Pengantar Laporan Dewan Kehormatan di Kongres XXV PWI

870
ILHAM BINTANG, Ketua Dewan Penasehat PWI Pusat periode 2023-2028. (Foto: Istimewa)

Dibacakan Senin, 25 September di depan peserta kongres

Catatan ILHAM BINTANG Ketua DK PWI 2018-2023.

KAMI ingin mendahulukan permohonan maaf kepada selurwuh anggota PWI di seluruh Indonesia, khususnya peserta Kongres XXV PWI, atas segala kekurangan kinerja Dewan Kehormatan PWI selama 5 tahun terakhir.

DK mengemban amanah Kongres XXIV Solo tahun 2018 untuk priode kepengurusan 2018-2023.

Kami, pengurus DK: Saya (Ketua), Sasongko Tedjo (Sekretaris), Karni Ilyas, Asro Kamal Rokan, Tri Agung, Nasihin Masha, Raja Pane, Rosiana Silalalahi, dan Dhimam Abror.

Selama priode 5 tahun, kami beberapa kali berubah formasi. Peter Gontha mengundurkan diri karena terpilih sebagai anggota Dewan Pakar Partai Nasdem. Suryopratomo menyusul karena terpilih sebagai Duta Besar RI di Singapura. Teguh Santosa mundur lantaran terpilih sebagai Ketua JMSI.

Terakhir, Dhimam Abror pun mengundurkan diri karena menjadi Tim Sukses Bacapres Anies Baswedan. Harap dicatat: Pengunduran diri kawan-kawan itu bukan karena percekcokan, melainkan demi menaati aturan di PWI, yang tidak boleh merangkap jabatan dengan jabatan di pemerintahan maupun dalam struktur parpol.

Kami, seluruh anggota DK menyadari sepenuhnya mengemban posisi yang sangat tidak populer.

Tupoksi DK memang mengawasi dan memberi sanksi bagi anggota yang melakukan pelanggaran aturan organisasi. Khususnya yang berkaitan dengan etika dan prilaku tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya jajaran pengurus. Menjadi persoalan kemudian ketika sanksi itu mengenai pengurus harian bahkan Ketua Umum.

Belum pernah terjadi di dalam sejarah PWI, Ketua Umum mendapatkan dua kali teguran keras dari DK. Ketua Bidang Organisasi Sdr Zulkifli Gani Ottoh dan Sekjen PWI, Sdr Mirza Zulnadi mendapatkan sanksi skorsing satu tahun. Bahkan ada Ketua PWI Provinsi Sumbar Basril Basyar bahkan mendapat sanksi pemecatan.

Jika sanksi tersebut tidak dilaksanakan, itu menjadi urusan Pengurus Harian sendiri. Sikap penolakan seperti apapun tentu saja tidak menggugurkan sanksi DK PWI.

DK PWI memang tidak memiliki wewenang polisional. Pengurus Harian PWI maupun DK akan mempertanggungjawabkan sanksi yang tidak dilaksakan di kongres, di depan hadirin yang terhormat.

Yang jelas, sanksi DK bukan personal attack atau bersifat pribadi, melainkan berkait dengan tindakan untuk menegakkan marwah profesi dan organisasi PWI. Seluruh anggota PWI kawan kami, satu profesi. Jangan khawatir.

Betapapun tajam perbedaan pandangan saya dengan Atal Depari soal organisasi, tidaklah mengorbankan pertemanan.

Ketika Atal terpapar Covid19, saya orang pertama mengirim ke rumahnya tim medis, mengirimi Ivermectin, obat cacing anti Covid19. Atal berkali-kali ke rumah saya bersilaturahmi di tengah gencarnya perbedaan itu.

Atal termasuk juga tamu pertama yang datang ketika saya menggelar resepsi perkawinan putri bungsu Desember tahun lalu.

Seperti disebut di depan, apapun langkah DK, menegur atau memberi sanksi, pasti beresiko akan berhadapan dengan anggota sendiri.

Begitulah beban amanah yang kami pikul. Semua termaktub di dalam PD PRT, Kode Etik Jurnalistik maupun Kode Perilaku Wartawan.

Adapun KPW, aturan itu merupakan produk terbaru Kongres XXIV Solo. Kami tahu ada banyak dalil mau menggugat KPW tersebut.

Tetapi tidak satupun dalil Pengurus Harian PWI yang dapat mereduksinya. Mau menggunakan “surat pernyataan sikap” ataupun menggunakan istilah dianulir untuk mengelak sanksi. Istilah-istilah itulah tidak terakomodasi di dalam konstitusi organisasi.

Singkatnya, KPW dan seluruh aturan baru PWI disahkan di Kongres. Bahwa ada anggota pengurus yang tidak mengingat, itu masuk akal, tapi bukan berarti tidak disahkan.

Pengesahannya memang dalam forum kongres tidak banyak dihadiri peserta waktu itu. Maklum lah, Pemilihan Ketua Umum PWI selalu menjadi menu utama. Eforia kawan-kawan menyambut terpilihnya Ketum baru tidak terbendung.

