Menara Muhammad Cheng Hoo di Daratan Sulawesi

289
MASJID MUHAMMAD CHENG HOO DI JL DANAU TANJUNG BUNGA, KELURAHAN MACCINI SOBALA, KECAMATAN TAMALATE, KOTA MAKASSAR, SULAWESI SELATAN. SELASA, 18 NOVEMBER 2025. (FOTO: SARMAN SAHUDING)

TRANSTIPO.com, Makassar – Laksamana Cheng Ho, nama populer di bentang sejarah dunia. Dalam tradisional China namanya  Zheng He. Nama Arab, Haji Mahmud Shams.

Laksamana Cheng Ho adalah seorang penjelajah laut paling terkenal dari daratan China atau Tiongkok. Cheng Ho menjelajahi Nusantara (Kepulauan Indonesia) dari tahun 1405 hingga 1433. Selama masa itu terhitung 7 kali Cheng Ho datang menjejak Nusantara.

Jejak penjelajahan Laksamana Cheng Ho di Nusantara tercatat untuk tiga bukti penting.

Pertama, awal kedatangan Muhammad Cheng Ho di Bumi Nusantara bermula menjejak Samudera Pasai, Aceh. Pelaut ulung asal Tiongkok itu menemui Sultan Aceh, dan sang Laksamana menitipkan sebuah Lonceng raksasa Cakra Donya kepada Sultan Aceh. Hingga kini lonceng sejarah itu tersimpan di Museum Banda Aceh.

Kedua, tahun 1415. Saat itu Cheng Ho berlabuh ke Muara Jati (Cirebon), dan ia menghadiahkan beberapa cindera mata khas Tiongkok kepada Sultan Cirebon. Salah satunya berupa piring keramik yang bertuliskan Ayat Kursi. Piring Keramik itu kini masih tersimpan di Keraton Kesepuhan Cirebon.

Ketiga, perjalanan Cheng Ho melalui laut Jawa. Dalam perjalanan itu, orang kedua dalam armada Cheng Ho bernama Wang Jinghong jatuh sakit, sakit keras.

Wang Jinghong kemudian diturunkan di Pantai Simongan, Semarang, Jawa Tengah, dan menetap untuk waktu yang lama.

FIGURA TOKOH ASAL TIONGKOK, LAKSAMANA MUHAMMAD CHENG HO. (FOTO: SARMAN SAHUDING)

Selama di Semarang dibangun sebuah Kelenteng Sam Po Kong (Gedung Batu) dan patung yang disebut Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong.

Kisah di atas tertulis dalam Takmir Masjid Cheng Hoo Tanjung Bunga Makassar, Sulawesi Selatan. Penulisan nama Cheng Hoo (bukan Cheng Ho) merujuk data pemakaian nama masjid di Sulawesi.

Masjid Khas Budaya Tiongkok di Indonesia

Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Sulawesi Selatan membangun Masjid Muhammad Cheng Hoo di Kabupaten Gowa, Sulsel. Inilah masjid pertama bercorak budaya Tiongkok di Sulawesi.

Masjid ini berada di kawasan Hertasning, tepatnya di Jl Tun Abd. Razak, Kelurahan Paccinongang, Kecamatan Somba Opu, Gowa, Sulsel.

Menurut Badaruddin (50), pengurus inti DPW Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Sulsel, masjid Cheng Hoo di Gowa itu memiliki mesin historis. Disebut bersejarah lantaran mulai dari pengadaan tanah, penimbunan, hingga pembangunan masjid dilakukan secara gotong royong.

Media ini sengaja menemui Badaruddin di kantor Masjid Muhammad Cheng Hoo di Tanjung Bunga Makassar pada Selasa siang, 18 November 2025.

Pria ini tercatat Sekretaris DPW PITI Sulsel. Ia menyebutkan, meski diinisiasi oleh PITI Sulsel, tapi pembangunan Masjid Cheng Hoo yang pertama di Gowa itu dibangun secara massal. Masyarakat Muslim Tionghoa yang ada di Makassar dan Gowa berjibaku, kerja bareng mulai sejak peletakan batu pertama hingga berdiri masjid.

