PARTAI Golkar akhirnya memilih Prabowo Subianto. Bahtera besar kuning itu berlabuh di bawah ketiak sayap garuda merah. Dan seperti biasa, narasi-narasi besar disiapkan para pemandu sorak tentang kecocokan, kesesuaian, kepentingan bangsa, dll.
Narasi yang kalau saja Partai Golkar memilih mendukung Ganjar Pranowo atau Anies Baswedan, tentu isinya sama saja, hanya kalimat-kalimat bersayap yang tinggal diisi nama.
Sekarang, partai runner-up Pemilu lalu itu telah memilih mendukung pemenang nomor tiga — yang sebenarnya dalam silsilah kepartaian, adalah anak kandungnya sendiri. Wajarlah.
Partai ini kembali ke posisinya yang biasa: hanya bisa berasyik-masyuk dengan kekuasaan.
Kita melihat bagaimana ketua umumnya beranjangsana ke Ganjar sebelumnya, atau mengirim utusan ke pertemuan pendukung Anies, lalu akhirnya membelok ke Prabowo.
Tak ada urusan dengan ideologi atau mazhab partai. Semua ada hitung-hitungannya. Dan Partai Golkar sangat berpengalaman. Karena itulah ia tetap besar sampai hari ini.
Rasanya baru kemarin, partai ini hampir bubar bersama inang yang membesarkannya: Soeharto dan segenap tentakel Orde Baru.
Reformasi 1998 sejatinya menguburkan Golkar ke dalam kenangan sejarah masa lalu bangsa Indonesia.
Di tahun 1999 tim sebelas — yang dibentuk seusai diundangkannya paket undang-undang politik baru dan bertugas mempersiapkan penyelenggara pemilihan umum — bahkan membahas rencana pembubaran Golkar.
Tim sebelas yang di antaranya Nurcholis Madjid, Miriam Budiardjo, Adi Andojo Soetjipto, Andi Alifian Mallarangeng, dan Adnan Buyung Nasution bahkan harus menempuh voting.
Gagasan ini semula dikemukakan Adi Andojo dan didukung Adnan Buyung. Menurut Buyung, Golkar harus dibubarkan mengingat kesalahan dan dosanya di masa lalu yang telah mendukung dan melegitimasi demokrasi Pancasila Soeharto yang diktator, otoriter dan represif.
Namun, gagasan itu terhenti. Adi dan Buyung kalah voting 2 melawan 9.
Dua tahun kemudian, Presiden Abdurrahman Wahid bahkan hampir saja mengeluarkan surat pembubaran Partai Golkar. Di Jawa Timur bahkan ada pembakaran kantor partai.
Pada 15 Juli 2001 massa mahasiswa berkumpul di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Mereka meneriakkan tuntutan kepada Presiden Gus Dur untuk membubarkan Partai Golkar, dan mempercepat pemilu tanpa keikutsertaan partai itu.
Begitulah. Kendati berjumpalitan, partai ini selamat sampai kini.
Bangsa ini sungguh pemaaf dan juga pelupa. Presiden Jokowi juga sampai lupa: Partai Golkar begitu sarat dengan cerita pengingkaran.
Menjelang bulan Maret tahun 1998, Ketua Umum Golkar, Harmoko, menyatakan partainya telah bertanya kepada seluruh rakyat Indonesia dan menerima jawaban: rakyat menghendaki Soeharto kembali menjadi Presiden RI.
Tapi kurang dari seratus hari kemudian, Harmoko pula yang meminta Soeharto untuk berhenti.
Dan sang pendiri partai yang sudah bertahta 32 tahun lamanya pun mengakhiri kekuasaannya.
Masih terngiang-ngiang sumpah setia petinggi Partai Golkar untuk seiya-sekata dengan pemerintahan SBY periode 2009-2014. Tapi SBY tak sepenuhnya menuai ikrar itu.
Dalam sejumlah hal Partai Golkar malah berseberangan dengan dirinya.
Jokowi sendiri telah mengalaminya dalam peristiwa kebetulan yang kecil. Di tahun 2003, dua tahun sebelum jadi walikota Solo, ia berhaji ke tanah suci.
Pada sebuah foto yang beredar sebelum Pilpres 2014, Jokowi mengenakan pakaian ihram di tenda Padang Arafah bersama rombongan, satu di antaranya Tantowi Yahya yang kelak jadi anggota DPR dari Partai Golkar.
Sebelas tahun kemudian, saat kampanye pemilihan presiden sedang sengit-sengitnya, beredar isu bawah tanah bahwa Jokowi adalah non-muslim, anak keturunan Cina Singapura, putra komunis, dan sebagainya.
Isu itu begitu santer dan dipercayai banyak orang, tapi Tantowi Yahya yang juru bicara koalisi lawan Jokowi sama sekali tak bersuara untuk meluruskan.
Jokowi menjadi presiden, dan Partai Golkar pun lompat pagar. Seusai perseteruan yang sengit Aburizal Bakrie dan Agung Laksono, Partai Golkar seolah lahir kembali di bawah Setya Novanto — lelaki yang selalu berkibar di setiap zaman, yang namanya kerap disebut dalam banyak kasus, dari yang terang sampai yang remang-remang.
Partai Golkar menyurukkan kepalanya ke dalam pelukan Presiden Jokowi, mendapat sejumlah jabatan menteri, bahkan Tantowi jadi Duta Besar di Selandia Baru.
Sodara-sodara, sebangsa dan setanah air. Perjalanan Partai Golkar dan orang-orangnya menunjukkan, partai ini sungguh mapan, pandai berkelit, dan tahu benar menempel ke penguasa. Ia tak terbiasa berdiri di luar gelanggang kekuasaan.
Jika nanti Prabowo tak jadi pemenang, percayalah, partai ini akan melangkah lebar untuk menyeberang ke penguasa baru.
Mungkin itu sebabnya ketika Joko Widodo hendak datang dan menerima ikrar dukungan di Rapimnas Partai Golkar akhir Juli 2016, Megawati Soekarnoputri perlu turun sendiri mengawal sang presiden. Agar kadernya itu tak terbuai janji-janji politisi, tak hanyut oleh derasnya puja-puji, tak silau oleh kemilau warna kuning, tak terlelap oleh sepoi-sepoi angin dari celah pohon beringin.
Politik di negeri ini ibarat samudera luas dan Megawati telah mengarunginya. Ia sungguh kenyang asam garamnya.
Ini hanya cerita-cerita dari saya. Tak jelas ujung-pangkalnya. Sekadar meramaikan jagat maya yang tengah riuh oleh kesepakatan baru di dunia politik Indonesia menjelang 2024.
Untuk kesekian kali, menghadapi Pilpres tahun depan, saya — yang cucu nabi ini — mau bilang: kita adalah penentunya.
Rakyat Indonesia yang sungguh-sungguh waras, yang terbukti tak mempan dihempas aneka hoaks dan tak bisa diayunkan oleh politik identitas.
Mereka tak bisa digiring oleh ambisi-ambisi yang dibungkus atas nama ras dan agama, apalagi sekadar nasi bungkus.
Rakyat punya logika, idola, dan impiannya sendiri yang bisa beririsan, bisa juga berjarak sungguh jauh dari misi dan narasi para tim sukses.
Jadi, siapa? Panassai, kata orang Makassar.
TOMI LEBANG