Apalagi aturan organisasi yang disebut memang tidak dibahas di dalam kongres. Ada komisi khusus yang dibentuk membahas itu. Kongres tinggal mengesahkan. Dengan beberapa rekomendasi yang sifatnya tehnis.

Salau satu kekurangan DK PWI Pusat priode lalu berkaitan dengan sosialisasi hasil Kongres Solo 2018: PD PRT, KEJ dan KPW.

Pengurus PWI Pusat hasil Kongres PWI Solo terbentuk akhir 2018. Tetapi secara keseluruhan aturan produk kongres setahun kemudian baru efektif.

Tim dipimpin Sasongko Tedjo, yang ditugasi merampungkan penyelarasan redaksionalnya baru merampungkan tugasnya tahun 2019. Baru beberapa bulan diberlakukan secara resmi oleh Ketua Umum PWI Pusat Atal Depari, datang musibah Pandemi Covid19.

Persoalan semakin rumit karena kas PWI kosong untuk membiayai sosialisasi. Iuran anggota sudah lama tidak berjalan.

Padahal, itu diamanatkan di dalam PDPRT. Berharap sponsor di masa pandemi seperti mengusung batu ke gunung. Semua pihak berkonsentrasi mengatasi dampak pagebluk itu.

Beruntung ada aplikasi Zoom, sehingga melalui saluran online itulah sebagian besar aktifitas DK termasuk sosialisasi dapat dilaksanakan. Begitu pun terbatas hanya dengan pengurus DKP se Indonesia.

Sedangkan Sosialisasi luring (luar jaringan) alias off line atau tatap muka secara langsung diselenggarakan baru tiga kali, antaranya di Kendari dan di Medan dalam momentum Hari Pers Nasional di kota itu masing-masing.

Satunya lagi di Batam dan Singapura bulan Juli lalu yang Diikuti sekitar 50 wartawan dan beberapa pengurus PWI dari beberapa provinsi. Panitia sebenarnya mengundang juga semua pengurus PWI se Indonesia.

Mereka menyediakan fasilitas menginap di hotel, konsumsi, juga transportasi ferry menyeberang ke Singapura menjadi tanggungan tuan rumah. Hanya tiket pesawat dari daerah asal ke Batam diminta ditanggung masing-masing. Tampaknya itulah yang berat. Bisa dimaklumi, harga tiket pesawat dari Indonesia Timur, misalnya, pergi pulang ke Batam mahal sekali.

Betapapun, sebagai Ketua DK PWI Pusat saya menyampaikan apresiasi dan berterima kasih kepada Ketua PWI Riau, Bung Zulmansyah Sakedang, yang mengnisiasi acara sosialisasi itu.

Pilihan topik membahas kode etik dan kode perilaku wartawan saya nilai tepat. Itu pula acara sosialisasi tatap muka pertama dan satu-satunya yang dapat saya hadiri hingga masa tugas 5 tahun berakhir.

Saat membuka acara itu saya sampaikan pentingnya KEJ dan KPW karena merupakan konsep operasional moral wartawan.

Semakin relevanan dibicarakan di era disrupsi media, yang terkesan seakan semua hal bebas dilakukan oleh wartawan.

Wartawan memang profesi terbuka. Tidak seperti dokter, harus sekolah kedokteran atau lawyer yang mesti lulus sekolah hukum. Seseorang yang bahkan hanya mengaku-ngaku wartawan saja pun berkeliaran di mana- mana.

Bahkan ada yang berhasil menyusup menjadi pengurus organisasi tanpa skill dan memahami filosofi kewartawanan. Motivasinya macam-macam pula. Di situ lah letak relevansinya untuk semakin menanamkan konsep operasional wartawan profesional.

Dalam kesempatan sosialisasi kami selalu mengingatkan ada lima syarat yang harus dipenuhi seseorang dapat disebut profesional wartawan.

1. Bekeja secara tetap di media pers.
2. Dari pekerjaan itu ia memperoleh nafkah.
3. Pekerjaannya/profesinya punya organisasi.
4. Organisasinya memiliki kode etik.
5. Organisasinya memiliki lembaga yang mengawasi ketaatan anggota pada kode etik profesi.

Karena bekal itu, profesi wartawan merupakan satu dari hanya empat professi (tiga lainnnya dokter, guru, dan advokad) di Tanah Air yang mendapat pengakuan masyarakat hingga sekarang. Karena profesi wartawan terikat dengan kode etik dan memiliki lembaga pengawasan penaatannya.

Karena profesi wartawan terikat dengan kode etik dan organisasinya memiliki lembaga pengawasan penaatan aturan tersebut.

Itu yang dijaga dan dirawat DK PWI supaya tetap tertanam di dalam sanubari semua anggota PWI. Tetapi memang tidak mudah.

Demikian laporan kami, salam sehat semua.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini