal berita, bahwa HUT kali ini seolah melupakan suhu perjuangan—tempo dulu.
Salah satu roh perjuangan yang seolah hilang kini adalah tak dilibatkannya sejumlah pejuang inti ketika napak tilas berlangsung atau ketika penyebutan siapa itu pejuang yang legitimate.
Tapi topik ini, ia tak terlalu tertarik membahasnya. Yang ia ulas panjang adalah tentang wacana Pilkada langsung serentak hendak diganti dengan sistem yang baru: pemilihan kepala daerah kembali ke DPRD.
Jika itu terjadi — tapi semoga saja tidak — maka salah satu substansi tuntutan reformasi di masa lalu akan tercerabut.
Tentang topik ini akan diulas khusus pada tulisan berikutnya.
Kelemahan mendasar Musawir adalah—di sejumlah momentum politik di utara tetunya—ia terlampu lunak dan hormat kepada Agus Ambo Djiwa, rekan mudanya dalam perjuangan bentuk kabupaten.
Ia selalu rela dalam posisi mengalah, lalu beri jalan kepada rekannya itu, Agus, Bupati Pasangkayu kini untuk periode lima tahun kedua.
SARMAN SHD