TRANSTIPO.com, Mamuju – Umum diketahui bahwa dalam satu wilayah yang sama lumrah adanya berbeda pilihan partai politik. Munandar Wijaya dan Yohanis Buntulangi’ misalnya.
Dua politisi muda Kabupaten Mamasa ini berbeda dalam pengabdian di partai politik di Indonesia. Jika Munandar Wijaya memilih bergabung di Partai Gerindra—yang kemudian menjadikannya Ketua Partai Gerindra Kabupaten Mamasa—maka lain halnya dengan Yohanis Buntulangi’ yang rela meninggalkan PKB lalu ‘hijrah’ ke Partai Demokrat.
Pada kenyataannya saat ini, Munandar Wijaya adalah Wakil Ketua DPRD Sulbar dari daerah pemilihan Kabupaten Mamasa hasil Pileg 2014 lalu, sementara Yohanis Buntulangi’ masuk di DPRD Kabupaten Mamasa juga hasil Pileg 2014 yang mewakili daerah pemilihan 1 (Mamasa, Tandukalua—baca: Tandukmasadi’—dan Sesenapadang).
Kini keduanya lagi-lagi berbeda haluan dalam menghadapi Pilgub Sulbar 2017. Partai Gerindra—dan 6 parpol lainnya—mendukung atau mengusung pasangan ABM-ENNY sebagai Cagub-Cawagub Sulbar, sementara Partai Demokrat—bersama Hanura dan PKS—mengusung pasangan SDK-KALMA sebagai Cagub-Cawagubnya.
Pilihan keduanya nyata berbeda. Puncak kebedaannya adalah Munandar Wijaya dipercaya oleh tim koalisi parpol pendukung ABM-ENNY di Kabupaten Mamasa sebagai ketua tim, sementara Yohanis Buntulangi’ memegang kendali pemenangan SDK-KALMA juga di Kabupaten Mamasa.
Berbeda haluan, tapi kedua tokoh muda pegunungan ini akan terus mempersepsi politik sebagai sebuah cara membangun Kabupaten Mamasa yang lebih bermartabat dan maju. Itulah salah satu perspektif kebedaannya yang menyamakannya dalam filosofi politik mereka.
“Bagi saya, ya intinya, perbedaan politik tidak mesti memutuskan komunikasi, persaudaraan dan persahabatan,” kata Munandar Wujaya kepada laman ini beberapa menit yang lalu melalui pesan WhatsApp.
Masih menurut MWR—Munandar Wijaya Ramlan—bahwa Pilgub Sulbar mesti dijadikan pendidikan politik.
“Perbedaan pandangan dan dukungan adalah hal yang biasa dalam demokrasi,” katanya, Jumat siang, 28 Oktober 2016 kepada Sarman SHD—kru laman ini.
Papa Dewa—sapaan Yohanis Buntulangi’—pula beri pandangan yang nyaris selaras. “Kami telah lama belajar bahwa politik primordial bukanlah tempatnya di Mamasa. Kita boleh berbeda mempersepsi politik praktis, tapi visi harus sama, yakni membangun Mamasa lebih baik,” kata Yonanis.
SARMAN SHD