PONDOK SANTRI TAHFIDZ AL-QURAN DI BELAKANG MASJID MUHAMMAD CHENG HOO TANJUNG BUNGA, MAKASSAR, SULAWESI SELATAN. (FOTO: SARMAN SAHUDING)

“Kalau dulu itu syarat perjuangan. Mulai dari penyediaan lahan hingga dibangun, bareng sama kawan-kawan,” Badaruddin mengenang.

Badaruddin menyebut, waktu berdirinya gampang diingat: “Berdiri pada hari Jumat, 11-11-2011.”

Pada Rabu, 19 November, saya sengaja datang ke Masjid Muhammad Cheng Hoo di Hertasning, sudah masuk daerah Gowa. Di waktu Zuhur dan Ashar mengobrol lepas dan menekuri pelbagai bacaan sembari menikmati suasana Masjid Cheng Hoo di Tun Abd. Razak itu.

Dari arah Hertasning ke Kampus UIN Alauddin Makassar di Samata Gowa, posisi masjid ini sebelah kanan di pinggir jalan utama. Tampak benar mentereng, dua lantai.

Jalan masuk dibelah jalan dan bangunan kantin besar memanjang. Saya menikmati kopi panas dan memilih penganan yang dijual. Aneka jenis kopi disediakan. Pisang goreng, roti dan makanan cepat saji juga tersedia.

Ruang warung kopi itu luas. Ada ruang berpendingin di lantai satu dan lantai dua. Area bebas asap — tempat saya berjam-jam pada Rabu — paling diminati pengunjung.

Jalan masuknya melempang. Masih cukup memarkir belasan kendaraan roda empat.

Di parkiran belakang sudah ada kanopi bisa menampung seratusan kendaraan motor. Tempat wudhu pria dan wanita serta toilet merapat di pagar pembatas lokasi masjid.

BADARUDDIN (50 TAHUN), PENGELOLA MASJID MUHAMMAD CHENG HOO DI TANJUNG BUNGA MAKASSAR, SULSEL, DAN PENGURUS PERSATUAN ISLAM TIONGHOA INDONESIA (PITI) SULAWESI SELATAN. (FOTO: SARMAN SAHUDING)

Di ruang dekat pintu masjid belakang, jamaah yang sedang menunggu waktu sholat atau setelah keluar dari masjid, bisa bersantai dengan lusinan tempat duduk.

Parkiran bagian kiri masjid cukup luas. Perkiraan bisa memuat 30 s.d. 50 mobil. Di situ juga ada bangunan kazebo terbuka kerap dipakai pementasan kegiatan sosial dan keagamaan.

Di tengah parkiran yang relatif luas tumbuh rindang pepohonan, di bawahnya dibuat tempat duduk sederhana lengkap dengan meja. Ini membuat santai pengunjung masjid.

Bagi yang datang ke masjid dengan kendaraan mobil misalnya, masuk melalui jalur kiri (belakang masjid) dan bisa keluar leluasa karena ada jalan melalui depan masjid terus ke jalan raya besar: Jl Tun Abd. Razak.

Pengelola Masjid Cheng Hoo Hertasning, Gowa, terus berbenah. Di luar dinding bagian belakang masjid tampak ditumpuk puluhan sak semen. Di bagian luar area parkiran samping kiri masjid sedang dibangun sekolah atau pesantren. Tampak tiangnya sudah berdiri, juga sudah ada dindingnya.

Pada Selasa itu, di waktu ibadah Zuhur, dua puluhan pelajar berseragam cokelat (pramuka) menjadi jamaah Sholat Zuhur. Anak-anak pelajar ini sudah akrab dengan masjid. Di antaranya bertindak selaku muadzin dan iqamat.

Setelah ibadah zuhur, anak-anak pelajar ini berpindah tempat, di bagian samping, satu undakan ke bawah di bagian utama masjid.

Mereka duduk bersila dipandu seorang di antaranya yang duduk menghadap kawan-kawannya. Ia memandu bacaan zikir, sholawat Nabi.

SANTRI TAFIDZ AL-QURAN DI MASJID CHENG HOO TANJUNG BUNGA, MAKASSAR. (FOTO: SARMAN SAHUDING)

Anak pelajar lelaki ini tak langsung pulang ke rumah masing-masing. Mereka keluar masjid menuju area parkir di samping laku  bermain bola. Sesekali terdengar gelak tawa berpadu bunyi sepakan bola bundar.

Masjid Kedua Hadiah Ramlah Kalla

Masjid Muhammad Cheng Hoo yang besar dua lantai itu berada di Jl Danau Tanjung Bunga, Kelurahan Maccini Sombala, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulsel. Ini masjid kedua yang memakai nama Muhammad Cheng Hoo.

“Kalau ini kita terima jadi,” kata Badaruddin. Ini yang membedakan dengan masjid di Hertasning.

Badaruddin bercerita, Masjid Muhammad Cheng Hoo dibangun oleh Hj. Ramlah Kalla Aksa. Mulai dari tanah hingga pembangunan masjid.

Kewenangan masjid ini di bawah Yayasan Ramlah Aksa. Pengelolaan masjid diserahkan kepada PITI Sulsel, di antara pengurusnya adalah Badaruddin.

Mulai dibangun pada 12 April 2012, dan kata Badaruddin, selesai pada tahun itu juga.

Masjid pertama dan kedua sama berlantai dua, hanya masjid di Tanjung Bunga yang dipakai untuk ibadah baru lantai dua.

MASJID MUHAMMAD CHENG HOO DI JL. TUN ABD. RAZAK, KELURAHAN PACCINONGANG, KECAMATAN SOMBA OPU, KABUPATEN GOWA, SULAWESI SELATAN. RABU, 19 NOVEMBER 2025. (FOTO: SARMAN SAHUDING)

Badaruddin akui memang masjid di Tanjung Bunga lebih besar dari Hertasning. Yang di sini, sebut Badaruddin, berdiri di atas tanah seluas 3 ribu meter persegi. Ukuran masjid 24 x 24 meter.

Dana operasional Masjid Muhammad Cheng Hoo Tanjung Bunga, seperti staf, cleaning service, pembina Tahfidz, berasal dari Yayasan Ramlah Aksa.

Pada Selasa siang tampak dua pemuda sedang membersihkan halaman belakang masjid, termasuk dilanjutkan membuka pintu penutup saluran air, mengecek sampah yang tersangkut di bawah saluran itu.

Menurut Badaruddin, manajemen masjid membina 40 peserta Tahfidz Al-Quran: anak-anak pelajar dari pelbagai daerah yang sekolah di Makassar untuk menghafal Al-Quran.

40 peserta atau santri tahfidz Quran ini diterima tanpa dipungut biaya sepeser pun alias gratis. Yang diterima hanya anak pelajar laki-laki.

Badaruddin menyebut sudah sekitar lima tahun pengelola dan yayasan menerima peserta penghafal Quran. Tapi dibatasi maksimal 40 orang.

Mengapa hanya 40? Kata Badaruddin, itu sudah pengaturan di pihak kita. Jadi kalau ada yang keluar, ya itu berarti sudah menembus hafalan Quran 30 Juz dan telah melalui proses wisuda.

Dengan begitu otomatis peserta keluar. “Jadi kalau ada yang keluar ya diganti tapi tetap 40,” ujar Badaruddin.

PINTU GERBANG MASJID MUHAMMAD CHENG HOO DI JL. TUN ABD. RAZAK, KELURAHAN PACCINONGANG, KECAMATAN SOMBA OPU, KABUPATEN GOWA, SULAWESI SELATAN. RABU, 19 NOVEMBER 2025. (FOTO: SARMAN SAHUDING)

Mentari pagi sudah mulai meninggi pada Selasa, 18 November, ketika peserta Tahfidz Quran sedang tidur-tiduran di ruang teras samping Masjid Muhammad Cheng Hoo Tanjung Bunga.

Selesai wawancara singkat dengan Badaruddin di kantornya pada sebuah ruang berbatas dinding badan utama masjid di lantai dua, para santri sudah duduk di tengah masjid belajar baca-hafal isi Quran.

Memang setiap aktifitas pengajian atau agenda hafalan dilakukan di masjid. Dipandu pembina tahfidz.

Peserta tahfidz tinggal di lingkungan masjid secara permanen. Pihak yayasan mempunyai bangunan asrama yang layak di belakang masjid. Mereka tinggal di pondokan, juga gratis.

Dengan fasilitas yang lengkap itu, Badaruddin bilang, “Banyak peminat tapi kami batasi jumlah peserta.”

Peserta atau santri tahfidz yang diterima syaratnya tak terlampau ruwet: pelajar laki-laki, sudah bersekolah SMP dan SMA.

Meski anak pelajar di sekolah umum, Badaruddin bilang bahwa kegiatan selaku santri di masjid tak mengganggu proses belajar mereka di sekolah masing-masing.

“Sekokah formal mereka jalan. Bahkan di sini (peserta santri di masjid) masih diberi tambahan pengetahuan dan keterampilan berupa bimbingan belajar.

SALAH SATU RUANG DI KANTIN MASJID MUHAMMAD CHENG HOO DI KAWASAN HERTASNING, GOWA, SULSEL. (FOTO: SARMAN SAHUDING)

“Hari Sabtu dan Minggu, kan itu waktu kegiatan ekstrakorikuler mereka, jadi kita fasilitasi belajar komputer di sini,” ujar Badaruddin.

Terkait soal warna dan arsitektur Masjid Muhammad Cheng Hoo. Bentuk dan warnanya tampak sama. Apa yang bisa diurai mengenai hal ini?

Data sejarah masjid yang diberikan oleh Badaruddin menyebutkan, konsepsi dasar perencanaan Masjid Muhammad Cheng Hoo Tanjung Bunga, yakni Hablumminallah Wal Hablumminannas.

Ukuran masjid 24 meter secara horizontal dan 24 meter secara vertikal. Angka 24 itu bermakna, bahwa setiap Umat Islam dalam waktu 24 jam (sehari semalam) dapat menyeimbangkan hubungan vertikal dan hubungan horizontal.

Bahwa kehidupan seorang Muslim dan Muslimah dilandaskan atas keseimbangan hubungan kepada Allah SWT sebagai Sang Pencipta dan hubungan kepada sesama manusia sebagai makhluk sosial.

Arsitektur masjid dominan unsur etnik Tionghoa pada mahkota atau atap sebagai pengganti kubah. Warna dinding bangunan: merah dan kuning emas.

PELAJAR SEDANG BACA ZIKIR, SHOLAWAT DI MASJID CHENG HOO JL TUN ABD. RAZAK, GOWA, SULSEL. (FOTO: SARMAN SAHUDING)

Ornamentasi dipilih corak ragam hias geometris Saudi Arabia. Sementara unsur lokal diambil dari Sulapa Appa’ Bugis Makassar yang diterjemahkan pada bentuk site plan dan denah.

Ruang Sholat utama dan teras di Masjid Muhammad Cheng Hoo Tanjung Bunga memuat total 1.292 jamaah.

Pada data itu terurai penjelasan beragam fasilitas dan struktur resmi kelembagaan pengelola masjid setiap periodesasi.

Dari Tanjung Bunga pada Selasa kemudian berlanjut ke Hertasning pada Rabu, semua itu atas petunjuk lelaki Bugis yang ramah itu, yang sudah lama mengabdikan diri di yayasan sosial di bawah PITI Sulsel, dan terutama ikut terlibat mengelola Masjid Muhammad Cheng Hoo di Makassar.

Empat Menara Laksamana Besar di Sulawesi

Masjid Muhammad Cheng Hoo yang keempat sudah berdiri di Kabupaten Bantaeng, Sulsel.

Badaruddin menyebut, masjid yang di Bantaeng itu sudah berdiri tahun ini, meski belum rampung semuanya, tapi sudah bisa difungsikan sebagai tempat ibadah rutin.

Badaruddin tak beri komentar terkait masjid ketiga di Sulawesi yang ada di Provinsi Sulawesi Barat. Masjid Cheng Hoo di provinsi ke-33 di Indonesia itu diresmikan pemakaiannya pada 17 Januari 2024.

SEMEN, BAHAN BANGUNAN UNTUK PEMBANGUNAN SEKOLAH DI LINGKUNGAN MASJID MUHAMMAD CHENG HOO, GOWA, SULSEL. (FOTO: SARMAN SAHUDING)

Dilansir dari laman HalloJakarta, Jumat, 19 Januari 2024, Masjid Cheng Hoo pertama di Sulawesi Barat itu dibangun oleh PT Randomayang Tambak Lestari seluas 51 x 34 meter dan menelan anggaran Rp7 miliar.

Masjid ini berdiri di pinggir jalan dan menjadi pemandangan menarik bagi setiap pelintas di Jl Trans Sulawesi. Tepat berada di Desa Randomayang, Kecamatan Bambalamotu, Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat.

Diresmikan oleh Bupati dan Wakil Bupati Pasangkayu, turut dihadiri unsur Forkopimda Kabupaten dan Provinsi Sulawesi Barat, termasuk pihak perusahaan yang mendanai pembangunan masjid itu.

Meski belum terbentuk DPW PITI di Provinsi Sulawesi Barat, Ust. Sulaiman Gosalam sebagai Ketua DPW PITI Sulawesi Selatan (Sulsel) menyambut gembira berdirinya Masjid Muhammad Cheng Hoo di Pasangkayu.

Dikonfirmasi pada Rabu siang, 19 November, Sulaiman Gosalam berniat memfasilitasi kelembagaan PITI di Sulbar. Dan ia berharap dalam waktu dekat ini ditemukan figur yang bisa menjadi (calon) pengurus PITI di provinsi tetangga Sulsel itu.

Dari Jakarta, Sekjen DPP PITI Pusat, Afwan Sumartono menyambut baik komunikasi via WhatsAap pada Rabu sore, 19 November.

KEGIATAN UMKM DI KAWASAN MASJID MUHAMMAD CHENG HOO, JL TUN ABD. RAZAK, GOWA, SULSEL. (FOTO: SARMAN SAHUDING)

Ditanyakan terkait populasi Muslim Tionghoa di Indinesia dan jumlah kepengurusan PITI di seluruh provinsi.

“Saat ini sudah terbentuk 27 DPW (provinsi) seluruh Indonesia,” demikian Sumartono dalam keterangan tertulisnya.

Meski ia belum bersedia menyebut secara terang populasi Islam Tionghoa di Indonesia, tapi perkembangan populasi keturunan di Indonesia semakin pesat untuk beberapa tahun belakangan.

Data kelembagaan PITI, pada tahun 2019 sudah memiliki kantor cabang di 27 provinsi di Indonesia.

Menurut Ketua DPP PITI Pusat, Anton Medan atau Tan Hok Liang, jumlah umat Muslim Tionghoa di Indonesia berjumlah 1,1 juta orang. (Kumparan, 6 Juni 2019).

Dengan niat baik tentunya, dan ini pertanda semangat sungguh membuncah, kurang tepat pak Sekjen PITI Pusat dan Ust. Sulaiman Gosalam menunjuk saya menjadi pemegang mandat membentuk pengurus DPW PITI di Sulawesi Barat.

Saya orang lokal murni. Bukan keturunan selayaknya pak Sekjen Sumartono dan Ust. Sulaiman Gosalam. Meski sejak dulu, oleh banyak kawan-kawan di kota besar, tak jarang saya disapa Koko.

SARMAN SAHUDING

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini