Dr. H. Suhardi Duka, MM, Bupati Mamuju (2005–2010, 2010-2015)
Ia seorang PNS. Melihatnya 15 tahun lalu dengan motor vespa tuanya yang setiap hari dipakai ke Kantor Departemen Penerangan Mamuju, terkesan biasa. Catat, itu 15 tahun lalu. Sekarang sudah bukan PNS lagi. Sebuah mobil Pajero hitam dengan angka tunggal di pelat merah, menjelaskan posisinya kini: Bupati Mamuju.
Drs. H. Suhardi Duka, M.M. terbilang cepat meraih karier politik di puncak. Tidak salah, ia aktivis organisasi, pimpinan Partai Golkar, dan ini yang paling utama: ia berani. (Naskah Buku 2005)
TRANSTIPO.com, Mamuju – Dimulai komunikasi lewat telepon. Narasumber yang memutuskan tempat wawancara berlangsung. “Silakan Anda datang ke Jalan Rappocini Raya, Lr 9.” Suara di ujung telepon jelas Suhardi Duka, Ketua DPRD Kabupaten Mamuju. Saat itu tahun 2003. Rumah pribadinya di Jalan Rappocini, Makassar, itu tak tampak secara kasat dari jalan Rappocini Raya.
Rumah ini sudah berumur, hanya catnya yang baru. Di rumah itu terparkir mobil Nizan Terrano hitam dengan pelat angka yang menjelas kan ia Ketua DPRD Mamuju. Tampak kecil dan tak terlihat mewah. Di daun pintu belum terpasang nomor rumah.
“Yang pasti rumah ini dibangun dengan proses perizinan yang baik, nomornya akan menyusul,” kata Suhardi Duka sembari tersenyum.
Ia ditemani ajudan dan seorang sopir. Mudah menemukan setelah sudah sampai di lorong sembilan. Warna catnya dominan kuning, dari depan hingga di ruang tamu. Di ruang tamu ada sepasang sofa bagus buatan Jepara. Pada sebuah dinding pembatas antara ruang tamu dan ruang tengah tersampir sebuah foto ukuran besar dengan bingkai kayu ukir: foto Suhardi Duka dan istrinya, Harsinah, pakai kebaya.
Saya datang menemui narasumber ini selaku wartawan sebuah media kecil yang saya bina di Makassar tempo itu: Jurnal PUS, media cetak stensilan. Tahun 2003 Suhardi Duka genap berumur 41 tahun. Lahir di Mamuju pada 10 Mei 1962. Momentum itu Suhardi Duka seperti berada dalam pandangan futuris orang barat: Life begins at forty—hidup dimulai dari 40 tahun.
Masa kecilnya tak ubahnya dengan anak-anak lainnya. Tumbuh dan bermain bersama. Musim panen tiba Suhardi bersama rekan-rekannya ramai-ramai turun ke sawah. Ia bermain padi-padian dengan memotong daun padi. Dipilihnya daun padi yang lebar lalu dilipat dan pada ujung atasnya yang lancip direkatkan.
Dengan begini terbentuk perahu, perahu Sandeq. Mereka mencari di mana ada air tergenang bergelombang lalu berkumpul, main perahu perahu pun dimulai. Lomba perahu Sandeq dimulai: siapa yang bertahan dengan perahu tetap tegak dia yang menang. Kalau sudah begini bahagianya tiada terkira.
“Kalau perahu sudah berlayar sungguh kebahagiaan luar biasa. Perahu saya kerap duluan tiba di tepi, itu pertanda saya juara,” kenang Suhardi Duka diselingi tawa.
Amarah orang tua kerap datang karena dianggap bisa merusak batang padi. “Kami tak peduli, yang penting senang dan bisa tertawa,” Suhardi mengenang. Suhardi sosok anak kampung. Menyelam di sungai yang dalam dengan arus deras. Memanjat pohon mangga dan langsat pekerjaannya saat musim buah tiba. Sedikit nakal, sering panjat buah-buahan di kebun orang. Tapi itu dimaksudkan main-main.
“Kami sama sekali tak mengenal video game, lomba mobil tamia, semua itu jauh dari hidup kami,” katanya. Ia menjelaskan keadaannya, “Kami adalah gambaran orang-orang kampung untuk tidak mengatakan kaum pinggiran.” Peringkat ketiga di bangku SD Mamuju adalah modalnya melangkah masuk SMP.
“Sewaktu di SMP saya malah tambah tidak bertanggung jawab, saya sering bolos sekolah,” kata Suhardi. Soal bolos sekolah dan merokok adalah kelakuan yang paling dibenci bapaknya, Abdul Muthalib Duka— seorang staf di Kantor Depdikbud Mamuju. Soal merokok itu Suhardi Duka punya alasan tersendiri.
“Saya tak takut melakukan itu (merokok) di SMP ada om saya guru,” kata Suhardi. Masuk SMA Negeri 1 Mamuju. Suhardi mulai berubah. Pikirannya ke masa depan telah membentuknya memformat diri. “Saya harus mencoba menapaki diri dan haruslah berprestasi,” tekadnya.
Ia mulai tekun belajar. Posisi ketua kelas membuktikan Suhardi benar-benar berubah. Berembuk bersama mendirikan Study Club dan Suhardi ketua. Yang membuat mulai dan terus tegar ini: “Meski kita anak pinggiran tapi tak usah sungkan bergaul dengan anak-anak pejabat.
Suhardi punya modal besar bergaul dengan siapa saja karena ia ketua kelas dan juara di kelas. Soal bolos itu, masih pernah terulang semasa di SMA. Persentuhan dengan romantisme mulai ia rasakan ketika ia menaksir seorang siswa sebelah kelasnya. Suatu hari Nurul —nama samaran wanita yang ditaksir itu— sedang mengikuti olahraga.
Suhardi kemudian menyelinap ke luar kelas dan menunggunya di kantin sekolah. Nurul datang dan inilah perjumpaan yang pertama. Hubungan selanjutnya dirajut dengan saling berkirim surat: surat cinta. Kesepakatan bertemu lagi dengan password pinjam buku pelajaran. Dan seterusnya, jadi pacaran.
Dunia anak muda juga masa penuh gejolak. Suhardi Duka beruntung masih bisa mengontrol diri. Suhardi menyukai bidang studi IPS. Dasardasar pengetahuan politik mulai diserap di sini secara pelan-pelan. “Sejak saya di kelas III SMA saya sudah memahami akan citra yang baik, dan saya sudah mulai menanamkan cita-cita untuk menggeluti dunia sosial dan politik,” kata Suhardi.
Atiek Sutedja mengalunkan pita ke leher Suhardi Duka. Sang ayah Muthalib menyaksikan penghargaan yang diberikan Bupati Mamuju kepada anaknya itu. Hari itu pejabat Kabupaten Mamuju, orang tua siswa dan murid kelas tiga tumplek di aula SMA Negeri 1 Mamuju mengikuti acara perpisahan. Suhardi lulus ujian dengan lulusan terbaik.
Penghargaan itu inisiatif Pemda Mamuju, tetapi bukan berupa uang melainkan akan dibangunkan pagar sekolah SMA 1 Mamuju yang dananya ditanggung pemda. “Ini adalah penghargaan yang sangat berarti dan bermanfaat yang bisa dinikmati pelanjut kalian,” demikian pesan Bupati Atiek Sutedja di depan siswa dan para orang tua siswa, yang ditirukan Suhardi Duka.
Seangkatan Suhardi Duka ada 100 orang yang lulus, 40 orang nekat ke Makassar melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. “Ini betul-betul nekat sebab tak ada yang mengurus,” katanya. Malah ia menyebut, serombongan perantau pendidikan dari Mamuju ini bak rusa masuk kampung.
Ada suatu kejadian yang Suhardi tak akan pernah lupa. Sedang berada di Pasar Sentral Makassar. Pulang naik angkot pete-pete dengan tujuan Jalan Beruang, artinya naik pete-pete jalur Veteran-Jongaya. Hingga tiga kali putar barulah mereka sadar angkot yang ditumpangi ternyata jalur Sentral-Tallo (Ujung Pandang Baru). Sudah malu dapat amarah pula dari sang sopir.
Begitulah kisahnya saat pertama kali ke Makassar. Raut muka Suhardi ceria saat memelototi papan pengumuman di Kampus Baraya Universitas Hasanuddin. Ia satu-satunya siswa asal Mamuju lulus di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Hasanuddin. Kebanggaan serupa dialami seorang temannya —jebolan terbaik jurusan IPA SMA Mamuju— lulus pada Program Ahli Teknik (PAT) D-3 Unhas.
Saat itu tahun 1981. Sejak masuk kampus Universitas Hasanuddin di Baraya, organisasi ekstra kampus Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) pilihannya. PMII inilah mengantarnya mengenal dinamika politik nasional meski masih sebatas dasar-dasarnya.
Suhardi kian matang setelah terpilih menjadi pengurus PMII Komisariat Unhas. Bersamaan di organisasi intra terpilih pengurus Komisariat Korps Mahasiswa Publisistik (Komapu). Organisasi dan menulis adalah talenta tersendiri bagi Suhardi. Ia bergabung pada penerbiatan kampus tabloid Identitas —salah satu media kampus terbaik tingkat nasional pilihan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta dan Lembaga Pers Dr. Sutomo (LPDS) Jakarta beberapa tahun lalu.
Di media kampus ini Suhardi bertemu penulis-penulis ternama, semisal Sinansari Ecip dan Goenawan Mohamad. “Memang saya tak begitu lama berkecimpung di identitas, tapi dari sana saya dapat membangun hubungan yang lebih luas terutama dengan tokoh-tokoh yang punya pengaruh di Sulawesi Selatan,” katanya bangga.
Suhardi paham betul daerah Mamuju. Ia ingin memberi sumbangsih pemikiran terhadap daerahnya. Bergabung di organisasi daerah Hipemaju adalah satu cara menelorkan sumbangsih itu. Lembaga mahasiswa Mamuju di Makassar berada di Jalan Beruang 21.
Pernah sekali waktu terbangun dua arus pemikiran. Satu kelompok menghendaki agar Hipermaju terpisah dari Persukma—wadah berhimpun masyarakat Mamuju di Makassar. Kelompok yang lain menghendaki tetap bergabung antara Persukma dan Hipermaju. Di mana posisi Suhardi Duka?
“Saya menilai masyarakat Mamuju di Makassar kecil, tak menguntungkan kalau dua organisasi ini berpisah.” Suhardi menelorkan sebuah ide Hipermaju perlu menguatkan hubungan emosional baik antarmahasiswa maupun masyarakat Mamuju keseluruhan.
Menurutnya, sebaiknya ada sebuah forum khusus kepelatihan kepemimpinan Hipermaju, namanya Latihan Kepemimpinan Hipermaju (LKM). “Saya yang pertama menggagas ide LKM itu. Artinya, diharapkan tercipta calon intelektual muda yang memahami budaya dan perjuangan masyarakat Mamuju.
Selain itu, LKM ini tetap ada benang merah antara insan intelektual muda dengan masyarakat Mamuju,” ujar Suhardi Duka. Aktif di organisasi kampus baik intra maupun ekstra serta Hipermaju tak sampai membuat kuliahnya terhambat. Justru membuat Suhardi semakin matang.
Dinamika yang terjadi di kampus tak pernah ia lewatkan. Ia pernah terlibat dalam pembakaran mobil wali kota madya Ujungpandang Kolonel Abustam. Achmad Amiruddin sebagai Rektor Universitas Hasanuddin saat itu cukup mengayomi mahasiswa, misalnya tak pernah menjatuhkan skorsing kepada mahasiswa yang melakukan demonstrasi dan pembakaran mobil tersebut.
Saat itu wali kota Abustam mencampuri urusan kampus dengan alasan berpedoman aturan NKK-BKK, sementara mahasiswa menganggap wali kota telah melanggar otonomi kampus. Bergulat pelajaran di kampus dan tetap mengingat pesan orang tua di kampung agar selesai tepat waktu.
Suhardi paham benar dua gejolak yang ia hadapi itu. Sekali waktu di sebuah pesta salah seorang kerabatnya ia hadir dan tak disangka matanya menangkap wajah seorang gadis. Harsinah namanya. Dara muda asal Gowa, Sulawesi Selatan, itu selalu hadir dalam tidurnya.
Tak pelak, meski belum selesai kuliahnya di Universitas Hasanuddin, Suhardi mempersunting gadis pujaannya itu. Tahun 1983 ayahnya, Muthalib Duka, menjadi penyaksi pernikahan Suhardi dan Harsinah. Meski umurnya baru 21 tahun, Suhardi Duka (SDK) punya beban ganda: menyelesaikan kuliah dan membina keluarga yang baru.
“Modal kami hanya satu: sepakat menderita,” kata Suhardi tegar. Tahun berikutnya anak pertama mereka lahir, Sitti Sutinah Suhardi. Sebagai seorang suami dan ayah, Suhardi kian terpacu bekerja. Mulai aktif di BKKBN, Departemen Penerangan, dan TVRI Makassar. Tahun 1985 terbuka penerimaan pegawai di Departemen Penerangan (Deppan).
Peruntungan berpihak padanya, ia diterima masuk PNS dengan Golongan II dan ditempatkan di Kabupaten Mamuju. Kuliahnya tinggal setahun mesti ia selesaikan sambil separuh waktunya mengabdi sebagai PNS di Deppen Pemkab Mamuju. Tahun 1986 SDK resmi menyandang gelar sarjana (S-1) dari Universitas Hasanuddin dan berupaya penyesuaian menjadi Golongan III.
Akhir tahun 1986 SDK dan keluarga kembali ke Mamuju, kampung halamannya. Modalnya lumayan: ijazah sarjana, pengalaman organisasi, seorang istri setia, satu orang anak, SK PNS.
“Kelimanya adalah modal berharga yang saya miliki memulai hidup baru di kampung halaman,” terang SDK bangga. Ayunan langkah kakinya ke Mamuju terhenti sejenak ketika seorang temannya membisikkan sebuah pesan: “Jangan kembali ke Mamuju kalau ingin besar, karena budaya orang Mamuju tak bisa membesarkan orangnya sendiri.”
Sejenak SDK diam. Langkah tak boleh surut. “Saya bantah, jangan lihat pohon yang sejak zaman dahulu besarnya tak berubah hingga kini, tapi Mamuju butuh tenaga SDM, butuh generasi muda yang terdidik,” SDK kukuhkan filosofi. Amarah SDK tak bisa lagi tertahan setelah 14 tahun berdinas di Deppen Pemkab Mamuju, tetapi tetap di posisi staf.
“Saya hampir frustrasi dan membenarkan pesan teman dan orang tua di atas,” kenangnya. SDK seolah hendak mencari jati dirinya yang baru. Menjadi staf di kantor dengan iklim yang rasanya sudah tak sehat, perlu ada strategi baru.
“Saya masih ingat betul nama pimpinan saya waktu itu (kepala Deppen Mamuju), tapi hari ini saya ucapkan terima kasih kepada mereka sebab dengan merekalah saya bisa jadi. Saya malah kuat mental dan fisik dalam menghadapi setiap tantangan.” Dalam hatinya marah, berada di lingkungan kerja yang membuatnya tak bisa naik, salah satu penyebab di lingkungan kerjanya ‘‘KKN’‘ begitu subur.
Memahami keadaan begitu ia tetap bekerja dan bersabar. Satu hal yang membuatnya selalu berbesar hati —dan itu yang tak bisa di-KKN kan— yakni empat kali mengikuti pendidikan profesi di Deppen untuk Kawasan Timur Indonesia, ia selalu ranking satu. “Di jajaran Kandep Deppen Sulsel saya dijuluki buaya ranking karena tak ada pelatihan atau pendidikan yang saya ikuti tidak ranking,” kisah SDK.
SDK organisatoris yang mumpuni. Pemuda Panca Marga (PPM) Mamuju, terpilih jadi Ketua AMPI Kabupaten Mamuju (1993), dua periode Ketua KNPI Kabupaten Mamuju (2003 dan 2006). Ia mulai masuk Partai Golkar sejak 1990. Dengan Golkar pulalah yang mengantarnya masuk parlemen Kabupaten Mamuju sebanyak lima kali —hingga menjadi Ketua DPRD Kabupaten Mamuju.
Periode keanggotaannya di DPRD Kabupaten Mamuju: (1992–1997), (1997–1999), (1999–2004), dan (2004–2005). Karier politik SDK menukik. Terkadang ada momentum tertentu menohok. Pemilu 1999, pemilu pertama pascareformasi 1998, dihadapkan pada dua pilihan: tetap PNS di Deppen atau karier politik. Umur 36 tahun dengan Pangkat III/D di PNS.
Ia masih muda meski tak ada jaminan akan jadi apa di jalur pamong. Mundur dari PNS untuk terus aktif di partai politik tantangannya tak mudah. Harsinah —istrinya— tempatnya bersandar dan SDK harus dengar apa keputusan istrinya itu. Harsinah tahu kalau dalam pikiran suaminya itu tetap memilih Partai Golkar dan rela pensiun dini PNS. SDK cenderung di jalur partai.
“Bila itu yang terbaik menurut Bapak saya pun ikut mendukung,’’ kata Harsinah menguatkan pilihan suaminya. Harsinah seolah tahu makna sebuah pilihan. Ujian di depan terbukti, sang istri tak pernah mengeluhkan sesuatu pun pada suami. Keduanya punya tekad,
“Andai Golkar atau perahu yang sedang bocor dan ada yang lompat menyelamatkan diri, maka saya tetap tinggal di perahu itu lalu ikut tenggelam.” Semuanya berubah. Usai Pemilu 1999, Kecamatan Mamuju —daerah pemilihannya— Partai Golkar meraih 61 persen suara. Ini suara kemenangan.
Tak lama setelah pemilu, Kabupaten Mamuju memasuki suksesi kepemimpinan periode 1999-2004, pemilu yang mengantarkan H. Almalik Pababari, Ketua DPRD Mamuju saat itu dus Ketua DPD Golkar terpilih sebagai Bupati Mamuju. Kursi ketua DPRD kosong, 30 anggota DPRD mulai menimbang-nimbang nama SDK. Modalnya menuju Ketua DPRD Mamuju ada dua: ketua Fraksi Partai Golkar—fraksi mayoritas di parlemen Mamuju—dan sekretaris Partai Golkar Kabupaten Mamuju.
SDK seolah dililit tradisi partainya: senioritas. Politisi brilian? Tunggu dulu, di sini ia diuji melanggar tradisi partai dan melawan arus besar yang mungkin muaranya ke wakil dari fraksi TNI/ Polri atau salah seorang senior Golkar yang saat itu menduduki wakil ketua. Kekhawatiran itu sempat jadi bahan pikirannya sebelum pemilihan ketua berlangsung.
Dari tiga calon ketua dewan, hasilnya 15 suara menyebut nama SDK dalam voting tertutup itu. SDK menang. Posisinya selaku ketua DPRD memungkinkan membangun hubungan sebaik mungkin dengan eksekutif, terlebih Bupati Mamuju Almalik Pababari adalah rekan separtainya sekaligus ketuanya DPD II Golkar Mamuju. Parlemen yang dipimpinnya berusaha memberi pertimbangan dan kontrol kepada eksekutif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Mamuju dan menggenjot PAD.
Dalam benaknya, dua hal ini harus sejalan, “Apalah artinya PAD tinggi kalau terjadi pemerasan di sana sini,’’ pikir SDK. Di tahun pertama memimpin DPRD atau 1999, catatan PAD Mamuju berkisar Rp1 miliar dan hingga tutup tahun perolehan PAD mencapai Rp2,5 miliar, “Ada kenaikan yang signifikan,” katanya.
Saat pemerintahan otonomi daerah berlaku efektif PAD Mamuju rata-rata Rp7,5 miliar. Kalau mau digenjot seperti daerah lain bisa mencapai Rp15 miliar. “Yang kami bidik adalah HPH dan pengusaha menengah ke atas, sedang pengusaha kecil kami tak bebankan pemasukan,” kata Ketua DPRD Mamuju itu.
Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat kembali digulirkan beberapa tokoh asal Mandar pada awal 1998, satu tahun kemudian masyarakat Pasangkayu (Mamuju Utara) hendak membentuk kabupaten sendiri, berpisah dari Mamuju. Ini proses politik penting dalam karier politik SDK. Menyikapi dua agenda di atas mengingat posisinya selaku Ketua DPRD Kabupaten Mamuju mengurainya tak gampang. Perannya sangat menentukan dua agenda tersebut.
Di masa dan pada perannya itu, SDK kadang menuai pujian, tetapi tak sedikit pula cacian dihujamkan padanya, terutama datang dari warga Mamuju Utara dan Mandar. Syahdan, pada tahun 2000 sebuah surat keputusan (SK) sebagai surat persetujuan dikeluarkan DPRD Kabupaten Mamuju, dengan salah satu klausul SK menyebutkan menyetujui pemekaran Kabupaten Mamuju Utara pada tahun 2003 dan mendukung pembentukan Provinsi Sulawesi Barat dengan Ibu Kota Mamuju.
Dengan ini bagai genderang perang ditabuh. Masyarakat Mamuju Utara tak menerima sepenuhnya isi surat persetujuan itu dengan menekankan tahun 2003. “Tak usah dicantumkan tahun dan kenapa harus tahun 2003,” begitu isi protes ketika itu. Tapi prediksi SDK tak meleset.
Pada pertengahan Januari 2003, RUU pembentukan kabupaten dan kota di seluruh Indonesia disetujui oleh DPR RI menjadi undang-undang, dan Mamuju Utara dan Luwu Timur termasuk di dalamnya. Polemik yang dimulai SDK berjalan kadang tak sehat. Para politisi lokal dan pemerintah lokal ikut terseret dalam bahasan mengapa sejak dini Ketua DPRD Mamuju menuntut daerahnya “harus” jadi ibu kota Sulawesi Barat, mencermati kritik demi kritik di media massa.
SDK, oleh sebagian kalangan dianggap memancing keretakan antara Mamuju, Majene, dan Polmas. Tetapi ia tetap tegar mempertahankan konsep itu sebab tentulah ada alasan yang mendasar. Kritik dan intrik berakhir sudah dan kalaupun harus ada yang keluar sebagai pemenang maka SDK orangnya.
Buktinya, seluruh elemen di Sulawesi Barat dan Tim Pansus DPR RI yang turun ke daerah di tiga kabupaten meminta agar masyarakat Mandar menerima Kota Mamuju sebagai Ibu Kota Provinsi Sulawesi Barat. Dan bila Rahmat Tuhan memang begitu, Suhardi bakal bertambah bangga sebab, “Rencananya pembentukan Provinsi Sulawesi Barat akan disahkan pada Maret atau April 2003 ini,” kata Ibnu Munzir Bakri Wahid, Ketua Pansus Sulbar yang juga anggota DPR RI dari Fraksi Golkar.
“Itu artinya prediksi saya benar, kan!” kata SDK, anak kaum pinggiran itu. Sebuah Suszuki Terrano hitam mengkilap berpelat merah ‘‘2 S‘’ setia mengantarnya menyusuri jalan kecil sebelum menuju ke Jalan Rappocini Raya, Makassar. Hari itu dua orang stafnya setia mendampinginya. Sopirnya sengaja menginjak pedal gas lebih dalam agar mobil melaju, berlalu dari jalan tol reformasi, ia telah meninggalkan Kota Makassar menuju Mamuju.
Selama SDK ke Makassar (akhir Februari) Hj. Harsinah tak sendiri tinggal di rumah dinas yang berdiri megah nan asri di tengah Kota Mamuju. Di sekelilingnya enam orang putrinya dan anak lelaki semata wayang setia bersamanya menunggu sang ayah pulang tugas dari daerah.
Anak-anaknya adalah bukti hasil perkawinannya dengan SDK 20 tahun silam. Mereka bahagia di bumi Manakarra seperti maknanya amanah melestarikan kekayaan alam. Kasih sayang Harsinah adalah modalnya tersendiri dalam mengelola daerahnya, sebuah senyum terkadang hadir dalam duduknya di sebuah ruangan berpendingin yang berukuran 4 x 9 meter itu, sesekali merebahkan kedua tangannya di atas meja tempat surat-surat menumpuk.
Ia pun sadar politisi mesti memiliki dua hal: bekerja seperti tukang ukir, dan berpikir layaknya seorang pakar. Pilkada Mamuju tahun 2005 ini, Suhardi Duka tepat memilih pasangan, H. Umar P. Paket ini yang memenangkan Pilkada Mamuju pada 27 Agustus 2005. Setelah resmi pasangan ini menakhodai Mamuju lima tahun ke depan. Di depan parlemen dan masyarakat Mamuju, keduanya “mengumandangkan” satu konsep yang disebutnya “konsepsi komitmen lima guna membangun Mamuju menuju kemandirian daerah” yang disusun sendiri oleh SDK.
SDK paham benar bahwa meyakinkan hingga mendapatkan kepercayaan rakyat pastilah lebih sulit daripada mempertahankannya. Apabila hal itu tak dilupakan, maka ia akan sukses mengubah kabupaten yang dipimpinnya. Kemudian publik provinsi ini akan berkata, “Inilah pemimpin masa depan Provinsi Sulawesi Barat.”
Data Diri
Lahir: Mamuju, 10 Mei 1962
Istri: Harsinah
Anak: 7 (St. Sutinah Suhardi, St. Suraidah Suhardi, St. Sulfiah Suhardi, St. Sufliah Suhardi, St. Wyaa Suhardi, Zulfikar Suhardi, Nurfaidah Suhardi)
Agama: Islam
Pekerjaan: Birokrat, politisi
Riwayat Pendidikan
SD Negeri 4 Mamuju (1968–1974)
SMP Negeri 3 Mamuju (1975–1977)
SMA Negeri 02 Mamuju (1978–1981)
S-1 Fisipol, Unhas (1981–1986)
S-2 Manajemen, UPB (2001–2002)
S-3 Ekonomi, Universitas Airlangga, Surabaya (2009–2014
Riwayat Organisasi
Ketua DPD AMPI Kabupaten Mamuju (1989–2001)
Sekretaris ICMI (1990–1997)
Ketua DPD II KNPI Kabupaten Mamuju (1999–2013)
Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Mamuju (2008–2012)
Wakil Ketua DPD I Partai Golkar Provinsi Sulawesi Barat (2005–2012)
Ketua Harian DPD Partai Golkar Provinsi Sulawesi Barat (2011–2012)
Ketua AMPG Provinsi Sulawesi Barat (2005–2013)
Ketua MPW Pemuda Pancasila Sulawesi Barat (2005–sekarang)
Ketua SOKSI Provinsi Sulawesi Barat (2007–sekarang)
Ketua PERBAKIN Provinsi Sulawesi Barat
Ketua DPD Partai Demokrat Provinsi Sulawesi Barat (2012–sekarang)
Karier
PNS Pemkab Mamuju (1985–1997)
Ketua Komisi D DPRD Kabupaten Mamuju (1997–1999)
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Mamuju (1999–2000)
Ketua DPRD Kabupaten Mamuju (2000–2005)
Bupati Mamuju (2005–2010, 2010-2015)
Anggota DPR-RI (2019–sekarang)
Sumber: Buku Jejak Langkah dan Pemikiran Bupati di Sulawesi Barat, 1960-2023 (Penerbit Buku Kompas, Desember 2023).
SARMAN SAHUDING